Mencermati Pemberian SP3 Kasus Korupsi
Emerson Yuntho(*)

Mencermati Pemberian SP3 Kasus Korupsi

Pemberian Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk tersangka perkara korupsi selalu mengundang kontroversi, perdebatan, dan menimbulkan persepsi yang cenderung negatif terhadap kinerja aparat penegak hukum, khususnya kejaksaan.

Bacaan 2 Menit
Mencermati Pemberian SP3 Kasus Korupsi
Hukumonline

Tentu saja ini sangat mengenaskan dan sekaligus, menunjukkan betapa buruknya sistem administrasi atau dokumentasi di lingkungan kejaksaan. Melihat pola pemberian SP3 yang dilakukan secara diam-diam dan tertutup, maka ada keyakinan kuat bahwa jumlah tersangka kasus korupsi penerima SP3 hingga saat ini lebih dari 25 orang dan bukan tidak mungkin berjumlah lebih dari 100 orang di seluruh Indonesia.  

Empat pola

Mencermati beberapa pemberian Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung maupun Kejaksaan Tinggi di daerah, pada akhirnya kita melihat bahwa pemberian SP3 itu mengarah pada suatu pola atau kesamaan satu sama lain. Paling tidak ada empat pola pemberian SP3 terhadap pelaku korupsi yang selama ini dilakukan kejaksaan. 

Pertama, Penerbitan SP3 dilakukan secara diam-diam. Hampir semua pemberian SP3 dilakukan secara diam-diam tanpa adanya pengumuman lebih dahulu kepada masyarakat. Dalam beberapa kesempatan pihak kejaksaan selalu mengatakan tidak ada kewajiban bagi kejaksaan untuk mengumumkan penerbitan SP3 terhadap tersangka korupsi. Namun pernyataan ini keliru jika dikaitkan dengan adanya keharusan bagi setiap penyelenggara negara untuk melaksanakan tugasnya berdasarkan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik, khususnya  asas transparansi (keterbukaan) dan akuntabilitas berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari KKN. Sebagai institusi penyelenggara negara, maka suatu keharusan bagi kejaksaan untuk mengumumkan kepada publik  semua kerja yang dilaksanakan, termasuk dalam pemberian SP3.

Idealnya sebelum menerbitkan SP3 pihak kejaksaan harus mengumumkan kepada masyarakat disertai dengan alasan atau dasar pertimbangan. Paling tidak langkah ini dapat menunjukkan adanya akuntabilitas dan tranparansi dari kejaksaan dalam melaksanakan tugas atau wewenangnya, sekaligus membuka kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan masukan atau data-data pendukung yang dapat menjerat tersangka korupsi.

Kedua, pengumuman SP3 diberikan apabila telah tercium oleh publik. Hal ini bisa dilihat dari kasus korupsi dengan tersangka Ginandjar Kartasasmita dan Sjamsul Nursalim yang penerbitan penghentian penyidikannya sudah tercium satu bulan sebelum diumumkan secara resmi  oleh pihak kejaksaan. Biasanya pihak kejaksaan akan mengumumkan secara resmi jika sudah beredar desas desus mengenai SP3 tersebut dikalangan masyarakat dan media. Dan pemberitahuan penerbitan SP3 biasanya baru diungkapkan setelah rekan-rekan media meminta konfirmasi dari Jaksa Agung maupun Jampidsus atau Kapuspen Kejaksaan Agung dalam suatu acara resmi yang tidak memungkinkan bagi para petinggi kejaksaan untuk melarikan diri.

Ketiga, SP3 diberikan kepada para tersangka korupsi yang mengakibatkan kerugian negara dalam jumlah sangat besar. Tersangka korupsi ini biasanya berlatar belakang pengusaha kelas kakap yang memiliki proteksi politik dari pejabat publik atau politisi yang memiliki pengaruh besar. Dari 25 tersangka korupsi penerima SP3 hampir semua kasus mempunyai nilai kerugian negara lebih dari Rp5 miliar (paling rendah berjumlah Rp7,1 miliar dalam perkara korupsi Jamsostek dan paling tinggi berjumlah AS$ 105 juta dalam perkara dugaan korupsi penerbitan Commercial Paper oleh PT Hutama Karya untuk proyek JORR).

Dilihat dari latar belakang dari tersangka, 14 orang, atau lebih dari separuh penerima SP3--berdasarkan data ICW--merupakan tersangka yang secara finansial masuk dalam kategori konglomerat papan atas, sedangkan 11 orang merupakan pejabat publik atau politisi yang memiliki pengaruh besar.

Keempat, pemberian SP3 dilakukan pada saat berkurang atau tidak adanya perhatian masyarakat terhadap kasus korupsi tersebut. Hampir setiap pemberian SP3 selalu menimbulkan respon yang luar biasa di kalangan masyarakat. Untuk meminimalisir pressure dari masyarakat, pihak kejaksaan biasanya mencari waktu yang tepat atau waktu tenang untuk menerbitkan atau mengumumkan SP3.

Waktu tenang dalam hal ini diartikan sebagai waktu dimana masyarakat atau media tidak memberikan perhatian lebih atau khusus terhadap kasus yang diberikan SP3. Hal ini bisa dilihat saat pemberian SP3 terhadap Johanes Kotjo dan Robby Tjahjadi yang diberikan ketika orang telah mulai lupa atau tidak memberikan perhatian terhadap kasus korupsi dalam pemberian kredit Bapindo kepada Kanindotex. Pada akhirnya siasat ini terbukti. Tekanan publik terhadap pemberian SP3 kasus ini tidak terlalu besar. Atau dengan maksud mengalihkan perhatian publik, muncul indikasi sebelum pihak kejaksaan menerbitkan atau mengumumkan SP3, biasanya pihak kejaksaan akan menaikkan atau memanfaatkan isu korupsi lain misalnya isu korupsi di DPRD atau penyelesaian kasus korupsi besar lainnya.

Selain empat pola yang telah diuraikan diatas, ada beberapa hal lain yang selalu dikaitkan dengan pemberian SP3 oleh kejaksaan terhadap para tersangka kasus korupsi, yaitu adanya kepentingan politis dan adanya indikasi suap (judicial corruption) dalam penerbitan surat ini. Kita tahu bahwa kejaksaan dalam hal ini Jaksa Agung merupakan bagian dari eksekutif dan berada langsung dibawah presiden.

Dengan demikian keberanian seorang jaksa agung sangat dipengaruhi oleh political will dari seorang presiden. Sedangkan political will dari presiden juga dipengaruhi oleh kekuatan politik dan ekonomi yang ada dibelakangnya. Sehingga dapat kita lihat pemberian SP3 terhadap tersangka kasus korupsi lebih banyak mengedepankan pada aspek politik dan ekonomi dan mengabaikan aspek hukum. Sebagai bawahan presiden, Jaksa Agung sering tidak mempunyai pilihan--jika tidak ingin posisinya dicopot--dengan memenuhi permintaan dari presiden atau partai politik tertentu untuk menghentikan penyidikan suatu perkara korupsi. 

Indikasi ini dapat dilihat dari terbitnya SP3 Ginandjar Kartasasmita yang saat ini merupakan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Secara politis SP3 diperlukan untuk membersihkan nama Ginandjar. Sebab, persoalan status hukum Ginandjar tersebut sempat dipermasalahkan ketika akan mencalonkan diri sebagai ketua DPD. Contoh lain pada masa lalu adalah dugaan adanya intervensi dari presiden dalam perkara korupsi Texmaco yang melibatkan Marimutu Sinivasan sehingga perkara tersebut di SP3 oleh Jaksa Agung pada waktu itu.

Indikasi suap?

Pemberian SP3 terhadap tersangka korupsi juga tidak bisa lepas dari adanya indikasi suap terhadap oknum kejaksaan agung atau kejaksaan tinggi. Berdasarkan hasil penelitian ICW yang dilakukan di enam kota besar di Indonesia tahun 2002 mengenai pola-pola korupsi di lembaga peradilan, ditemukan bahwa salah satu modus dari pelepasan tersangka dalam tahapan penyidikan oleh kejaksaan adalah dengan mengeluarkan SP3 karena alasan tidak cukup bukti. Dapat dipastikan pemberian SP3 ini tidak gratis dan ada sejumlah uang yang harus disetorkan kepada penyidik atau pimpinan kejaksaan. Berdasarkan laporan masyarakat yang diterima oleh ICW dan pemberitaan media, ada indikasi kuat bahwa Johanes Kotjo mengeluarkan uang hingga Rp500 juta untuk mendapatkan beberapa lembar surat penghentian penyidikan dalam perkara Kanindotex.   

Buruknya kinerja kejaksaan karena seringkali memberikan SP3 terhadap tersangka korupsi semakin diperparah dengan tindakan yang dilakukan oleh pihak kejaksaan sendiri. Pertama, tidak dilaporkannya pemberian tersebut kepada DPR RI saat acara rapat kerja dengan Komisi bidang Hukum (komisi II) DPR RI. Berdasarkan Undang-Undang Kejaksaan disebutkan bahwa Kejaksaan menyerahkan pertanggungjawaban (laporannya) kepada presiden dan DPR. Ini artinya semua kerja kejaksaan harus dilaporkan kepada Komisi II. Namun, hampir dalam semua rapat kerja Kejaksaan Agung dengan Komisi II DPR sejak tahun 2001 hingga saat ini, pihak kejaksaan hanya melaporkan kisah sukses penanganan kasus namun tidak pernah melaporkan penerbitan SP3 dalam kasus korupsi.

Kedua, kejaksaan tidak memiliki data mengenai nama dan jumlah seluruh SP3 kasus korupsi. Seperti yang diuraikan sebelumnya, pihak kejaksaan selaku institusi yang melakukan penghentian penyidikan tidak mempunyai data-data yang akurat mengenai nama dan jumlah pelaku korupsi penerima SP3 di seluruh Indonesia. Hal inilah yang dikeluhkan oleh banyak pihak terutama media, sehingga sampai saat ini tidak jelas berapa sesungguhnya SP3 yang telah dikeluarkan oleh kejaksaan dan siapa saja yang telah menerimanya.

Menjadi pertanyaan apakah sudah sedemikian parahknya sistem administrasi di kejaksaan, atau ada upaya untuk menghilangkan bukti/data mengenai penerbitan SP3, ataukah justru keduanya?

Ketiga, dalam setiap pemberian SP3, pihak kejaksaan seringkali menggampangkan permasalahan dengan menyatakan "Kita tak perlu alergi terhadap SP3, karena kalau ada bukti baru (novum) kasusnya bisa dibuka kembali !". Pernyataan ini sangat tidak rasional dan merupakan upaya penyederhanaan terhadap kasus korupsi yang sesungguhnya memiliki dampak kerugian keuangan yang besar dan bagi perekonomian negara. Sebab faktanya, lebih dari 25 kasus korupsi yang telah di SP3, hingga saat ini belum ada satupun kasus yang dibuka kembali oleh Kejaksaan Agung, meski beberapa pihak telah memberikan bukti-bukti baru yang memperkuat indikasi korupsi yang dilakukan tersangka.

Terkadang kita sendiri menjadi bingung bukti apalagi yang harus kita serahkan kepada kejaksaan agar dapat menyeret koruptor ke pengadilan. Kita sendiri curiga bagaimana nasib bukti-bukti yang ada terdahulu: masih ada ataukah sudah hilang?

Daftar Tersangka Korupsi yang Menerima SP3

No

Tersangka

Perkara

Jumlah Kerugian

1.                 

Ginandjar Kartasasmita

Dugaan korupsi Technical Assistance Contract (TAC).

AS$ 24,8 juta 

2.                 

(almarhum) Faisal Abda

Dugaan korupsi Technical Assistance Contract (TAC).

AS$ 24,8 juta 

3.                 

Praptono Honggopati Tjitrohupojo

Dugaan korupsi Technical Assistance Contract (TAC).

AS$ 24,8 juta 

4.                 

Sjamsul Nursalim

Dugaan Korupsi Dana BLBI

Rp 10 Triliun 

5.                 

Djoko Ramiadji

Dugaan korupsi penerbitan Commercial Paper oleh PT. Hutama Karya untuk proyek JORR

AS$105 juta dan Rp181,35 miliar

6.                 

Siti Hardijanti Rukmana

 

Dugaan korupsi pipanisasi di Jawa

AS$ 20,4 juta

7.                 

Faisal Ab'daoe

Dugaan korupsi pipanisasi di Jawa

AS$ 20,4 juta

8.                 

Rosano Barack

Dugaan korupsi pipanisasi di Jawa

AS$ 20,4 juta

9.                 

Prajogo Pangestu

Dugaan korupsi proyek penanaman hutan oleh PT. MHP

Rp331 miliar

10.              

Abdul Latief

(Mantan menaker)

Dugaan korupsi Jamsostek

Rp7,1 miliar

11.              

Abdillah Nussi

(mantan Dirut Jamsostek)

Dugaan korupsi Jamsostek

Rp7,1 miliar

12.              

Yudo Swasono (mantan Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Depnaker).

Dugaan korupsi Jamsostek

Rp 7,1 miliar

13.              

Soewardi

(Mantan Gubernur  Jateng)

Dugaan Korupsi Asrama Haji Donohudan

Rp19 miliar

14.              

Johanes Kotjo

Dugaan Korupsi Bapindo- Kanindotex

Rp300 miliar

15.              

Robby Tjahjadi

Dugaan Korupsi Bapindo- Kanindotex

Rp300 miliar

16.              

Prijadi

Dugaan korupsi di BRI

Rp572,2 miliar  

17.              

Djoko Santoso

Dugaan korupsi di BRI

Rp572,2 miliar

18.              

The Nin King

Dugaan korupsi di BRI

Rp 572,2 miliar

19.              

Joko S Tjandra

Dugaan korupsi di BRI

Rp572,2 miliar

20.              

Marimutu Sinivasan

Dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit ke PT. Texmaco

Rp1,8 triliun

21.              

Sukamdani Sahid Gitosarjono

Dugaan korupsi penyalahgunaan BLBI oleh PT. BDI

Rp418 miliar

22.              

Adriansyah

Dugaan korupsi penyalahgunaan BLBI oleh PT. BDI

Rp418 miliar

23.              

Bob Hasan
 (mantan Ketua Dewan Pengurus Apkindo)

dugaan penyalahgunaan dana di Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo),

AS$ 86 juta

 

24.              

Tjipto Wignjoprajitno

(Ketua Badan
 Eksekutif Apkindo)

dugaan penyalahgunaan dana di Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo),

AS$ 86 juta

25.              

Raja DL Sitorus

Dugaan Kasus Korupsi Torganda di Riau

Rp213,5 miliar

   Sumber : Dokumentasi ICW, diolah dari berbagai media

Saat ini kita tinggal menunggu realisasi janji dari Jaksa Agung yang baru, Abdul Rahman Saleh, yang mengatakan akan membuka kasus-kasus korupsi yang dihentikan penyidikannya dan tidak akan menjadikan kejaksaan sebagai alat politik. Kita lihat saja apakah Jaksa Agung sekarang adalah Jaksa Agung yang kita harapkan dengan menyeret banyak koruptor ke pengadilan atau justru tidak beda dengan yang terdahulu yang banyak membebaskan para koruptor.

Dikeluarkannya SP3 selalu menjadi bahan cercaan dan tudingan bahwa kejaksaan tidak serius untuk menyelesaikan kasus korupsi. Di mata masyarakat yang menghendaki agar pelaku korupsi diproses secara hukum dan diganjar hukuman seberat-beratnya, maka pemberian SP3 dianggap sebagai tindakan yang melukai rasa keadilan dan harapan masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi.

Berdasarkan pasal 109 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ada tiga alasan bagi penyidik kejaksaan atau kepolisian dalam penghentian penyidikan suatu perkara, termasuk juga dalam perkara korupsi. Pertama, karena tidak terdapat cukup bukti. Kedua, peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana. Ketiga, penyidikan dihentikan demi hukum.

Dari ketiga alasan tersebut, yang paling sering digunakan oleh kejaksaan untuk menghentikan penyidikan adalah karena tidak cukup bukti. Hanya sedikit penyidikan yang dihentikan karena alasan demi hukum ,seperti penghentian penyidikan terhadap Sjamsul Nursalim dalam kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Bank Umum Nasional senilai Rp10 triliun. Pemberian SP3 terhadap Sjamsul Nursalim didasarkan alasan adanya Surat Keterangan Lunas (SKL) dari BPPN dan mengacu pada Inpres No. 8 Tahun 2002 yang menyebutkan bagi para debitor BLBI yang kooperatif akan diberikan pembebasan dari segala tuntutan hukum. Padahal, Inpres ini bertentangan dengan sejumlah aturan hukum seperti  Undang-Undang No. 31/ 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Data yang berhasil dihimpun ICW, hingga saat ini tercatat ada 25  tersangka kasus korupsi besar yang dihentikan penyidikannya, baik oleh Kejaksaan Agung maupun Kejaksaan Tinggi di daerah. Perlu menjadi catatan adalah data tersebut didapat berdasarkan laporan media massa yang berhasil dihimpun selama lima tahun terakhir (1999-2004). Pihak kejaksaan selaku institusi yang melakukan penghentian penyidikan tidak mempunyai data-data yang akurat mengenai nama dan jumlah pelaku korupsi yang menerima SP3.

Halaman Selanjutnya:
Tags: