Misteri Masih Membungkus Munir(*)
Aboeprijadi Santoso(**)

Misteri Masih Membungkus Munir(*)

Munir gugur di musim gugur di atas Eropa, awal September 2004, ketika daun perlahan mulai layu dan akhirnya gugur – persis seperti nasib Munir.

Bacaan 2 Menit
Misteri Masih Membungkus Munir(*)
Hukumonline
Tapi Munir gugur penuh misteri. Misteri peracunan. 'Misteri' birokratik dan diplomatik seputar berkas autopsinya, yang melecehkan hak keluarganya. Dan misteri apa dan siapa di balik pembunuhan politik atas dirinya.

Beberapa indikasi mendukung bahwa Munir diracuni selepas Jakarta. Di bandara Soekarno-Hatta, Munir minum susu cokelat bersama istrinya, Suci, yang tetap sehat. Masuk pesawat, dia didekati pilot (tidak bertugas di kokpit), Pollycarpus, yang mengajaknya duduk di kelas bisnis.

Polly mengaku kepada polisi Munir salah masuk, tapi Suci membantah: menunjuk, Munir sering terbang. Munir makan dua juice, buah-buahan dan bakmi. Permen? "Munir tak suka permen," kata Suci. Di kelas bisnis, juice dituangkan, bukan dalam dus seperti dikatakan polisi.

Mengapa TEMPO (6 Desember) menunjuk pada bakmi, padahal bakmi (dus tertutup?) dibagi secara random, tak jelas. Tapi TEMPO (29 November) menyebut Polly "mondar-mandir" antara bar dan ruang pilot. Tiba di Singapura-Changi, Munir merasa mulas – mungkin dia tidak lagi membeli makanan atau minuman karena uangnya utuh. 

Seminggu setelah pemeriksaan polisi, Usman Hamid dari KontraS mendesak polisi agar menetapkan Polly sebagai tersangka, tapi polisi belum melakukannya (6 Desember). Ulah Polly memang dianggap "aneh". Dia pernah menelepon Munir menanyakan kepada Suci tentang keberangkatan Munir, mengaku mau menitip sesuatu.

Kepada Imparsial, dia cerita kepada Munir mau sama-sama ke Amsterdam, tapi belakangan turun di Singapura karena mau ke Shanghai, padahal esoknya dia pulang ke Jakarta sesuai surat tugas Garuda. Cerita Polly tidak konsisten.  Tak berarti Polly pasti biangnya, atau bekerja sendiri.

Aparat Belanda juga teledor. Hanya 20-an awak dan penumpang diperiksa pada 7 September pagi itu. Menurut keterangan Menkeh Belanda P.H. Donner di parlemen 31 November, dua dokter dari Gemeente Harlemmermeer baru datang tengah hari. Padahal, setiba di Bandara Amsterdam-Schiphol, Dr. Tarmizi Hakim yang merawat Munir di pesawat, sudah mengatakan ada keanehan.

Ketika ketiga dokter tersebut menolak menandatangani bahwa Munir meninggal secara wajar (natuurlijke dood), berarti ada dugaan pidana, para penumpang telah keluar tanpa diperiksa.

Misteri' birokratik & diplomatik 

Tragiknya, sementara kasus kematiannya merupakan misteri pembunuhan politik lewat peracunan, proses laporan autopsinya merupakan kisah tersendiri yang mencerminkan keutamaan proses negara, diplomatik dan birokrasi di atas hak-hak warga, dalam hal ini, si korban dan keluarga yang ditinggalkan. 

Sejak 7 September tengah hari, kasus Munir beralih ke tangan kejaksaan lokal, Openbare Ministerie (OM) Arrondissement Haarlem, yang membawahi bandara Schiphol dan Lembaga Forensik Belanda NFI (Nederlands Forensisch Instituut) melakukan autopsi.

Pada 9 September keluarga Munir yang menjemput jenazah memperoleh kesepakatan (lisan) dari pihak OM agar hasil autopsi diserahkan kepada keluarga melalui Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. "Kami akan mengupayakannya," ujar pejabat tersebut seperti dikutip wakil keluarga, Sri Rusminingtyas (Radio Nederland, 11 November).

Aparat OM, Marechaussee, menjanjikan akan memberi tahu keluarga dengan surat resmi. Pihak ICCO, yang mengundang Munir, kabarnya juga dijanjikan hal yang sama oleh Kementerian Luar Negeri Belanda. Menurut OM, hasil autopsi akan dikirim dalam tiga minggu. 

Menjawab pertanyaan parlemen, Menkeh P.H. Donner mengatakan, Marechaussee tidak berwenang memberi janji. Jika ada dugaan kasus pidana, laporan autopsi diserahkan kepada instansi kehakiman negara yang bersangkutan. Bagi Dewi Justisia, kasus pidana bisa menyangkut siapa saja, termasuk keluarga. Jadi, soal diserahkan kepada keluarga ataukah tidak, "mereka (pihak pemerintah Indonesia)-lah yang harus menimbangnya," ujar Donner.

Pemerintah Belanda mengaku tidak memiliki wewenang hukum karena korban "bukan warga Belanda, meninggal bukan di wilayah Belanda, bukan di pesawat Belanda, dan kasus delik ini bukan kasus universal" (Keterangan pers Het Openbaar Ministerie Arrondissement Haarlem 12 Nov). "Kalau gitu, kenapa dulu (9 Sept.) minta izin kepada saya untuk autopsi suami saya? Kan aneh itu!," ketus Suciwati, janda Munir, kepada Radio Nederland (2 Des). 

Menjelang minggu ketiga, akhir September, aparat Marechaussee mengabarkan kepada keluarga bahwa proses autopsi belum selesai, "perlu dikaji ulang" dan hasilnya ditunda 6 (enam) minggu. Wakil keluarga di Belanda memperoleh keterangan, kasus Munir kini dikategorikan "high priority". Sementara NFI yang mengaku sibuk dan pindah kantor dan laboratorium, membantah "ada masalah politik" dalam penundaan tersebut. (Radio Nederland 15 November.) 

Autopsi, menurut Menkeh P.H. Donner, dilakukan dua kali, 1 Oktober dan 13 Oktober, yang kedua untuk memastikan saat peracunan. Ini berarti waktu itu, telah dipastikan bahwa ada racun arsen, meski laporannya belum definitif; 9 November. Laporan diserahkan ke Kementerian Luar Negeri; 11 November.

Menlu Bernard Bot mengirimnya ke Deplu R.I. Menurut keterangan tertulis Menlu Bernard Bot kepada parlemen (24 Nov), ketika Menlu berkunjung ke Jakarta pada akhir Oktober, "hasil temuan sementara NFI (dus, arsen) telah diketahui" dan "Menlu RI Hassan Wirayuda telah diberi tahu dengan permintaan agar keluarga (Munir) segera diberi tahu".

Dalam debat parlemen (1 Desember ) Bot merincikan: 28 Oktober, dia memberi tahu rekannya, Hassan Wirayuda dan "sempat menyebut soal itu ketika bertemu presiden baru (SBY)" (Radio Nederland 2 Desember).  11 November pk. 10.30 Deplu R.I. menerima kesimpulan autopsi NFI dari Kedutaan Besar Belanda di Jakarta.

Pada hari yang sama, Deplu membocorkan berita peracunan Munir kepada harian NRC Handelsblad dengan menyebut Dirjen Eropa dan Amerika (Arizal Effendi) sebagai sumbernya. Tapi Deplu mengirim dokumen tersebut ke Kantor Polhukam, yang menyerahkannya ke Mabes Polri.

Akhirnya, pihak yang berhak mengetahui paling awal, janda Munir, Suci, harus bersusah payah melalui ketiga instansi tersebut dan baru esoknya, 12 November, Mabes Polri memberi tahu kesimpulan autopsi tanpa memberi salinan dokumennya. 

25 November sejumlah dokumen autopsi (8 berkas tebal berbahasa Belanda, sebagian asli, sebagian salinan; dengan 13 halaman berisi 26 foto) diperoleh Tim Polisi dan Dirjen Amerika dan Eropa Arizal Effendi dari tangan Kemlu Belanda.

Ketua tim Anton Carliyan menyatakan sepakat, dan tidak meragukan laporan NFI. Esoknya, seluruh dokumen dilegalisasikan oleh Kedutaan Besar RI di Den Haag sebagai barang bukti hukum sah, dengan disaksikan wakil keluarga Munir, Koordinator KontraS, Usman Hamid. Namun Usman kembali ke Jakarta tanpa memperoleh salinannya. 

Mesra antar negara, bukan kepada warga 

Proses di atas menimbulkan sejumlah pertanyaan. Di sisi Belanda: mengapa proses autopsi harus dikaji-ulang dan baru mendapat prioritas pada akhir September?; mengapa akhir Oktober temuan NFI masih disebut "sementara", namun telah diberitahukan pada Menlu dan Presiden R.I.?; mengapa baru lebih dua minggu kemudian, 11 November, hasil autopsi diserahkan kepada Deplu RI? 

Dan di sisi Indonesia: mengapa keluarga Munir tidak diberitahu ketika "temuan sementara" NFI pada 28 Oktober telah diketahui Menlu R.I. dan Presiden SBY?; mengapa presiden tidak segera menyiapkan pengusutan polisi?; mengapa Deplu pada 11 November membocorkan kesimpulan autopsi kepada media asing, tapi tidak bersedia memberi tahu keluarga Munir? 

Singkatnya, mengapa harus terjadi penundaan selama enam minggu dan pelecehan terhadap hak keluarga korban? Baru 6 Desember, sebulan setelah instansi R.I. mengetahui kesimpulan NFI, Mabes Polri memberi salinan dokumen autopsi NFI kepada Suci. 

Ada kesan, pemerintah Belanda yang telah mengetahui inti hasil autopsi Munir pada 1 Oktober dan 13 Oktober menunda sampai pemerintahan baru terbentuk di Jakarta dan baru menginformasikannya pada 28 Oktober, seminggu setelah SBY dilantik.

Di muka parlemen Belanda 2 Desember, Menlu Bot menegaskan dukungan dan kepercayaannya pada pemerintah baru. Sebaliknya, pemerintahan SBY yang sudah tahu pada 28 Oktober tidak mempersoalkan kelambatan pemerintah Belanda dan memilih baru bertindak setelah mendapat laporan 11 November.

Hubungan diplomatik yang mesra antara kedua negara diprioritaskan di atas urgensi pengusutan yuridis dan di atas penghormatan atas hak keluarga Munir.  Menanggapi pembocoran kesimpulan autopsi Munir oleh Deplu RI kepada koran Belanda, Direktur Imparsial Rachland Nashidik berkomentar: "Ini menyedihkan dan memalukan!" (Radio Nederland, Gema Warta 12 November).

Martha Meijer dari LSM HOM (Humanistische Mensenrechten Overleg) berkomentar serupa tentang kelambatan enam minggu hasil autopsi Munir tersebut: "Saya malu tentang pemerintah Belanda." (Radio Nederland, Jelajah Nusantara 12 November).

Di Inggris, Mendagri David Blunket terancam didaulat parlemen agar turun, hanya karena menyalahgunakan jabatan untuk membantu memperoleh visa bagi perawat Filipina untuk pacarnya. Di Indonesia, Menlu dan Dirjen Eropa dan Amerika dan instansi-intansi negara lainnya, termasuk presiden, tidak pernah minta maaf atas pengingkaran hak keluarga dalam kasus pembunuhan yang serius ini. 

Walhasil, Munir yang telah berjuang untuk negeri ini dan pergi di tengah misteri peracunan, masih dibuntuti `misteri' politik-birokrasi di luar negeri maupun di negeri sendiri. Proses hukum, birokrasi negara dan kebiasaan diplomatik telah memenangkan hak instansi- instansi negara di atas hak korban dan keluarganya, dalam kasus pembunuhan politik yang luar biasa ini – suatu arogansi instansi negara terhadap warga masyarakatnya sendiri. 

Misteri apa dan siapa 

Pertanyaan terbesar, tentu saja, ada apa dan siapa para pelaku dan dalang kejahatan peracunan terhadap Munir ini? Jawabannya masih jauh dari terang, namun sejumlah isu, tema serta kegiatan alm. Munir selama lima bulan sebelum meninggal sering dikutip sebagai bagian pendekatan. 

Sejauh diketahui, kebanyakan isu yang digeluti dan dipelajari almarhum dalam rangka kampanye maupun persiapan studi di Belanda menyangkut isu korupsi, isu TNI dan Aceh.

Terakhir kali saya berjumpa Munir, akhir Maret yang lalu, almarhum bercerita panjang lebar tentang bagaimana para jenderal bertengkar soal wewenang dan anggaran Darurat Militer dan Operasi Terpadu Aceh yang amburadul (Radio Nederland 30 Maret). 

Tetapi Munir juga mengkaji isu-isu lain, terutama masalah Rancangan Undang Undang TNI yang ditentangnya, juga soal dana TMMD ("TNI Manunggal Membangun Desa", dulu "ABRI Masuk Desa"). Dan Munir diketahui bermaksud menulis kajian tentang Aceh di Universitas Utrecht, Belanda. 

Meski banyak dugaan seputar kasus Menkeh Baharuddin Lopa, Jaksa Yamin dan Letjen. Agus Wirahadikusumah (mereka resminya meninggal sakit jantung; "Sakit jantung, kok muntah muntah?", tanya Rachland Nashidik), peracunan jarang terungkap sebagai cara pembunuhan politik. 

Preseden yang ada adalah misteri kematian Jose Martins-III, warga Timor Timur yang membantu Opsus di bawah Jen. Ali Moertopo dan Benny Moerdani pada 1974. Martins diundang pemerintah Soeharto untuk menghadiri perayaan 17 Agustus 1997, meninggal setiba di Jakarta dengan pesawat KLM. Kabarnya, dia diracun dan seluruh dokumen yang dibawanya sirna. 

Munir telah pergi. Dan Indonesia kehilangan salah satu patriotnya.  

(*) Versi lengkap artikel ini telah dimuat di situs Radio Nederland pada 8 Desember 2004

Hingga laporan ini diturunkan (8/12), ketiga misteri itu masih membungkus Munir. Inilah tragedi yang menimpa salah satu putra terbaik Indonesia.  Misteri di kabin  Munir berangkat dalam keadaan sehat. Menurut kalangan medis di Belanda, arsen tersisa sebanyak 465 mg di lambung itu merupakan kasus arsen akut, yang bekerja sejak setengah jam sampai 3-4 jam kemudian; pantas, tiga jam selepas Singapura, dia meninggal.

Jadi, peracunan itu diduga hanya (sic!) mungkin terjadi selama perjalanan Jakarta- Singapura.  "Arsen bekerja cepat, dalam setengah jam terserap ke badan," kata Dr. Lily Djojoadmodjo (Radio Nederland, Jelajah Nusantara 7 Desember).

Gejala pertama keracunan terjadi ketika Munir mengirim SMS dari Changi bahwa perutnya mulas, dia hanya duduk di ruang tunggu. Sumber lain menambahkan, dia buang air sampai dia hampir terlambat boarding. Saksi lain lagi melihat wajahnya "pucat".

Tapi Dr. Tarmizi yang berjumpa Munir ketika boarding mengatakan kondisi Munir "biasa biasa saja". Boleh jadi Munir agak lumayan setelah buang air. Laporan TEMPO (6 Desember) menunjuk pada bakmi goreng pesanan Munir. Berbeda dengan lewat minuman, arsen lewat makanan lebih lambat terserap. Yang terang, arsen baru menyebar benar selepas Singapura. 

Tags: