Terapi Kejut 100 Hari Pemerintahan dan Perlindungan HaKI
Gunawan Suryomurcito(*)

Terapi Kejut 100 Hari Pemerintahan dan Perlindungan HaKI

Selama kampanye kepresidenan yang lalu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berjanji akan memberikan serangkaian terapi kejut untuk membenahi negara dari berbagai bentuk korupsi dan ketidakpastian hukum.

Bacaan 2 Menit
Terapi Kejut 100 Hari Pemerintahan dan Perlindungan HaKI
Hukumonline

Keberhasilan Indonesia dalam menarik investasi asing sangat tergantung pada ada atau tidaknya kerja sama dari pihak yudikatif. Saat ini para investor sangat berharap adanya sinergi yang baik antara pihak eksekutif, yudikatif, legislatif dan komitmen berbagai pihak tersebut dalam menciptakan iklim investasi yang lebih baik.

Berbagai contoh kasus

Banyak investor memiliki pengalaman buruk terhadap lemahnya perlindungan terhadap HaKI di Indonesia. Sengketa atas merek rokok Davidoff yang di Mahkamah Agung dimenangkan oleh pihak Davidoff setelah putusan pengadilan niaga yang tidak memuaskan, membuat Duta Besar Swiss untuk Indonesia George Martin mengungkapkan harapannya agar pemerintah Indonesia lebih memberi perhatian kepada penciptaan peradilan yang bersih dengan hakim dan jaksa yang bersih pula.

Selain masalah korupsi dan suap-menyuap, Dubes Swiss tersebut menunjuk lemahnya perlindungan terhadap HaKI sebagai hambatan terbesar bagi para investor dari negaranya untuk meningkatkan volume investasi di Indonesia.

Memang benar bahwa Indonesia sudah memiliki payung hukum untuk melindungi HaKI, di antaranya UU Hak Cipta yang sudah direvisi berkali-kali, UU Paten dan UU Merek yang sudah direvisi. Namun, pelanggaran terhadap hak cipta dan merek ternyata merupakan kasus pelanggaran yang sudah rutin mengisi kolom berita di beberapa media.

Tak terhitung jumlah uang waktu, dan upaya yang telah dikeluarkan oleh para pemegang merek yang sah untuk berperkara di pengadilan demi melindungi hak mereka untuk menggunakan merek milik mereka sendiri, atau membatalkan pendaftaran merek yang diajukan oleh pembajak merek lokal di Direktorat Jenderal HaKI.

Salah satu kasus yang menggemparkan muncul beberapa tahun yang lalu antara perusahaan produsen makanan AS Nabisco Inc (Nabisco), dengan produsen lokal PT Perusahaan Dagang dan Industri Ceres (Ceres). Pasalnya, Ceres memproduksi dan memasarkan biskuit dengan merek Ritz, yang diklaim merupakan merek yang sudah dikenal luas di AS dan beberapa negara sebagai milik Nabisco sejak tahun 1941.

Ceres yang sudah mendaftarkan merek tersebut di Indonesia sejak tahun 1960 juga tetap merasa sebagai pemilik merek yang sah. Apalagi menurut UU Merek No 21/1961 terdahulu, siapa saja yang mendaftarkan suatu merek lebih dahulu, dialah yang dianggap sebagai pemakai pertama dan pemilik merek.

Dasar dari UU Merek No 21/1961 tersebut adalah ‘stelsel deklaratif', yang artinya siapa cepat dia yang dapat, tanpa memandang apakah suatu merek sudah terkenal atau tidak. Karena itulah kasus ini akhirnya dimenangkan Ceres pada tahun 1996.

Satu kasus gugat-menggugat dalam penggunaan merek terkenal yang masih hangat adalah kasus penggunaan merek dagang Ri Sheng oleh produsen lokal Halim Kho. Padahal, hak atas merek dagang tersebut sudah dipegang oleh perusahaan China, Zhongshan Rishen Electrical Product C. Ltd (ZREP) sejak tahun 1997.

ZREP yang berusaha mendaftarkan merek dagang Ri Sheng pada tanggal 10 Agustus 2004 di Indonesia merasa kaget ketika mengetahui bahwa penggunaan merek dagang tersebut sudah diperoleh oleh Halim Kho yang mendaftarkannya pada tanggal 13 September 2002.

Kekagetan yang berubah menjadi kegusaran itu memuncak pada gugatan pembatalan kepada Halim Kho dan Dirjen HaKI melalui kuasa hukumnya, yakni Kantor Hukum Iman Sjahputra & Associates. Kasus ini pun terus bergulir di pengadilan.

UU Merek yang berlaku sudah mengalami beberapa revisi, dan pada perkembangannya kemudian, yakni pada UU No.15/2001, diberlakukan ‘stelsel konstitutif' dengan perlindungan khusus bagi merek terkenal. Dengan demikian, pendaftar tidak boleh lagi seenaknya mendaftarkan suatu merek yang sudah terkenal.

Kasus sengketa mengenai hak merek lainnya yang bahkan sampai ke tingkat Mahkamah Agung adalah kasus antara produsen ban kenamaan asal AS, The Goodyear Tire & Rubber Company (GTRC), dengan produsen lokal PT Banteng Pratama Rubber (BPR) yang sudah berlarut-larut sekian tahun.

Pasalnya, BPR terus-menerus memproduksi ban dengan merek Goodyear meskipun perjanjian kerja sama dengan GTRC sudah berakhir sejak 31 Maret 1993. BPR bahkan memproduksi mereknya sendiri Goodyear-Luckystone dan menggunakan logo kaki bersayap milik Goodyear pada produk-produk dan kop suratnya.

Setelah 10 tahun memberikan beberapa kali peringatan tertulis, GTRC akhirnya membawa kasus ini ke Pengadilan Niaga Jakarta. Dalam putusannya, Pengadilan Niaga Jakarta memutuskan pada 6 Agustus 2004 bahwa GTRC merupakan pemilik merek Goodyear di Indonesia, dan bahwa Goodyear adalah merek terkenal.

Namun, Pengadilan Niaga Jakarta tersebut tidak memerintahkan BPR untuk menghentikan produksi ban dalam dan ban luar sepeda dengan merek Goodyear tanpa izin, yang merupakan pelanggaran terhadap UU Merek No. 15/2001.

Berdasarkan keputusan inilah GTRC meneruskan perkara kasus ini sampai ke Mahkamah Agung. Pihak GTRC berharap Mahkamah Agung akan memerintahkan BPR untuk menghentikan penggunaan merek Goodyear tanpa izin. Putusan Mahkamah Agung tentang kasus ini diharapkan keluar pada akhir Januari ini.

Kepastian hukum

Kepastian hukum merupakan salah satu alasan keengganan para investor untuk melakukan investasi di Indonesia selain infrastruktur yang kurang  baik dan hukum perburuhan yang tidak mendukung. Tidak jarang investor membatalkan niatnya berinvestasi di sini justru karena lemahnya penegakan hukum.

Banyak pihak sangat berharap bahwa Pemerintahan SBY akan mengefektifkan perlindungan terhadap HaKI. Mungkin untuk menunjukkan komitmen pemerintah dalam hal ini, Direktur Jendral HaKI Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Abdul Bari Azed baru-baru ini melakukan penggrebekan pabrik penggandaan VCD/DVD di Jakarta yang diduga menggandakan ribuan VCD dan DVD bajakan.

Selain itu saat ini pemerintah juga sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang merek dagang terkenal untuk mendukung pelaksanaan UU Merek No 15/2001. Jika diterbitkan, PP tersebut memberi kewenangan kepada Direktorat Merek bisa menolak permohonan pendaftaran merek yang memiliki persamaan dengan merek terkenal yang sudah terdaftar untuk barang yang tidak sejenis. Saat ini PP tersebut sangat dibutuhkan karena tanpa PP tersebut pasal mengenai merek terkenal menjadi pasal mati.

Namun, menurut Ketua Indonesia Intellectual Property Alumni Association (IIPAA) Insan Budi Maulana kelemahan dalam perlindungan terhadap HaKI di Indonesia juga disebabkan kurangnya hakim yang merupakan pakar HaKI.

Insan berpendapat bahwa terapi kejut yang diharapkan dari pemerintah di bidang ini masih membutuhkan waktu yang lebih lama. Jika sektor hukum ini mengalami banyak pembaruan, Indonesia akan menjadi tempat tujuan investasi yang menarik bagi para investor.

Keseriusan pemerintahan SBY dalam memperbaiki iklim investasi akan sangat tergantung pada besarnya upaya pelatihan tentang HaKI kepada para hakim, dan pada pembersihan sistem peradilan di Indonesia dari berbagai dugaan sogok-menyogok dalam proses pembuatan keputusan tentang suatu kasus.

Penyelesaian berbagai kasus HaKI yang sedang dalam proses baik di pengadilan maupun di Mahkamah Agung, termasuk kasus Goodyear and Ri Sheng, merupakan salah satu indikator penting tentang keefektifan dari taktik terapi kejut pemerintahan SBY sekaligus tanda terjadinya sinergi antara lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif.

Jika ini tidak terjadi maka keefektifan taktik pemerintahan baru dalam menarik investasi asing tersebut layak dipertanyakan.

Kepemimpinan Presiden SBY, memulai gebrakannya dengan suatu tindakan yang memberikan harapan, yakni dengan diseretnya Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh ke tahanan dan beberapa bupati ke pengadilan. Namun, para investor masih mencari adanya tanda-tanda telah diterapkannya terapi kejut ini dalam bidang lain, terutama dalam reformasi di bidang hukum.

Karena itulah meski Presiden SBY dan para pejabat tinggi pemerintah selama Pertemuan Puncak Infrastruktur Indonesia (II-Summit) 2005 memberikan jaminan bahwa investasi di negara ini akan aman, para investor cenderung menunggu dilaksanakannya terapi kejut secara nyata dalam dua hal: kepastian hukum dan korupsi yang merajalela.

Pemerintah menawarkan 91 proyek infrastruktur senilai AS$22,5 milyar selama II Summit tersebut. Setiap investasi dalam proyek-proyek tersebut kemungkinan melibatkan teknologi baru dan yang sudah dipatenkan. Sehingga, para investor cenderung berhati-hati sebelum berkomitmen tanpa adanya tindakan nyata dari pemerintah untuk menanggapi kedua masalah tersebut.

Indonesia masuk ke dalam ‘priority watch list' HaKI pemerintah Amerika Serikat (AS) selama empat tahun berturut-turut. Artinya, Indonesia bersama dengan beberapa negara lain seperti Argentina, Bahama, Mesir dan Korea masuk dalam kategori sebagai negara yang keadaan pelanggaran dan penegakan hukum atas HaKI tergolong masih buruk.

Para pakar dan pengamat mengakui bahwa tanggung jawab untuk melakukan reformasi sistem hukum tidak sepenuhnya berada di pundak pihak eksekutif, yakni pemerintah. Dalam sistem ketatanegaraan yang baru, pihak yudikatif merupakan suatu lembaga terpisah dan mandiri.

Tags: