Memburu Aset Koruptor Dengan Menebar Jerat Pencucian Uang
Fokus

Memburu Aset Koruptor Dengan Menebar Jerat Pencucian Uang

Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, dinilai lebih leluasa untuk dapat mengembalikan hasil korupsi sekaligus menangkap sang koruptor. Kenapa masih ada yang enggan memakainya?

Oleh:
Bimo Prasetio
Bacaan 2 Menit
Memburu Aset Koruptor Dengan Menebar Jerat Pencucian Uang
Hukumonline

Namun, mantan jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Soehadibroto, menyatakan dalam hal gugatan perdata, pembuktian adanya unsur kerugian negara bukan perkara mudah. Pasalnya, dalam hukum perdata tidak dikenal adanya pembuktian terbalik. Sehingga, jaksa harus harus mampu membuktikan dalil secara nyata telah ada kerugian negara. Adakah cara yang lebih mudah?

Gunakan UU TPPU

Praktisi hukum perbankan, Prof. Sutan Remy Sjahdeini menilai, kejaksaan seharusnya bisa memanfaatkan jerat pencucian uang untuk mengembalikan kerugian negara. Sebab dalam praktek, uang hasil korupsi sering dilarikan dengan modus pencucian uang.

Oleh karena itu, jika upaya hukum perdata terhadap aset koruptor terhalang sistem pembuktian, maka penggunaan UU No. 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dinilainya sangat tepat. Apalagi, dalam pencucian uang dimungkinkan adanya sistem pembuktian terbalik.

Dengan sistem ini, justru terdakwa yang harus membuktikan, bahwa harta yang didapatnya bukan hasil tindak pidana. Yang harus dilakukan adalah mengetahui apa saja bentuk aset korupsi, dimana disimpan dan atas nama siapa,  jelas Remy.

Indonesia memang telah memiliki Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), lembaga yang berwenang menerima laporan dari penyedia jasa keuangan. Lembaga ini juga berwenang—bila menemukan transaksi mencurigakan—menyerahkan laporan kepada kejaksaan dan kepolisian untuk ditindaklanjuti.

Tapi persoalannya sejauh ini, justru tidak ada yang merespon laporan PPATK. Kepala PPATK Yunus Husein, beberapa waktu lalu mengeluh karena laporan transaksi mencurigakan yang telah diserahkan PPATK kepada kepolisian dan kejaksaan agung, belum satupun yang ditindaklanjuti.

Padahal, Yunus berkeyakinan UU TPPU lebih leluasa menjerat koruptor daripada UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi). Siapapun yang menampung hasil kejahatan, baik keluarganya ataupun orang lain, bisa dipidana berdasarkan Pasal 6 UU TTPU. Jadi jangkauannya lebih luas dari UU Korupsi, karena bisa menjerat pihak lain selain terdakwa, paparnya.

Jumlah kasus/hasil analisa Transaksi mencurigakan (STR) PPATK yang disampaikan kepada penegak hukum.

 

Penegak Hukum

Jumlah kasus/hasil analisa

Keterangan

Hasil analisa TPPU/Non TPPU

Kepolisian

252 kasus

Merupakan hasil analisa dari 497 STR

438/62

Kejaksaan

2 kasus

Merupakan hasil analisa dari 8 STR

2/-

Total

254 kasus

Merupakan hasil analisa dari 505 STR

 

Sumber: situs PPATK

Bangkit Normin, JPU dalam perkara korupsi kasus BNI, punya argumentasi sendiri kenapa pihak kejaksaan belum memprioritaskan penggunaan UU TPPU, terutama dalam kasus korupsi. Kata dia, tugas pokok kejaksaan adalah perkara korupsi sehingga dalam kasus-kasus korupsi, dakwaan primernya tetap memfokuskan fokus pada UU No 20/2001. Lagipula, tegasnya, sanksi hukuman pada UU No 20/2001 lebih berat.

Walaupun UU Money Laundering (pencucian uang, red) sudah kami terapkan dalam tuntutan, hakim lebih banyak memutus berdasarkan pembuktian adanya korupsi, bukan pencucian uang, tambahnya.

Sepengetahuan Bangkit, memang belum ada laporan PPATK yang kemudian diproses menjadi dakwaan tunggal tindak pidana pencucian uang, ataupun sebagai dakwaan primer.

Mengenai persoalan dakwaan ini, Yenti Ganarsih, akademisi dari Universitas Trisakti berpendapat, tindak pidana pencucian uang itu harus dipandang sebagai kejahatan yang berdiri sendiri (separate offense), walaupun memang tergantung pada tindak pidana asal  (predicate offense, red). Maka dari itu pencucian uang harus dimasukan ke dalam dakwaan kumulatif.

Yenti menegaskan, jaksa harus memahami bahwa dalam memberantas korupsi tidak harus dibuktikan terlebih dahulu korupsinya. Sebab, UU TPPU digunakan untuk memburu aset-aset hasil korupsi. 

Lebih jauh, Yenti yang memperoleh gelar doktor di bidang money laundering ini menekankan, karena sulit mengusut korupsi atau kejahatan yang tergolong predicate offence, maka digunakan strategi menghadang hasil tindak pidananya. Tujuannya setelah dilacak, nanti akan menjadi bahan petunjuk untuk segera diadili.

Menanggapi hal ini, Prof Remy melihat permasalahannya pada pengetahuan dan pemahaman aparat kejaksaan terhadap berbagai tipologi pencucian uang. Mereka itu kan tidak banyak mengetahui banking system. Jadi kalau penegak hukum dan pelaku money laundering itu berbeda pengetahuannya, tentu akan sulit juga menanganinya, terang partner pada kantor hukum Remy & Darus ini.

Preseden

Perburuan koruptor yang terlanjur hengkang ke luar negeri plus hasil korupsinya sebenarnya bukanlah pengalaman pertama bagi Indonesia. Garda T. Paripurna, analis dari PPATK, mengingatkan sudah ada preseden dalam kasus mantan Dirut BHS Bank alm. Hendra Rahardja.

Kala itu, Hendra Rahardja, pelaku korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)  senilai Rp1,95 triliun ditangkap aparat keamanan Australia, atas tuduhan praktek pencucian uang. Melalui Interpol, polisi melayangkan surat permintaan kepada otoritas di negeri kangguru itu untuk mengekstradisi Hendra ke Indonesia.

Untungnya, antara Indonesia dan Australia memiliki Treaty on Mutual Assistance in Criminal Matters yang ditandatangani sejak bulan Oktober 1995. Sehingga, walaupun Hendra tidak dapat diekstradisi ke Indonesia, kedua negara ini berjanji untuk saling membantu dalam penanganan kasus Hendra.

Upaya yang dilakukan berupa pembekuan aset-aset Hendra di Australia yang diduga merupakan hasil korupsi. Selain itu, Australia melakukan sejumlah pemeriksaan terhadap harta kekayaan milik Hendra lainnya yang diperkirakan berada di luar negara itu.

Sayangnya, upaya penelusuran aset Hendra di Singapura tidak bisa dilakukan. Sebab, baik Indonesia maupun Australia tidak memiliki Treaty on Mutual Assistance in Criminal Matters dengan Singapura.

Perburuan hasil korupsi Hendra berakhir ketika, Pemerintah Australia menyerahkan cek senilai AUS$ 642,540.46 pada Pemerintah Indonesia. Walaupun jumlahnya jauh dari nilai yang diharapkan, tapi seharusnya preseden ini menjadi acuan untuk menangani perkara selanjutnya.

Mungkinkah suatu hari hasil korupsi dikembalikan dan Sudjiono Timan dkk yang raib berhasil ditemukan dan dipenjarakan berkat UU TPPU?

Masih segar dalam ingatan, bagaimana putusan Mahkamah Agung yang menghukum Sudjiono Timan dengan penjara selama 15 tahun bagi, terdakwa korupsi di Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI), nyaris tidak berarti apa-apa. Alih-alih berhasil mengembalikan kerugian negara, Sudjiono keburu kabur entah kemana beberapa saat menjelang dibacakan vonis terhadap dirinya dijatuhkan.

Kasus Sudjiono adalah yang kesekian kalinya terjadi di negeri ini. Sederetan koruptor yang telah divonis pengadilan sampai saat ini juga masih berkeliaran bebas alias buron. Sebagian diketahui keberadaannya, sebagian lagi lenyap ditelan bumi.

Seharusnya memang, hakim perkara korupsi segera mengeluarkan penetapan untuk menyita harta kekayaan terdakwa korupsi, pada saat perkaranya sedang berjalan Sehingga, apabila terbukti melakukan tindak pidana korupsi, harta yang disita bisa dibaliknamakan menjadi milik negara. Upaya ini telah dilakukan oleh majelis hakim kasus korupsi BNI, dengan terdakwa Adrian Waworuntu.

Selain itu, asset recovery (pengembalian aset) yang diduga hasil korupsi sebenarnya tetap bisa dilakukan oleh pihak kejaksaan dengan melakukan gugatan perdata. Gugatan ini, bahkan dapat mengejar harta kekayaan dari ahli waris pelaku korupsi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: