Kasus RUPSLB Bentoel Jadi Barometer Kepastian Hukum
Berita

Kasus RUPSLB Bentoel Jadi Barometer Kepastian Hukum

Jakarta,hukumonline Walaupun menjadi pemegang saham mayoritas, permintaan PT Bentoel Internasional Investama (BINI) untuk mengadakan RUPSLB ditolak manajemen PT Bentoel Prima. Kasus ini bisa menjadi barometer hukum. Karena ada kelalaian?

Oleh:
Leo/APr
Bacaan 2 Menit
Kasus RUPSLB Bentoel Jadi Barometer Kepastian Hukum
Hukumonline

Dalam diskusi yang bertajuk Bedah Kasus Bentoel yang diselenggarakan oleh Jakarta Lawyers Club (JLC), lagi-lagi masalah kepastian dan konsistensi penegakan hukum mengemuka. Ichsanudin Noersy, pengamat hukum, berkomentar bahwa struktur kepastian hukum di Indonesia sangat rendah.

Pada diskusi yang dipandu Mi'ing Bagito ini, kasus Bentoel dijadikan test case dan barometer untuk menegakkan kepastian hukum di Indonesia. Kasus Bentoel sendiri bermula dari pengambilalihan saham PT Bentoel Prima (BP) oleh PT Bentoel Internasional Investama Tbk (BINI) dari pemilik sebelumnya, Grup Rajawali.

BINI menguasai 75% saham BP. Sebagai pemegang saham mayoritas, BINI mengajukan permintaan untuk mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB). Selain untuk penataan manajemen, permintaan RUPSLB oleh BINI didasari dengan fakta bahwa sejak menjadi pemegang saham mayoritas belum pernah diselenggarakan RUPS.

Permintaan RUPSLB tersebut tidak ditanggapi oleh manajemen BP, yang mengakibatkan BINI mengajukan permohonan kepada PN Malang. BINI mengajukan permohonan agar PN Malang  mengeluarkan penetapan untuk melakukan pemanggilan RUPS kepada pemegang saham BP, berdasarkan Pasal 67 Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT).

PN Malang sendiri telah mengeluarkan putusan yang menolak permohonan tersebut. Atas penolakan PN Malang tersebut, BINI lewat kuasa hukumnya telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

RUPSLB atas permintaan pemegang saham mayoritas ditolak

Lucas, SH, selaku kuasa hukum BINI yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut, menegaskan bahwa kliennya merasa tidak ada kepastian hukum dalam kasus Bentoel ini. "BINI yang menguasai 75% saham, ditolak untuk mengadakan RUPS. Padahal berdasarkan UUPT 10% saja sudah bisa," katanya. BP sendiri terlambat untuk mengadakan RUPS, karena mereka baru mengadakan pada bulan Agustus.

Sebaliknya, Todung Mulya Lubis yang menjadi kuasa dari Bentoel Prima (BP) menyatakan bahwa kalau manajemen BP dibilang lalai dan terlambat mengadakan RUPS, itu terlalu prematur.

Halaman Selanjutnya:
Tags: