Wartawan, Profesi atau Bukan?
Fokus

Wartawan, Profesi atau Bukan?

Siapa saja orang yang bisa disebut sebagai wartawan? Apakah penulis website (blogger) adalah wartawan? Bagaimana dengan wartawan media online?

Oleh:
Nay
Bacaan 2 Menit
Wartawan, Profesi atau Bukan?
Hukumonline


Pengamat hukum media yang juga anggota dewan pers, Hinca IP Panjaitan, secara tegas menyatakan bahwa blogger bukanlah wartawan. Hinca mendefiniskan wartawan sebagai seseorang yang melakukan kegiatan jurnalistik secara terus menerus dan bekerja di perusahaan pers.

"Blogger bukan wartawan, itu hobi. Untuk bisa menjadi perusahaan pers, ia harus berbadan hukum. Karena itu kalau pribadi membuat blog, itu bukanlah pers," ujar Hinca. Sebaliknya, menurut anggota Ombudsman grup Jawa Pos ini, wartawan sebuah media online merupakan wartawan jika media tempatnya bekerja itu berbadan hukum.

Dalam pandangan Hinca, wartawan sederajat dengan profesi dokter, advokat, notaris atau pendeta. Serupa dengan berbagai profesi tersebut, wartawan oleh undang-undang diberi hak ingkar. Seorang wartawan boleh menolak menyebutkan narasumbernya jika hal itu akan membahayakan keselamatan narasumber tersebut.

Sebagai layaknya profesi, untuk menjadi wartawan, Hinca mengemukakan ada juga sertifikasi. Namun teknis dari sertifikasi itu diserahkan kepada masing-masing organisasi. "Kalau dibilang wartawan tidak ada sertifikasi dan suka-suka jadi wartawan, tidak ada syaratnya, itu salah total," tukasnya.

Untuk bisa bekerja di sebuah perusahaan pers, lanjut Hinca, seorang wartawan harus memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh perusahaan tersebut. Misalnya memiliki latar belakang pendidikan tertentu.

Sama seperti dokter atau advokat, wartawan juga wajib mematuhi kode etik jurnalistik seperti ditentukan dalam pasal 7 UU Pers. Meski bergabung dengan organisasi wartawan bukan suatu kewajiban, wartawan yang tidak tergabung dalam organisasi, tetap  terikat pada Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang ditetapkan oleh Dewan Pers.

"Kalau kode etik PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) atau AJI (Aliansi Jurnalis Indonesia), konstituennya adalah wartawan anggota organisasi tersebut. Kode Etik Dewan Pers/KEWI konstituennya adalah perusahaan pers tempat wartawan bekerja. Perusahaan Pers harus mematuhi KEWI, karena itu adalah perintah Undang-undang," jelas Hinca.

Ibarat juru masak

Pandangan yang berbeda disampaikan oleh anggota Dewan Pers lainnya, Lukas Luwarso. Ia menegaskan wartawan bukanlah profesi. Menurutnya, yang disebut profesi adalah pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus, sehingga tidak sembarang orang bisa melakukannya, seperti dokter atau advokat.

"Sedang wartawan itu satu pekerjaan dimana setiap orang bisa melakukan. Karena menjadi wartawan tidak perlu sekolah khusus, mendapat sertifikasi atau pengakuan khusus dari lembaga tertentu," tuturnya.

Tanpa ragu-ragu, Lukas menyatakan bahwa blogger termasuk wartawan. Kata dia, definisi wartawan dalam UU Pers,  , bersifat umum, teoritis  dan bisa berbeda dalam prakteknya. Sebagai fenomena sosial, definisi wartawan harus mengikuti perubahan perkembangan zaman dan tidak bisa didefinisikan secara kaku. "Di AS misalnya, blogger lebih dibaca orang ketimbang media mainstream," cetusnya.

Mencoba mendefinisikan wartawan secara kaku, dipandang Lukas akan menimbulkan keruwetan lebih jauh. "Apakah presenter itu wartawan, cameraman wartawan bukan? Kalau di radio, bagaimana dengan mereka yang membantu sound system," seloroh Lukas.

Lukas berkeyakinan wartawan bukanlah profesi -sebagaimana halnya advokat dan dokter- melainkan hanya jenis pekerjaan, sama seperti juru masak, misalnya. Lukas menganalogikan seorang wartawan ibarat juru masak di rumah makan yang tidak memerlukan pendidikan khusus. Bedanya, kalau tukang masak mengolah bumbu dan bahan masakan, maka wartawan mengolah kata-kata dan informasi.

"Memang bila mendapat pendidikan khusus di Perancis, masakannya jauh lebih enak. Tapi kan ibu-ibu di kampung di Gunung Kidul juga bisa masak gudeg enak tanpa harus pendidikan," cetusnya.

Salah satu bukti bahwa menjadi wartawan sangat mudah ukas menunjuk fenomena wartawan gadungan, yang biasa disebut 'wartawan bodrek', yang jumlahnya sangat banyak. Bahkan lebih banyak dari wartawan asli. Sementara, ucap Lukas, dokter atau advokat bodrek sangat jarang dijumpai karena relatif lebih sulit untuk menjadi dokter atau advokat gadungan.

Untuk menjadi dokter gadungan misalnya, tidak cukup hanya bermodal jas putih karena harus menyediakan ruang praktek atau berada di Rumah Sakit, yang tentu akan mudah dikenali oleh dokter lainnya.

Mantan Direktur South East Asia Press Alliance (SEAPA) Jakarta ini juga membantah bila dikatakan bahwa untuk bisa disebut wartawan, seseorang harus bekerja pada perusahaan pers. Karena dengan begitu, wartawan freelance dan kolumnis tidak akan termasuk sebagai wartawan. Padahal, mereka melakukan kerja jurnalistik secara terus menerus.

Soal etika jurnalistik, dikatakan Lukas, etika mengikat secara moral dan individual. Menurutnya penegakan etika sangat tergantung pada individu yang bersangkutan. Bagi wartawan yang bekerja di perusahan pers, penegakan etika bisa dilakukan oleh perusahaan. Namun, meski perusahan menegakkan etika secara ketat, wartawan bisa saja mengabaikan dan melakukan pelanggaran etika secara diam-diam, seperti menjiplak, membuat tulisan yang tidak sesuai dengan fakta atau menerima amplop. Sedang bagi wartawan freelance, penegakan etika harus dilakukan oleh dirinya sendiri.

Hak tolak pun dinilai Lukas bukan hak yang berlaku mutlak. Meski wartawan dianggap sebagai profesi, pengadilan tetap bisa memaksa wartawan untuk menyebutkan sumber. "Pada titik tertentu etika lebih tinggi dari kode hukum. Orang yang teguh pada etik, ia lebih baik mempertahankan etika kewartawanannya, janjinya pada sumber, ketimbang melanggar itu. Ia akan lebih memilih dihukum," tandas Lukas.

Kaedah dan kode etik

Sementara itu, Budiono Darsono, Pemimpin Redaksi detik.com menyatakan bahwa blogger bukanlah wartawan. Pasalnya, blogger tidak terikat dengan aturan main dalam dunia jurnalistik, seperti kaidah jurnalistik dan kode etik jurnalistik. "Blogger bisa menulis sendiri apa yang dia mau, wartawan tidak bisa menulis seenaknya, ia punya aturan yang harus dipenuhi yaitu kaidah jurnalistik, misalnya keseimbangan,  cek and recheck dan sebagainya," kata Budiono (16/3).

Jadi, untuk menentukan apakah seseorang merupakan wartawan atau bukan, harus dilihat apakah ia terikat pada kaidah dan kode etik jurnalistik atau tidak. Selain itu, wartawan harus bergabung pada perusahaan pers yang mempunyai badan hukum. "Kameraman itu wartawan karena dalam memotret ia terikat pada kode etik jurnalistik".

Senada dengan Hinca, Budiono berpendapat bahwa wartawan adalah profesi.Namun, berbeda dengan dokter yang memiliki sertifikasi yang ketat, kualifikasi untuk wartawan ditentukan oleh perusahaan pers tempat ia bekerja.

Di satu sisi, mendefinisikan siapa wartawan dengan ketat mungkin penting untuk menjamin hak publik atas informasi yang benar dan akurat. Tapidi sisi lain, setiap orang tentu mempunyai hak untuk menyampaikan pendapatnya melalui saluran apapun.

Karena itu, apapun definisi wartawan, mengutip Budiono, wartawan adalah mereka yang terikat oleh kaidah dan kode etik jurnalistik. Meski bekerja di perusahaan pers mainstream, jika mengabaikan etika jurnalistik, tentu tak layak untuk menyandang predikat sebagai wartawan.

Baru-baru ini perusahaan komputer Apple berhasil memaksa tiga situs yang dianggap membocorkan rahasia produk Apple untuk memberitahu siapa narasumber mereka. Dalam persidangan di Pengadilan San Jose California, hakim James Kleinberg sepakat dengan gugatan Apple yang menyatakan bahwa penulis situs (web blogger) bukan dikualifikasikan sebagai pers, sehingga tidak memiliki hak tolak untuk merahasiakan sumbernya. Ini berbeda dengan wartawan media konvensional yang haknya untuk mengungkap identitas sumber dilindungi oleh amandemen pertama konstitusi AS.  

Kejadian di atas memang terjadi di negara Paman Sam, bukan di sini. Namun, kejadian tersebut tak pelak memunculkan berbagai pertanyaan. Apalagi mengingat komunitas blogger juga makin marak di Indonesia. Pertanyaan yang terpenting adalah, siapa sebenarnya yang disebut sebagai wartawan?

Pasal 1 ayat (4) UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan wartawan adalah orang yang secara teratur melakukan kerja jurnalistik. Sementara, Pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menampikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.

Lalu, apakah berdasarkan pasal ini berarti semua orang yang melaksanakan kegiatan jurnalistik dan menyampaikannya melalui saluran apapun yang tersedia--termasuk internet atau televisi--merupakan wartawan? Nanti dulu.
Halaman Selanjutnya:
Tags: