Menkumdang: Biaya Proses Pengadilan Seharusnya Mahal
Berita

Menkumdang: Biaya Proses Pengadilan Seharusnya Mahal

Jakarta, Hukumonline. Masyarakat mendambakan biaya peradilan murah. Namun, Menteri Hukum dan Perundang-undangan (Menkumdang), Yusril Ihza Mahendra malah menyatakan sebaiknya dalam proses peradilan sebaiknya biayanya harus mahal agar tidak semua perkara diajukan ke pengadilan.

Oleh:
Ari/Tri/Apr
Bacaan 2 Menit
Menkumdang: Biaya Proses Pengadilan Seharusnya Mahal
Hukumonline
Saat menyinggung asas peradilan yang berbiaya ringan, cepat, dan sederhana, Yusril menyatakan bahwa biaya proses peradilan seharusnya mahal. Orang harus berfikir dua kali untuk mengajukan perkaranya ke pengadilan, karena mereka sebenarnya dapat menempuh jalan lain dulu seperti mediasi, arbitrase, dan lain-lainnya, kata Yusril.

Namun Yusril menegaskan, hal tersebut bukan berarti akan ada diskriminasi bahwa orang kecil tidak dapat berperkara di pengadilan. Pasalnya dalam pengaturannya nanti, akan ada subsidi biaya perkara bagi orang yang memang tidak mampu membayar biaya pengadilan.

Penegasan Menkumdang ini disampaikannya dalam pidato sambutannya di depan para hakim baru yang akan bertugas sebagai hakim di pengadilan-pengadilan di Jakarta pada 17 Juli 2000.

Terjangkau masyarakat
Namun, pandangan Yusril itu tidak didukung oleh Oka Mahendra, staf ahli Menkumdang. Saya kira kita masih mempertimbangkan hak seseorang yang mengajukan setiap konflik hukum yang dihadapi oleh mereka ke pengadilan, kata Oka. Untuk itulah Oka berpendapat, pengadilan harus terjangkau untuk masyarakat yang paling miskin sekalipun.

Ketidaksetujuan Oka terhadap biaya proses peradilan itu karena lebih melihat kepada keadilan pada masyarakat untuk memperoleh keadilan. Ia mengusulkan seharusnya justru birokrasi-birokrasi di pengadilan yang tidak perlu lah yang harus dipotong. Selain itu Oka juga mengusulkan penyempurnaan administrasi pengadilan dan perbaikan manajemen penanganan perkara.

Oka juga tidak menyetujui gagasan pemberian subsidi-subsidi yang tidak mendidik masyarakat. Kita harus mendidik masyarakat agar mandiri dan membuat mereka sadar bahwa selain hak mereka juga mempunyai kewajiban-kewajiban untuk membiayai republik ini, katanya.

Oleh karena itu Oka tidak sepakat pengadilan dengan biaya mahal. Namun ia mengakui, untuk saat ini biaya berperkara di pengadilan sudah cukup murah. Dan jika dinaikkan masih bisa, asal tidak terlalu mahal.

Menurut Oka, untuk saat ini sebenarnya biaya proses pengadilan sudah cukup ringan. Yang membuat mahal adalah untouchable money-nya, katanya. Untuk itu harus ada institusi di MA yang mengurusi masalah ini, termasuk uang titipan pihak ketiga. Karena saat ini mekanisme yang digunakan di pengadilan adalah sebelum masuk perkara, penggugat harus membayarkan dulu uang perkarta.

Oka tetap berpegang teguh pada azas peradilan yang murah, cepat, dan sederhana. Ini adalah demi keadilan bagi masyarakat luas. Untuk mempercepat perkara, Oka mengusulkan perlu mengembangkan alternatif disputes resolution, sehingga orang tidak langsung melimpahkan perkara-perkaranya ke pengadilan. Hal inilah yang perlu disosialisasikan ke masyarakat bahwa masih ada alternatif lain dalam menyelesaikan masalah selain

Hal senada juga dikatakan oleh Satjipto Rahardjo ketika dihubungi hukumonline melalui telepon bahwa kenaikkan biaya perkara seperti yang diusulkan Yusril, memang merupakan cara yang dimaksudkan untuk men- discourage (mengurangi jumlah) rakyat untuk berperkara di pengadilan, namun demikian, penaikan discourage bertentangan dengan hak asasi untuk mendapatkan pembelaan, di sisi lain merupakan peningkatan efisiensi pengadilan. Sebagaimana pernah terjadi di Amerika Serikat, suatu pengadilan kebanjiran tuntutan kecelakaan dan akhirnya pengadilan men-discourage perkara tuntutan kecelakaan.

Intervensi peradilan
Pada sambutan di depan hakim baru, Yusril juga menyatakan bahwa pemerintah tidak lagi mengintervensi peradilan. Dan memang hal itu sudah terbukti, sejak pemerintahan yang baru ini, pemerintah dalam hal ini Depkumdang tidak pernah intervensi lagi terhadap masalah-masalah justicia yang ada di tangan pengadilan, kata Yusril.

Dalam UU No. 35 tahun 1999 tentang perubahan atas UU No. 14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman, dikatakan bahwa Pasal 11 Ayat (1) UU 35 tahun 1999: badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), secara organisatoris, administratif, dan finansial berada di bawah kekuasaan MA. Seluruh urusan peradilan akan diserahkan kepada Mahkamah Agung paling lambat dalam waktu 5 tahun, ujar Yusril.

Sementara di dalam Pasal 11A ayat (1) UU No.35 tahun 1999 dinyatakan peralihan organisasi, administrasi, dan finansial, sebagaimana dimaksud Pasal 11 Ayat (1) dilaksanakan secara bertahap, paling lama lima tahun sejak UU ini mulai berlaku. Sementara pada Pasal 11A Ayat (2) disebutkan, pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial bagi peradilan agama waktunya tidak ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1).

Yusril mengatakan, bahwa saat ini Departemen Hukum dan Perundang-undangan telah melakukan hal tersebut sedikit demi sedikit. Namun ia mengakui pula bahwa hal itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Pasalnya, pekerjaan itu bukan hanya menyangkut pemindahan personelnya saja, melainkan juga mengenai aset, sarana dan prasarana seperti gedung-gedung pengadilan dan sebagainya. Yusril sendiri berharap, semuanya dapat dilakukan secepatnya. Lebih cepat lebih baik tandasnya.
Tags: