Memangkas Birokrasi untuk Memberantas Korupsi
Fokus

Memangkas Birokrasi untuk Memberantas Korupsi

Janji SBY memberantas korupsi harus diiringi dengan tindakan konkret. Memangkas jalur birokrasi, terutama mengenai izin pemeriksaan pejabat yang menjadi tersangka korupsi mutlak dilakukan.

Oleh:
Gie/Leo
Bacaan 2 Menit
Memangkas Birokrasi untuk Memberantas Korupsi
Hukumonline
. Kata-kata ini adalah bagian dari iklan layanan masyarakat hasil kreasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang cukup sering muncul di televisi. Iklan ini mengambil saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melantik menteri-menteri kabinet Indonesia Bersatu. Pesan dari iklan tersebut seolah ingin menunjukkan bahwa SBY tidak akan mentolerir bawahannya yang korup.

Namun, memang harus diakui menggiring koruptor ke bui bukanlah perkara mudah. Ada serangkaian prosedur yang harus dilewati, yang membutuhkan kecermatan dan kehati-hatian. Agar jangan sampai koruptor yang seharusnya mendekam dan meratapi nasibnya malah melenggang bebas. Apalagi bila sebuah kasus korupsi melibatkan pejabat negara. Ada serangkaian jalur birokrasi yang harus ditempuh untuk membawa perkara tersebut ke pengadilan

Pemeriksaan bagi pejabat yang diduga korupsi baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari presiden. Untuk mendapat izin tersebut pastilah memakan waktu dan jalur birokrasi yang panjang. Harus ada langkah konkret untuk memutus rantai birokrasi tersebut agar pemeriksaan pejabat yang diduga korupsi dapat berjalan lebih efektif.

Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan super, KPK sebenarnya punya senjata untuk memangkas jalur birokrasi untuk mengusut pejabat negara yang diduga ‘makan uang haram' itu. Dalam pasal 12 huruf e Undang-undang No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK mempunyai kewenangan untuk memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka korupsi agar tersangka diberhentikan sementara dari jabatannya.

Begitu pula dengan pemeriksaan aparat ataupun pejabat negara yang terlibat dengan dugaan korupsi, wewenang untuk memerintah presiden agar membuat izin juga dimiliki oleh KPK. Kewenangan ini pernah digunakan KPK dalam pemeriksaan kasus dugaan korupsi pembelian helikopter MI-2 senilai Rp12 miliar yang melibatkan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Abdullah Puteh.

Kalau untuk kasus Puteh KPK berani menggunakan kewenangannya, lantas bagaimana dengan perkara-perkara dugaan korupsi lain yang dilaporkan ke KPK, terutama yang melibatkan sejumlah pejabat di berbagai daerah?

Data terakhir per 10 November 2004, KPK telah menerima 1452 pengaduan masyarakat. Dari jumlah tersebut 1260 laporan (86,76 persen) telah ditelaah, dan hanya 87 laporan (5,99 persen) yang belum ditelaah. Berdasarkan laporan yang telah ditelaah, 111 diteruskan ke kepolisian dan 292 ke kejaksaan.

Kasus Puteh, kabarnya direncanakan untuk dilimpahkan ke pengadilan korupsi bertepatan dengan hari anti korupsi sedunia yang jatuh pada 9 Desember 2004. Tapi KPK memilih untuk mengundurkan pelimpahan itu. Perkara lain yang juga siap dilimpahkan ke pengadilan adalah dugaan korupsi yang melibatkan Harun Letlet, Kepala Keuangan Dirjen Perhubungan Laut. Letlet diindikasikan KPK terlibat korupsi pengadaan tanah pelabuhan di Tual, Maluku Tenggara senilai Rp10,8 miliar.

Diteruskannya 292 laporan yang masuk KPK ke kejaksaan diatas, dinilai justru makin menambah rumit jalur birokrasi yang tadinya diharapkan dapat dipangkas oleh KPK. Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Lucky Djani, menyatakan selama ini ICW melaporkan dugaan korupsi ke KPK karena tidak ada respon ketika laporan tersebut disampaikan ke kejaksaan maupun kepolisian.

Tapi ketika mereka melaporkannya ke KPK, alih-alih laporannya diproses dan ditindaklanjuti, KPK malah meneruskannya ke kejaksaan. Dari sekitar 60 laporan ICW ke KPK, baru dugaan korupsi di RRI yang ditindaklanjuti. Kami laporkan ke KPK karena KPK dianggap sebagai jalan tol tanpa harus mengalami proses panjang lagi. Nyatanya malah kembali lagi ke jalan yang konvensional, jelas Lucky kepada hukumonline (6/12).

Lucky menambahkan, alasan ketiadaan dana dan sumber daya manusia di KPK, seharusnya tidak bisa dijadikan alasan KPK untuk memindahkannya ke lembaga lain.

Dalam penjelasan tertulisnya di hadapan DPR 24 November kemarin, KPK menjelaskan laporan dugaan korupsi yang diteruskan kepada kepolisian dan kejaksaan disebabkan kasusnya tengah ditangani oleh kedua instansi tersebut.

Memperluas ketentuan

Memangkas jalur birokrasi untuk mengefektifkan pemberantasan korupsi memang bukan perkara mudah. Harus dirancang aturan hukum yang jelas untuk menegaskan langkah tersebut

Presiden SBY memang telah menandatangani izin bagi kejaksaan maupun kepolisian untuk melakukan pemeriksaan terhadap Bupati Halmahera Selatan dan Halmahera Barat, Bupati Kendari, Bupati Nias, Bupati Nabire, Bupati Banyuwangi maupun Walikota Depok. Sementara itu masih ada sederet izin-izin yang harus ditandatangani Presiden dalam pemeriksaan perkara korupsi

Dosen hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana dalam tulisannya di Kompas 23 November 2004 lalu menyebutkan peraturan pemangkas biroktrasi seyogianya dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Perundang-undangan (perpu) anti korupsi.

Perpu anti korupsi tersebut mengatur soal perizinan dari presiden untuk memudahkan agar pelaku korupsi yang melibatkan anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD diperiksa tanpa izin presiden, seharusnya diperluas lagi dan diperuntukan bagi penyelenggara dan pejabat negara.

Artinya, tanpa memerlukan izin khusus dari presiden siapa saja apa yang terlibat korupsi dapat langsung diperiksa. Menurut Denny, penghapusan perizinan bukan hanya untuk pihak legislatif, tapi berlaku untuk eksekutif dan yudikatif.

Sependapat dengan Denny, Lucky menambahkan untuk memangkas birokrasi yang rumit dalam perkara korupsi, paling tidak presiden harus mengeluarkan Perpu. Disitu akan ditegaskan bahwa pemeriksaan tersangka korupsi tidak memerlukan lagi seperangkat birokrasi dari presiden.

Lucky menambahkan, sejauh ini SBY memang sudah cukup responsif dalam menandatangani izin-izin untuk pemeriksaan pejabat penyelenggara negara yang diduga terlibat korupsi. Namun alangkah lebih baik jika aturan pemangkasan birokrasi itu dipertegas.

Dan pada 9 Oktober 2004, bertepatan dengan hari anti korupsi yang dicanangkan PBB, SBY menandatangani Inpres No.5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Sayangnya, dalam draf Inpres yang salinannya diperoleh hukumonline, Inpres  tersebut lebih menekankan upaya preventif ketimbang langkah-langkah yang strategis untuk memberantas korupsi.

Dalam instruksinya Kepada Jaksa Agung, SBY meminta agar mengoptimalkan upaya penindakan terhadap tindak pidana korupsi secara berimbang, antara penghukuman terhadap pelaku dan pengembalian kerugian keuangan negara. Kemudian, diinstruksikan pula agar Jaksa Agung memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum.

Kepada Menteri Pendidikan dan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi, SBY menginstruksikan agar menyelenggarakan pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan formal dan non formal, serta menggerakkan pendidikan anti korupsi dan kampanye anti korupsi kepada masyarakat.

Selintas Inpres yang diteken SBY kurang menggigit. Kalau begini, anda masih berani coba-coba korupsi?

Jangan Coba-Coba Korupsisetting

Dalam kenyataannya, meski umur pemerintahannya belum genap 100 hari, langkah pemberantasan korupsi yang diiklankan diatas perlahan-lahan menuai kritik. Bahkan iklan tersebut juga tak luput dari sasaran kritik. Dalam sebuah kolom surat pembaca di sebuah media, seorang pembaca membandingkan banyaknya iklan yang tidak sebanding dengan minimnya tindakan konkret pemberantasan korupsi.

Kemudian, dalam sebuah rapat kerja, KPK dan Kejaksaan—dua lembaga yang menjadi ujung tombak untuk menggiring perkara korupsi ke pengadilan—juga dicecar pertanyaan oleh wakil rakyat di DPR. Mereka mulai tidak puas dengan kinerja dua institusi tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags: