10 Perkara Litigasi Komersial Paling Menghebohkan 2004
Berita

10 Perkara Litigasi Komersial Paling Menghebohkan 2004

Perkara litigasi dengan nilai gugatan jutaan dolar sepanjang 2004 tak hanya terjadi di Jakarta. Di Kuala Tungkal, ibukota kabupaten Tanjung Jabung Barat bahkan ada sebuah gugatan yang melibatkan belasan kreditor asing.

Oleh:
Tim Redaksi
Bacaan 2 Menit
10 Perkara Litigasi Komersial Paling Menghebohkan 2004
Hukumonline

 

Sengketa ini berawal ketika PT Asia Pulp & Paper (APP) menerbitkan obligasi yang totalnya berjumlah AS$ 550 juta. Atas penjualan obligasi, dibuat loan agreement antara Lontar dengan APP tahun 1995. Setelah loan agreement itu jatuh tempo tahun 2001 dan 2003, Lontar yang merasa sudah melakukan pembayaran tidak mau membayar utang tersebut. Kuasa hukum Lontar dari Hotman Paris & Partners beranggapan telah terjadi penyelundupan hukum, yaitu dengan cara membuat dua jenis perjanjian yang isinya berbeda atas satu transaksi utang. Atas dasar itulah Lontar mengajukan gugatan terhadap 14 pihak.

 

Salah satu kuasa hukum tergugat menerangkan, bahwa perjanjian pinjaman (loan agreement), Perjanjian Penerbitan Surat Utang (Indenture) dan Perjanjian Emisi Efek (Underwriting Agreement) merupakan perjanjian yang mengikat dan sah serta diatur oleh Hukum New York. Meski berdasar pada hukum New York, kuasa hukum penggugat mengajukan gugatan di Indonesia. Atas dasar salah satu pihak tergugat berada di Kuala Tungkal, Indonesia

 

16 September 2004, Pengadilan Negeri Kuala Tungkal memutuskan untuk mengabulkan gugatan Lontar. Hampir serupa dengan putusan dalam kasus Tripolyta, Majelis Hakim PN Kuala Tungkal menyatakan adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para tergugat, namun tidak ada ganti rugi yang dikabulkan.

 

3. BFI Finance dan Gadai Saham

 

Pegadaian boleh bersemboyan Menyelesaikan masalah tanpa masalah. Tapi yang terjadi di PN Jakarta Pusat gadai saham malah membawa masalah. Perseteruan PT Aryaputra Teguharta (APT) dengan PT BFI Finance (BFI) bermula dari perjanjian gadai saham yang ditandatangani pada 1 Juni 1999. Perjanjian gadai ini adalah tindak lanjut pemberian fasilitas kredit (financial leasing agreeement) yang diberikan BFI kepada Ongko Group, dimana APT berkedudukan sebagai penjamin. BFI menerima jaminan dari APT berupa gadai 111.804.732 lembar saham.

 

Menurut APT, gadai saham ke BFI berlangsung selama 12 bulan, dan diperpanjang sampai 18 bulan. Artinya, gadai tersebut telah berakhir pada 1 Desember 2000. Sebaliknya, menurut kuasa hukum APT, dengan berakhirnya perjanjian gadai saham pada 1 Desember 2000, otomatis BFI tak berhak lagi untuk mengalihkan atau menjual saham APT. Nyatanya, menurut versi APT, saham-saham tersebut dijadikan bagian dari pembayaran kewajiban BFI ke sejumlah kreditornya.

 

Majelis hakim PN Jakarta Pusat memutuskan bahwa perjanjian gadai saham yang dijadikan landasan BFI menjual saham-saham APT sudah tidak berlaku lagi. Selain itu, majelis juga memutuskan sita jaminan terhadap seluruh saham BFI yang telah pindah kepemilikan. Persoalan gadai saham ini mengundang perhatian Mahkamah Agung (MA). Sampai-sampai dalam Rakernas di Semarang, Ketua MA menghimbau larangan terhadap penyitaan saham perusahaan publik. Pasalnya, penyitaan saham ini dinilai akan merugikan kepentingan pemegang saham minoritas.

 

4. Prudential

 

Tahun 2004 adalah tahun gugatan bagi PT Prudential Life Assurance (Prudential). Perusahaan asuransi kampiun dari Inggris ini harus jatuh bangun menghadapi serangkaian gugatan dan permohonan pailit. Hukumonline mencatat tak kurang dari empat permohonan pailit plus gugatan perdata terhadap perusahaan tersebut.

 

Yang paling menohok tentunya permohonan pailit yang diajukan Lee Bon Siong, WN Malaysia yang pernah menjadi agen Prudential ke pengadilan niaga. Permohonan tersebut berbuntut dengan pailitnya perusahaan yang tergolong ‘top five' di Indonesia. Namun, kepailitan Prudential tidak berlangsung lama karena Mahkamah Agung, tak sampai 30 hari membatalkan putusan pengadilan niaga.

 

Setelah perkara Lee beres, selanjutnya Prudential masih menuai permohonan pailit dan gugatan perdata. Giliran pemegang polis dan pihak yang terlibat dalam proses kepailitan yang mengajukan pailit. Namun, tiga permohonan pailit tersebut kandas di pengadilan niaga. Sementara untuk gugatan perdata dikabarkan prosesnya masih berjalan di pengadilan negeri.

 

Kasus kepailitan Prudential, diduga kuat menjadi pendorong diamandemennya Undang-Undang Kepailitan. Undang-Undang No.37/2004 tentang Kepailitan mensyaratkan permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan, tidak boleh sembarang pihak.

 

5. Karaha Bodas Company

 

Perkara Karaha Bodas langsung jadi buah bibir kabinet Indonesia Bersatu. Bukan apa-apa, tekanan agar pemerintah Indonesia mematuhi putusan arbitrase internasional plus membayar ganti rugi AS$261 juta semakin hebat.

 

Upaya hukum Pertamina ke Mahkamah Agung (Supreme Court) Amerika ditolak pada 4 Oktober 2004. Mahkamah memutuskan Pertamina harus membayar klaim kepada KBC sesuai dengan putusan tingkat banding. Putusan ini berbuntut penyitaan 15 rekening senilai AS$ 29 juta milik pemerintah Indonesia yang ada di Bank of America dan Bank of New York. Sementara di Indonesia, pada 23 November lalu Mahkamah Agung (MA) membatalkan putusan PN Jakarta Pusat  yang membatalkan putusan arbitrase internasional. MA berpendapat pembatalan putusan arbitrase internasional bukanlah kewenangan pengadilan negeri.

 

Direktur Pertamina Widya Purnama jauh-jauh hari memberikan isyarat tidak akan membayar klaim yang timbul akibat penghentian proyek pembangkitan listrik tenaga panas bumi di daerah Garut, Jawa Barat. Widya menyatakan akan mengundurkan diri seandainya klaim tersebut dibayar. Lagipula, uang untuk membayarnya mau diambil darimana, bos?

 

6. Penyitaan Plaza Senayan

 

Boleh jadi ribuan orang yang rajin mengunjungi Plaza Senayan tidak tahu kalau gedung tersebut telah dijadikan objek sita jaminan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sejak November lalu. Penyitaan tersebut adalah buntut sengketa antara Sekretariat Negara (Setneg) Republik Indonesia cq Badan Pengelola Gelora Bung Karno (BPGBK) dengan Kajima Overseas Asia (Kajima) dan dan PT Senayan Trikarya Sempana (STS). BPGBK tidak puas dengan isi perjanjian karena dinilai berat sebelah dan meminta sejumlah revisi. Di sisi lain, Kajima dan STS bersikukuh tidak melakukan wanprestasi dan tetap menaati isi perjanjian yang dibuat sejak 1989 lalu.

 

Perkara yang akan memulai sidang perdana 5 Januari 2005 mendatang ini juga diwarnai kasak-kusuk adanya konflik kepentingan dari dua kantor pengacara. BPGBK diwakili oleh Wrrens & Achyar, sementara STS diwakili Ihza-Ihza. Sebagian kalangan mempersoalkan kedudukan Hidayat Achyar yang menjadi partner di Ihza&Ihza. Pasalnya, Hidayat tak lain adalah founding partner dari Warens & Achyar. Belakangan, pihak Warens & Achyar mengklarifikasi kalau Hidayat tak lagi menjadi bagian dari mereka karena sudah hengkang sejak setahun silam.

 

7. Eksekusi Gedung ASPAC

Di negeri ini, mengantongi putusan pengadilan belum berarti bisa menguasai barang yang jadi objek perkara. Seringkali, putusan pengadilan menjadi tidak berarti ketika menempuh proses eksekusi. Eksekusi Gedung Aspac di Kuningan, Jakarta adalah salah satu contohnya. Eksekusi gedung hasil lelang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ini terhadang berbagai kendala. Walaupun PT Bumijawa Santosa (Bumijawa)—pemenang lelang--telah mengantongi penetapan fiat eksekusi dari PN Jaksel, ternyata eksekusi tidak berjalan mulus karena mendapat perlawanan dari pemilik sebelumnya lama, PT Mitra Bangun Griya (MBG).

 

MBG menggugat transaksi penjualan yang dilakukan BPPN tersebut. Kalah di tingkat pengadilan negeri, MBG berhasil memenangkan gugatan di pengadilan tinggi, sehingga penjualan dibatalkan. Tidak lantas diam, BPPN mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan juga membawa perkara itu ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN). Hasilnya, PT TUN menyatakan pengesahan penjualan gedung ASPAC oleh BPPN. Hingga kini MBG masih menduduki gedung tersebut, sedangkan eksekusi gedung tersebut masih menunggu izin dari MA.   

 

8. KAP Eddy Pianto Vs KAP Hadi Sutanto

 

Ditolaknya laporan keuangan PT Telkom Tbk oleh Securities Exchange Commission (SEC) pada 2002 lalu memang bukan cerita baru. Namun, penolakan itu menyisakan cerita lain. KAP Eddy Pianto, auditor Telkom yang hasil auditnya ditolak SEC malah menggugat Kantor Akuntan Publik (KAP) Hadi Sutanto (sekarang telah berubah menjadi KAP Haryanto Sahari). Eddy menilai KAP Hadi Sutanto telah memberikan interpretasi keliru dan menyesatkan yang mengakibatkan laporan keuangan Telkom ditolak SEC.

 

Selain mengajukan gugatan ke pengadilan negeri, Eddy Pianto juga mengadukan KAP Hadi Susanto ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Di luar dugaan, KPPU menyatakan KAP Hadi Susanto melanggar Undang-Undang Persaingan Usaha dan mengganjar denda Rp10 miliar. Kontan Hadi mengajukan keberatan ke pengadilan negeri. 2 September 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menganulir putusan KPPU.

 

Di sisi lain gugatan perbuatan melawan hukum Eddy juga kandas. Pada putusan yang dibacakan awal Desember ini, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpendapat gugatan tersebut tidak berdasar. Sehingga audit ulang yang dilakukan KAP Hadi Sutanto dinyatakan tetap sah

 

9. Merek 100

Berawal dari temuan Harry Sanusi--pemegang hak merek minuman 100--di Daftar Umum Merek, Direktorat Jenderal (Ditjen) HKI, pada 2000 dan 2001. Harry kemudian menggugat Fraser and Neave Limited, karena mendaftarkan merek yang mirip dengan merek 100 miliknya yang terdaftar sejak tahun 1998. Apalagi permohonan merek 100 Power dan 100 Plus Power  oleh Fraser and Neave Limited diajukan untuk kelas 32 yang melindungi jenis barang seperti air mineral, minuman dari sari buah, sirop, dan sediaan lain untuk membuat minuman, dinilai sama dengan merek yang ia daftarkan. Perkara ini kembali mempersoalkan penilaian subjektif Ditjen HKI mengenai persamaan pada pokoknya.

 

Gugatan semacam ini bukanlah yang pertama kali dilakukan oleh Harry. Sebelumnya, Harry telah bergelut hingga tingkat Peninjauan Kembali, untuk mempertahankan haknya. Saat itu Harry mengajukan pembatalan merek 100 milik PT Jakarana Tama, yang terdaftar untuk kategori barang kelas 30. Selain itu dia juga pernah memperkarakan PT Olagafood Sukses Mandiri, produsen mie dengan merek Alhami, di Pengadilan Niaga Medan. Namun, perkara yang sudah sampai di tingkat Peninjauan Kembali ini belum terdengar perkembangannya. 

 

10. Perebutan gedung Arthaloka

Bisa jadi kericuhan yang menggagalkan eksekusi gedung Aspac dijadikan inspirasi bagi karyawan Arthaloka untuk menghalangi eksekusi sebidang tanah seluas 16.600 meter persegi di sekitar Gedung Arthaloka. Pada 15 Desember 2004 lalu ratusan karyawan PT Taspen menolak eksekusi tersebut, hingga diwarnai bentrokan dengan juru sita Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

 

Ketegangan ini berawal dari sengketa penyewaan lahan Kompleks Gedung Arthaloka yang terjadi antara PT Taspen dengan pengusaha Probosutedjo. Pasalnya, Taspen menilai Penetapan Ketua PN Jakpus cacat hukum, karena bertentangan dengan Surat dari Mahkamah Agung No. KMA/607/IX/2003 yang menyatakan bahwa tanah itu tidak dapat dieksekusi.

Kami pilihkan 10 perkara litigasi yang paling menghebohkan tahun 2004. Tak semuanya melibatkan uang jutaan dolar, karena sebagian perkara justru memiliki perdebatan yuridis yang menarik.

 

1. Tripolyta

 

Pengacara ‘adu otak' di persidangan adalah lazim, tapi kalau nyaris ‘adu otot' itu lain cerita. Dua pengacara kondang—Luhut Pangaribuan dan Hotman Paris Hutapea—dikabarkan nyaris ‘adu otot' karena imbas perdebatan sengit di persidangan perkara Tripolyta. Perseteruan dua pengacara ini hanyalah bumbu dari perkara yang sesungguhnya. Perkara yang disidangkan di Pengadilan Negeri Serang ini memang menarik perhatian dan sempat menjadi sorotan kalangan investor asing. Sebab, dasar pengajuan gugatan yang berawal dari penerbitan obligasi senilai jutaan dolar tahun 1996 lalu dinilai sulit diterima oleh kreditor asing.

 

PT Tripolyta Tbk berdalih perjanjian penjaminan penerbitan obligasi (parent guarantee) yang diterbitkan pada 25 Nopember 1996, serta akta penjaminan fiducia untuk transaksi tersebut cacat hukum. Oleh sebab itu, PN Serang harus membatalkan perjanjian tersebut plus 97 pemegang obligasi dihukum membayar ganti rugi jutaan dolar.

 

Putusan pengadilan berbicara lain. 12 Mei 2004, PN Serang mengabulkan sebagian gugatan Tri Polyta. Namun, tak sampai 14 hari beredar kabar yang mengejutkan kalau Tri Polyta—lewat kuasa hukumnya Hotman Paris Hutapea—mencabut perkara tersebut. Misteri memang kemudian menyelimuti kelanjutan sengketa ini. Baik pihak Tri Polyta maupun kreditor pemegang obligasi tak ada yang serius menjelaskan kelanjutannya

 

2. Lontar Papyrus

 

Kuala Tungkal, ibu kota Kabupaten Tanjung Jabung Barat, 125 kilometer dari ibu kota provinsi Jambi, menjadi saksi perkara yang melibatkan 13 kreditor asing dengan nilai gugatan jutaan dolar. Mulai dari Asia Pulp and Paper, Bank America National Trust Company, PT Lontar Papyrus Pulp and Paper Industry (Lontar), dan Morgan Stanley terlibat dalam perkara tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags: