Belum Ada Aturan Tegas yang Mengatur Politik Uang
Berita

Belum Ada Aturan Tegas yang Mengatur Politik Uang

Jakarta, Hukumonline. Istilah politik uang (money politics) begitu populer pada saat pemilihan umum (pemilu). Meskipun ada undang-undang yang mengatur suap-menyuap, masalah dalam praktik politik uang belum diatur dengan tegas. Akibatnya, politik uang masih merajalela.

Oleh:
Ari/APr
Bacaan 2 Menit
Belum Ada Aturan Tegas yang Mengatur Politik Uang
Hukumonline
Soehandjono, staf ahli Kejaksaan Agung dan mantan Jaksa Agung Muda Bidang Perdata/Tata Usaha Negara, mengakui maraknya politik uang. Dari pengalamannya menjadi Panwaslak (Panitia Pengawas dan Pelaksana) Pemilu, politik uang terjadi di setiap pemilu. Tapi masalahnya masih tidak sampai ke kejaksaan, cetusnya dalam sebuah seminar politik uang.

Menurut Soehandjono, peraturan perundang-undangan untuk mencegah terjadinya politik uang sudah dibuat, tapi politik uang berjalan terus. Politik uang diatur dalam UU 11/1980 tentang tindak pidana suap.

Pada Pasal 1 UU ini disebutkan bahwa tindak pidana suap dalam UU ini adalah di luar ketentuan perundang-undangan yang ada, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan UU No3/1971 tentang tindak pidana korupsi, serta UU No.15 tahun 1969, UU No.4/1975, UU No.2/1980 tentang Pemilu Anggota Badan Perwakilan/ Permusyawaratan.

Rumusan tentang suap menyuap dalam UU No11/1980 hanyalah meliputi satu perbuatan, baik dalam penyuapan aktif (Pasal 2) maupun penyuapan pasif (pasal 3). Hal ini menyerupai Pasal 209 (penyuapan aktif) dan Pasal 419 KUHP.

Sebaliknya rumusan dalam Pasal 1 (1) UU NO.3/1971 dan Pasal 418 KUHP yang dikategorikan tindak pidana korupsi, tidak ditemukan dalam Pasal 2 dan 3 UU No.3/1980. Sementara suap menyuap yang menyangkut Pegawai Negeri Sipil (PNS) diatur dalam UU no.3/1971 yang tampaknya sejalan dengan UU No 11 tahun 1980.

Berdasar UU No.2 /1999, dana bantuan berupa uang illegal untuk partai politik (parpol) dilarang dan jumlah sumbangan ditetapkan maksimal Rp150 juta. Namun sanksi bagi penyogok uang illegal tergolong kecil. Pada Pasal 19 UU No 2 1999 dinyatakan, sanksi bagi mereka yang menyumbang melebihi ketentuan diancam pidana selama-lamanya 30 hari.

Menurut Soehandjono, praktik suap menyuap, uang illegal, atau politik uang dalam pemilu dapat ditangani dengan menggunakan undang-undang yang ada. Kesulitannya pada pembuktiannya, cetusnya.

Soehandjono berpendapat, bila inisiatif suap berasal dari penerima/peminta uang hal ini tidak bisa diketegorikan penyuapan, tetapi hanya pemerasan. Penanganan kasus politik uang amat ditentukan oleh political will pemerintah dan konsistensi aparat penegak hukum, ujarnya.

Oleh karena itu yang paling penting adalah mendeskripsikan arti suap menyuap dengan baik, sehingga dapat ditangkap dengan jelas batas-batasnya. Soehandjono mengatakan bahwa untuk membuktikan kasus suap diperlukan iunfrastuktur yang memadai dari pihak kepolisian, seperti alat penyadap. Cara-cara yang dilakukan sekarang masih tradisional, katanya.

Soehandjono memberikan rekomendasi, perlu dibuat UU yang melindungi saksi dalam kasus suap. Kemudian, penerima suap yang berinisiatif lebih dulu dapat dikenakan tindak pidana pemerasan seperti diatur di Pasal 368 KUHP. Dalam hal ini pemeras dapat dijadikan saksi mahkota, katanya.

Saksi mahkota adalah salah satu terdakwa yang dijadikan saksi atas tindak pidana yang juga dilakukan olehnya di mana kesaksian terdakwa tersebut sangat menentukan terkuaknya semua yang berkaitan dengan tindak pidana tersebut. Setelah memberikan kesaksian, saksi mahkota dapat dibebaskan dari tuntutan atas tindak pidanaa tersebut.

Untuk mengatasi masalah politik uang, Sohendjono menegaskan perlunya mekanisme pengawasan dari masyarakart untuk agar tidak terjadi politik uang serta kode etik bagi para politisi.

UU Politik Uang
Suhana Natawilana, partisipan lawyer untuk YLBHI dan anggota Aliansi Pengacara untuk Demokrasi Indonesia, berpendapat bahwa undang-undang yang mengatur suap menyuap tidap dapat digunakan sebagai dasar pemberantasan politik uang. Karena antara suap menyuap dan politik uang merupakan hal yang berbeda, kata Suhana.

Menurut Suhana, dalam suap menyuap, penyuap adalah sekelompok masyarakat dan kelompok yang disuap adalah institusi lain yang mempunyai kewenangan dalam bidang tertentu. Sementara dalam politik uang, yang memberi uang adalah justru orang yang mempunyai kewenangan/kepentingan tertentu. Dan yang menerima biasanya anggota masyarakat yang diperlukan suaranya untuk memenuhi kepentingan si pemberi uang.

Oleh karena itu Suhana menyatakan, aturan dalam UU No3/1979 mengenai Pemilu juga tidak releven apabila digunakan sebagai sanksi dalam politik uang. Harus dibuat UU sendiri mengenai politik uang karena sampai saat ini belum ada UU yang mengaturnya, ujarnya.

Tumpang tindih
Pasal 17 UU No.2/1999 tentang partai politik memberikan wewenang luas bagi Mahkamah Agung (MA) untuk mengontrol dan menerapkan peraturan partai politik, terutama Bab IV yang membahas keuangan partai politik. Sementara dalam Pasal 48 dan 49 UU No.3 tentang Pemilu, diatur penggunaan dana kampanye bagi parpol selama Pemilu.

Laporan International Foundation for Election Systems (IFES) yang bertajuk Politik Uang: Peraturan Dana Politik di Indonesia pada Desember 1999 menyebutkan terjadinya tumpang tindih dan perlakuan yang tidak konsisten atas perlakuan UU keuangan parpol menurut kedua undang-undang itu.

Berdasar UU no2/1999, MA diberi kewenangan untuk memberikan sanksi administrasi dan dapat mencabut hak parpol untuk ambil bagin dalam pemilu jika melanggar Pasal 13 dan 14. Sementara dalam Pasal 15 disebutkan bahwa laporan parpol boleh diaudit akuntan publik yang ditiunjuk MA.

Namun pengawasan audit keuangan ini sangat lemah. Berdasarkan laporan IFES pada Maret 2000, dari 141 partai terdaftar, 74 partai tidak menyerahkan laporan sama sekali ke MA. Dari 48 partai yang ikut Pemilu pada Juni 1999, hanya 12 partai menyerahkan laporan akhir tahun ke MA. Dan hanya lima dari 21 partai yang mendapat kursi di DPR yang menyerahkan laporan secara lengkap.

Dengan UU yang tumpang tindih dan sanksi yang tidak tegas, rasanya sulit memberantas politik uang. Apalagi jika politik uang itu menyangkut pejabat atau elite politik, seperti pada kasus Bank Bali. Dan para aktor kasus politik uang pun tetap bebas melenggang kangkung, bebas dari jerat hukum.


Tags: