Pekerjaan Besar Memberantas Korupsi
Fajrimei A. Gofar(*)

Pekerjaan Besar Memberantas Korupsi

Telah 59 tahun Indonesia merdeka, namun penyakit korupsi tak kunjung teratasi. Malah makin hari semakin mewabah.

Bacaan 2 Menit
Pekerjaan Besar Memberantas Korupsi
Hukumonline

Baru tahun 1971 Indonesia memiliki undang-undang khusus mengenai pemberantasan korupsi. Pada era reformasi UU ini digantikan UU No 31 Tahun 1999 yang juga tidak berdaya. Ujung-ujungnya undnag-undang tersebut direvisi juga. Selanjutnya, sesuai amanat UU No 31 Tahun 1999, diundangkan pula UU No 30 Tahun 2002 untuk membentuk KPK. 

Secara substansi, UU No 31 Tahun 1999 telah mengatur berbagai aspek yang kiranya dapat menjerat berbagai modus operandi tindak pidana korupsi yang semakin rumit. Dalam UU ini, tindak pidana korupsi telah dirumuskan sebagai tindak pidana formiil; pengertian pegawai negeri telah diperluas; pelaku korupsi tidak didefinisikan hanya kepada orang perorangan tetapi juga korporasi; sanksi yang dipergunakan adalah sanksi minimum sampai pidana mati; dan telah pula dilengkapi dengan pengaturan mengenai kewenangan penyidik, penuntut umumnya hingga hakim yang memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan, dalam segi pembuktian telah diterapkan pembuktian terbalik secara berimbang; dan sebagai bentuk kontrol dalam UU ini dilengkapi dengan pengaturan mengenai peran serta masyarakat.

Substansi pengaturan seperti ini dapat dikatakan lebih dari cukup untuk memberantas korupsi. Namun, pengaturan itu belum disertai dengan lembaga penegakan hukum yang memadai dan bersih. Baik penyidik, penuntut umum, dan hakim masih belum bisa menghindarkan diri dari godaan korupsi. Lembaga-lembaga ini lebih banyak diisi oleh orang-orang yang lapar sehingga praktek jual-beli perkara merupakan hal yang lumrah. Mafia peradilan masih begitu kokoh untuk diruntuhkan. Akibatnya lembaga-lembaga ini belum berfungsi sebagai mana mestinya.

Ketidakefektifan  fungsi lembaga-lembaga hukum ini  diakui dalam UU No 30 Tahun 2002 sehingga perlu dibentuk KPK. Tapi sayangnya, pengangkatan orang-orang untuk menjalankan fungsi KPK sarat dengan tarik-ulur politik yang mengabaikan tujuan dasar pembentukan KPK. Akhirnya, KPK diisi oleh orang-orang yang kredibilitas dan kapasitasnya yang diragukan publik.

Kebobrokan lembaga-lembaga penegakan hukum dilengkapi pula dengan budaya hukum masyarakat yang menganggap korupsi sebagai hal yang lazim. Hampir setiap orang berlomba mencari kesempatan untuk melakukan korupsi. Parahnya lagi, masyarakat melihat keanehan jika orang yang menjadi pejabat di lahan basah tidak bergaya hidup mewah. Masyarakat telah dikelilingi dengan praktek-praktek korupsi hingga ketataran birokrasi dan pejabat yang paling bawah. Penyunatan uang negara  bukan suatu hal yang luar biasa. Melakukan penyuapan-penyuapan untuk memperlancar birokrasi, yang sengaja diperumit, merupakan hal yang biasa.

Pada abad ke-4 SM Socrates telah mengingatkan kita agar tidak hanya memusatkan diri pada tubuh dan uang, prestise jasmani, atau kemasyhuran. Hal yang utama adalah peningkatan jiwa -- yang berarti mengejar kebijaksanaan dan kebenaran. Kebajikan tidak muncul dari uang tetapi kebajikan mendatangkan uang dan segala kebaikan bagi manusia (Lihat: T.Z. Lavin, Petualangan Filsafat: Dari Socrates ke Sartre, 2002). Sayangnya, masyarakat kita masih terjebak untuk menuruti hasrat yang merangsang manusia.

Menurut Bertrand Russell, sejak masa primitif, hasrat mendasar yang merangsang manusia belum mengalami perubahan, yaitu: keserakahan, keangkuhan, permusuhan dan gila kekuasaan (Lihat: Robert E. Egner, Bertrand Russell: Serpih-serpih Pemikiran, 2003). Masyarakat kita masih mengagungkan kekayaan untuk menunjukkan status sosial. Jumlah kekayaan telah dijadikan simbol kesuksesan sebagai manusia sehingga segala cara dilakukan walaupun dengan menghilangkan moralitas. Budaya seperti ini mengindikasikan kegagalan institusi-institusi moral dalam mencapai tujuannya, termasuk di situ lembaga pendidikan. 

Oleh karenanya, dapat dikatakan masyarakat kita telah membunuh Tuhan seperti yang dikatakan Nietzche (Joyful Wisdom, 1882). Keyakinan tentang Tuhan dan segala larangannya dikesampingkan demi mengejar harta kekayaan dan kemasyhuran.

Apabila pemerintahan sekarang sangat berkomitmen memberantas korupsi, ada pekerjaan besar yang harus dilakukan, yaitu: mengupayakan agar hukum agar dapat bekerja dengan baik. Tetapi, melihat kejahatan korupsi yang demikian luar biasa dan mengakar, penyelesaiannya tidak cukup dengan mengedepankan hukum semata. Sangat perlu juga untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat seperti yang diinginkan Tan Malaka dan Bung Hatta.

Selama ini, masyarakat kita telah dibiarkan dalam kebodohannya. Dengan demikian, lembaga pendidikan menjadi hal yang penting. Akses terhadap pendidikan bukan diberikan kepada mereka yang mampu secara finansial saja. Tetapi diberikan seluas-luasnya, yaitu dengan  pendidikan murah. Tujuan pendidikan bukanlah hanya terpaku agar anak didik dapat mencari kerja. Tetapi yang dibutuhkan dalam pendidikan adalah metode ilmiah agar anak didik dapat berpikir mana yang benar dan mana yang salah. Dengan sendirinya masyarakat Indonesia menjadi masyarakat madani, yang menjunjung tinggi moralitas.

Pembarantasan korupsi di Indonesia kiranya belum dapat diselesaikan dalam waktu singkat dengan cara yang mudah. Banyak benang kusut yang perlu diurai. Tetapi harapan terhadap pemerintah, yang belum genap seratus hari ini, minimal adalah mulai memancang pilar-pilar untuk mengatasi korupsi. Di antaranya  menambal celah-celah yang terdapat dalam instrumen hukum; membersihkan sapu-sapu yang kotor di lembaga-lembaga penegak hukum; dan meningkatkan kecerdasan masyarakat untuk menciptakan masyarakat madani.

Hukum beserta lembaganya dibuat tak berdaya menjalankan fungsinya.  Padahal setiap pemimpin baru di negara ini, di awal pemerintahannya, selalu berkomitmen untuk memberantas korupsi. Tetapi, komitmen itu tinggal janji belaka, korupsi tetap belum teratasi. Akhirnya fenomena ini membuat kita bertanya,  apa yang salah? Hukumnya atau pemerintahnya?

Sekarang Indonesia telah memiliki presiden baru yang selalu mendengungkan jargon ‘perubahan'. Lagi-lagi–-seperti pendahulunya—Presiden SBY berkomitmen untuk memberantas korupsi, bahkan para menterinya diharuskan mengucapkan sumpah untuk tidak melakukan korupsi. Hal ini merupakan suatu awal yang baik. Tetapi, telah terbukti bahwa pemberantasan korupsi belum bisa dilakukan hanya dengan komitmen saja.

Harapan masyarakat dalam pemberantasan korupsi bukanlah sekedar penyelesaian melalui berbagai kompromi politik tetapi juga bagaimana hukum untuk memberantas korupsi dapat bekerja dengan baik. Dalam pandangan yang sering dipakai gerakan Critical Legal Studies,  ada tiga hal penting yang harus diperhatikan untuk melihat apakah hukum sudah bekerja dengan baik atau belum, yaitu: instrumen hukum, lembaga hukum, dan budaya hukum masyarakat.  

Ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak peraturan perundang-undangan untuk memberantas korupsi. Di antaranya ada KUHP, UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  beserta revisinya melalui UU No 20 Tahun 2001, bahkan sudah ada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan UU No.30 Tahun 2002. Tetapi korupsi masih belum teratasi.

Seperti diketahui, KUHP merupakan warisan pemerintah Hindia Belanda. Warisan yang puluhan tahun itu sampai sekarang masih dijadikan kitab sakti para penegak hukum. Di sisi lain, masyarakat Indonesia sekarang bukan masyarakat dua abad yang lalu. Tetapi masyarakat abad ke-21 yang telah berubah. Termasuk  ‘otak kriminal'-nya telah mengalami evolusi. Cara untuk menggelapkan uang negara semakin smooth. Sementara KUHP yang positivisme itu tidak mampu mengikuti evolusi kejahatan korupsi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: