Advokat Medan yang Lucu dan Lugu di Sidang Mahkamah Konstitusi
Jeda

Advokat Medan yang Lucu dan Lugu di Sidang Mahkamah Konstitusi

Nama Prof. Bagir Manan dicantumkan pada nomor urut satu sebagai calon saksi yang diusulkan. Tetapi pengusul enggan menemui secara langsung Ketua Mahkamah Agung itu.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Advokat Medan yang Lucu dan Lugu di Sidang Mahkamah Konstitusi
Hukumonline
Sosialisasi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kurang, atau Melur Lubis yang kurang paham? Pertanyaan itulah yang mengemuka menakala menyaksikan sidang pengujian Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman di Mahkamah Konstitusi.

Membela klien? Itulah yang menjadi motivasi Melur jauh-jauh datang dari Medan bersidang ke Jakarta. Kliennya, ahli waris Imbalo Harahap, sudah memenangkan sebuah perkara perdata hingga ke tingkat Mahkamah Agung. Ironisnya, putusan MA tahun 1998 itu hingga kini tak kunjung bisa dieksekusi. Ketua MA Bagir Manan, pimpinan KPK, Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara sudah disurati. Toh, kemenangan ahli waris Imbalo Harahap hanya di atas kertas. Rumah, tanah dan emas yang sudah dimenangkan tak kunjung bisa dikuasai. Kami ingin kepastian hukum, Pak, kata Melur.

Pengaduannya mentok di semua instansi, Melur berinisiatif ‘mengadu' ke Mahkamah Konstitusi. Tetapi, agaknya arah yang ditempuh advokat yang berkantor di Jalan Sidodame Kompleks Pemda Medan itu salah. Permohonan Anda salah masuk, kata hakim konstitusi Maruarar Siahaan.

Hakim lain, Gede Palguna menanyakan apakah pemohon sudah membaca dan memahami UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pertanyaan Palguna bukan tanpa dasar. Dalam permohonan tidak jelas Melur menjawab  sudah membaca dan memahaminya, cuma mungkin salah. Bahkan ia tetap ngotot bahwa yang dia perjuangkan adalah kepastian hukum.

Maruarar lantas menyarankan agar Melur dan suaminya mengadu kepada Ketua MA Bagir Manan karena yang dipersoalkan adalah tidak jalannya eksekusi putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap  (inkracht van gewijsde). Maruarar dan Palguna menasehati sebaiknya Melur merombak total permohonannya karena draf yang sekarang pasti obscuur libel. Legal standing pemohon juga dinilai tidak jelas.

Saran-saran dari hakim bukan tanpa dasar. Bayangkan, berapa biaya yang dikeluarkan pasangan suami isteri itu untuk menghadiri sidang di Jakarta,  sementara sejak awal sudah ketahuan mereka ‘salah masuk' ke gedung MK. Apalagi satu dua orang anggota keluarga ikut menonton aksi mereka di dalam ruang sidang.

Didasari rasa simpati yang dalam,  Maruarar menyarankan agar (kalau perlu) Melur menarik kembali permohonannya. Lebih baik menyelesaikan urusan eksekusi putusan itu dengan cara menemui Ketua MA. Eh, kali ini yang ngotot sang suami, Ali Siregar. Berilah kami kesempatan untuk memperbaikinya, Pak.

Ali mengatakan tetap melanjutkan perjuangan menggugat UU Kekuasaan Kehakiman  melalui MK dengan dalih kepastian hukum. Tekad itu kembali ia sampaikan kepada hukumonline seusai sidang.

Bah, ngotot kalilah Pak Siregar ini. Siapa rupanya yang advokat dan mengajukan permohonan? Pak Siregar atau Bu Lubis? Puluhan pengunjung sidang hanya mesem-mesem menyaksikan paskanek (maksudnya pasangan kakek dan nenek) asal Medan tadi.

Ketua sidang panel Achmad Rustandi mencoba bijak. Kami ini kan hanya menasehati, belum memutuskan untuk menolak permohonan Anda, katanya.

Selaku seorang advokat senior (paling tidak dari segi usia), Melur Lubis seharusnya mengerti benar bagaimana menyusun suatu permohonan judicial review dan bagaimana bersidang di Mahkamah Konstitusi. Tetapi saat sidang perdana pengujian Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang dia mohonkan, Kamis (17/2), sikap dan ucapan advokat asal Medan itu justru menjadi bahan tertawaan, sekaligus bahan pelajaran.

Manakala sidang hendak dimulai, Melur terkesan tidak percaya diri. Padahal selaku  advokat, dia sudah terbiasa mengikuti sidang. Dia sendiri pula yang mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman itu. Ia memang didampingi seorang pria yang memperkenalkan diri sebagai Ali Siregar. Belakangan terungkap, Ali tidak lain adalah suami dari Melur; dan bukan seorang advokat. Eh, selama persidangan Ali sering membisiki isterinya sebelum menjawab pertanyaan majelis.  

Ali bertindak sebagai ‘kuasa' pendamping bagi pemohon judicial review. Untuk kepentingan pendampingan itu, Melur pun menandatangani selembar surat ‘kuasa' kepada suaminya. Lucunya lagi, meterai dalam surat kuasa itu tidak ditempel di antara nama pemberi dan penerima kuasa. Melainkan hanya diselipkan di bagian atas, tanpa dilem. Itu pun bersama bagian luar meterai yang seharusnya dibuang.

Terburu-buru? Tidak juga. Sebab, Melur sudah memasukkan permohonan sejak 8 Januari lalu. Sehingga, ia sudah bisa mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk penjelasan mengenai hak-hak konstitusionalnya yang dilanggar oleh berlakunya UU Kekuasaan Kehakiman.

Soal yang satu ini pun jadi kendala. Betapa tidak, Melur mengajukan sendiri permohonan padahal yang dirugikan adalah kliennya. Sang klien sama sekali tidak ikut mengajukan permohonan atau memberi kuasa. Apa alasannya? Saya ingin menjadi pengacara yang bertanggung jawab kepada klien.

Halaman Selanjutnya:
Tags: