Menyoal Efektivitas Regulasi Iptek
Sabartua Tampubolon(*)

Menyoal Efektivitas Regulasi Iptek

Pada 1999 penulis menulis artikel bertajuk Urgensi Penyusunan dan Pengajuan RUU Sipteknas di sebuah majalah terbitan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Bacaan 2 Menit
Menyoal Efektivitas Regulasi Iptek
Hukumonline

Kenapa tidak efektif?

Fakta bahwa tingkat penguasaan iptek yang rendah di Indonesia, memang tidak sepenuhnya  dapat dianggap sebagai akibat kurang efektifnya UU Sisnas Litbangrap Iptek yang baru mau berusia tiga tahun. Akan tetapi, sebagai seorang sarjana hukum, penulis niscaya, bahwa salah satu penyebab kurangnya akselerasi pengembangan iptek di Indonesia adalah karena kurang efektifnya regulasi di bidang Iptek, termasuk UU Sisnas Litbangrap Iptek tersebut.

Suatu regulasi (baca : produk hukum), tidak akan pernah bermanfaat secara optimal, apabila dalam kenyataan tidak efektif. Keberadaannya pun akan seperti antara ada dan tiada dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Inilah yang terjadi dengan berbagai regulasi iptek. Tidak heran, bila substansi yang diatur dalam regulasi tidak menunjukkan perkembangan yang berarti, sebagaimana menjadi cita-cita luhur dari pembuatnya.

Pada prinsipnya, hukum (baca: regulasi) bukan saja berfungsi sebagai alat kontrol sosial dan penyelesaian sengketa (dispute settlement), tetapi juga sebagai alat untuk melakukan rekayasa sosial  (social  engineering). Untuk mengefektifkan hukum, Lawrence M Friedman (1975), mengemukakan diperlukan tiga faktor yang harus bekerja secara simultan, integral dan paralel, yaitu substansi (substance) hukum, struktur (structure) hukum dan budaya hukum (legal culture). Unsur substansi mencakup aturan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. Untuk struktur mencakup pranata hukum dan aparatnya, dan unsur kultur hukum mencakup kebiasaan, pandangan, cara berpikir, dan cara bertindak dari para penegak hukum maupun warga masyarakat tentang hukum.

Paralel dengan hal tersebut, maka dalam melihat efektivitas regulasi di bidang iptek, perlu dilihat  ketiga faktor tersebut.  Pertama, dari sisi substansi menyangkut perumusan terhadap berbagai perangkat ketentuan normatif, pola dan kehendak perilaku masyarakat yang ada dalam sistem hukum tersebut. Dari segi ini, sebagian pihak menyatakan bahwa kehadiran UU Sisnas Litbangrap Iptek merupakan suatu kemajuan dalam regulasi iptek. Namun demikian, sebagai produk politik, banyak klausul dalam UU ini yang kemudian tidak implementatif, karena terkesan dirumuskan secara moderat. 

Misalnya dalam merumuskan ketentuan lex specialis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang terkesan tidak tegas, kalau tidak mau disebut malu-malu. Sehingga timbul ruang untuk memperdebatkan kembali apakah memang ketentuan ini  dapat mengesampingkan ketentuan yang umum berlaku bahwa PNBP harus disetorkan terlebih dahulu ke kas negara.

Sebagaimana diharapkan oleh kalangan peneliti dan perekayasa, hendaknya ada perlakuan khusus terhadap kegiatan penelitian, pengembangan dan perekayasaan ini, agar kegiatan pembangunan iptek dapat dilakukan lebih optimal. Secara eksplisit, UU Sisnas Litbangrap Iptek telah menetapkan bahwa perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah berhak menggunakan pendapatan yang diperolehnya dari hasil alih teknologi dan/atau pelayanan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengembangkan diri (Pasal 16 ayat (3)). Dalam penjelasannnya disebutkan, bahwa hal ini merupakan ketentuan lex specialis yang dimaksudkan agar perguruan tinggi dan lembaga litbang pemerintah dapat secara bertahap menjadi mandiri dan tidak tergantung pada dukungan pembiayaan pemerintah.

Berlakunya asas hukum bahwa suatu ketentuan yang bersifat khusus akan mengesampingkan ketentuan yang lebih umum (lex specialis derogat  lex generalis), sebenarnya merupakan salah satu pelajaran paling elementer di Fakultas Hukum.

Namun, yang menjadi perdebatan adalah ketegasan dan kejelasan makna. Karena walaupun disebutkan secara lex specialis,  tetapi kita tidak dapat melihat klausul yang menyatakan bahwa hasil PNBP yang diperoleh lembaga litbang dapat dipergunakan terlebih dahulu, sebelum disetor ke kas negara sebagaimana PNBP pada umumnya. Untuk mengatasi hal ini, Kementerian Riset dan Teknologi telah mengupayakan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Alih Teknologi, yang pada saat tulisan ini dibuat telah sampai ke Sekretariat Negara. Semoga saja RPP tersebut dapat disahkan secepat mungkin, agar kerancuan ini tidak terus berlangsung.

Demikian halnya dengan klausul yang terdapat pada  Pasal 27 ayat (1) UU Sisnas Litbangrap Iptek yang menetapkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran sebesar jumlah tertentu yang cukup memadai untuk memacu akselerasi penguasaan, pemanfaatan dan pemajuan iptek, juga terkesan tidak bunyi,  dan kurang tegas. Sebab sebesar jumlah tertentu tidak mungkin dijadikan standar minimal bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk menetapkan anggaran iptek.

Kemudian klausul yang terdapat dalam Pasal 28 ayat (1) UU Sisnas Litbangrap Iptek yang menetapkan bahwa : badan usaha mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk meningkatkan kemampuan perekayasaan, inovasi dan difusi teknologi dalam meningkatkan kinerja produksi dan daya saing barang dan jasa yang dihasilkan, juga mengandung persaoalan yang tidak jauh berbeda. Dari segi teori dan teknik perancangan peraturan perundang-undangan, rumusan seperti ini sebenarnya tidak mengandung implikasi hukum apapun, karena dalam klausul tersebut tidak terdapat suatu keharusan/kewajiban sebagaimana layaknya rumusan peraturan perundang-undangan pada umumnya.

Klausul diatas boleh disebut hanya merupakan himbauan bagi pengusaha dan tidak mungkin ditegakkan (enforce). Oleh karenanya, tidak ada ketentuan yang mengikat bagi badan usaha untuk mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk kegiatan  iptek. Dalam kalimat yang berbeda, badan usaha yang tidak melaksanakan hal tersebut, tidak mungkin dikenai sanksi, karena selain bukan kewajiban, UU Sisnas Litbangrap Iptek juga tidak menetapkan sanksi bagi perusahaan yang tidak mematuhinya.

Memang ketentuan dalam pasal ini, masih didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Namun sesuai dengan teori dan teknik perancangan peraturan dan perundang-undangan, suatu PP tidak boleh menetapkan sanksi, apabila dalam UU yang mendelegasikannya tidak mengatur sanksi. Artinya, kalau PP ini lahir, sulit juga mengharapkan  badan usaha untuk menganggap pengalokasian biaya untuk  pengembangan iptek sebagai hal yang bersifat imperatif.

Kedua, struktur yang meliputi perbaikan segala kelembagaan atau organ-organ yang menyelenggarakan regulasi iptek, termasuk lembaga litbang. Sebenarnya, sebelum atau setelah hadirnya UU Sisnas Litbangrap Iptek, kelembagaan iptek sudah mulai tertata dengan baik. Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa selama ini masih terdapat tumpang tindih antara kegiatan litbang di satu lembaga dengan lembaga yang lain. Kehadiran UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang kurang sinkron dengan semangat yang terdapat dalam UU Sisnas Litbangrap Iptek, semakin melemahkan fungsi koordinasi program iptek, serta mempersulit efisiensi dan kontrol penggunaan dana iptek yang tergolong kecil. Dengan pembagian anggaran berdasarkan fungsi pemerintahan seperti yang ditetapkan dalam UU No.17/2003, akan memperlebar terjadinya duplikasi kegiatan iptek, karena masing- masing departemen akan cenderung melakukan penelitian sendiri (Kompas, 21/1/2004).

Peranan biro atau unit kerja  yang menangani hukum di lembaga iptek yang kurang efektif, juga turut mempengaruhi efektifitas regulasi iptek. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Komisi Hukum Nasional (http://www.komisihukum.go.id/article_ opinion.php?mode=detil&id=105) sepanjang 2002, teridentifikasi bahwa selama ini biro hukum menempati struktur yang rendah dan diorientasikan pada tugas dan fungsi penunjang organisasi. Akibatnya biro hukum tidak memiliki otoritas untuk mengambil keputusan sesuai dengan tanggung jawabnya Sebab, biro hukum hanya berada pada tingkat pelaksana kebijakan atau teknis administratif dan operasional. Salah satu rekomendasi dalam penelitian ini adalah biro hukum hendaknya diposisikan pada posisi strategis, bukan pada posisi pendukung keadministrasian, namun mendukung dan melaksanakan tugas departemen secara keseluruhan di bidang hukum. Berdasarkan pengamatan sementara, keadaan biro atau unit kerja yang menangani hukum di lembaga iptek, justru keadaannya lebih parah dan memprihatinkan, karena tidak jarang pejabat yang menanganinya saja pun bukanlah sarjana hukum.

Di pihak lain, aparat penegak hukum kita yang sebagian besar masih gagap iptek, juga memberikan andil terhadap kurang efektifnya regulasi iptek. Keengganan untuk mengembangkan diri sesuai dengan perkembangan iptek yang pesat, masih menjadi persoalan yang sampai saat ini belum teratasi dengan baik. 

Ketiga, legal culture (budaya hukum) merupakan aspek penting  yang memungkinkan masyarakat menganggap ketentuan sebagai civic-minded sehingga taat dan sadar akan pentingnya hukum sebagai suatu regulasi umum. Masalah rendahnya budaya menghargai hukum hampir  sebadan dan sebangun dengan rendahnya budaya iptek di Indonesia.

Tetap masuknya Indonesia ke daftar negara yang harus diawasi (priority watch list) selama beberapa tahun terakhir adalah contoh keterkaitan antara rendahnya kesadaran hukum dan kesadaran iptek di Indonesia. Penghargaan terhadap karya cipta orang lain yang merupakan salah satu dari bentuk kesadaran iptek, yang tentunya hanya akan tumbuh dalam lingkungan masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum yang tinggi. Sayangnya, sebagian orang di Indonesia masih ada yang mengganggap pembajakan sebagai suatu bentuk inovasi.

Penutup

Untuk mengefektifkan berbagai regulasi di bidang iptek, khususnya UU Sisnas Litbangrap Iptek, maka perlu memperhatikan faktor substansi, struktur dan kultur hukum. Beberapa faktor tersebut harus dibenahi secara terus-menerus, antara lain dengan  mengupayakan secepatnya penyusunan Peraturan Pelaksana (PP) yang relevan, atau bila perlu melakukan amandemen terhadap regulasi yang tidak mungkin efektif diimplementasikan.  Sinkronisasi terhadap regulasi lain juga merupakan hal yang perlu diupayakan, karena hal ini sangat berpotensi sebagai penghambat dalam pengimplementasian regulasi iptek.

Sinkronisasi ini menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan pengembangan iptek di Indonesia, karena keberhasilan koordinasi juga sangat ditentukan oleh kejelasan yang terdapat dalam regulasi yang dibuat. Begitu juga dengan pengembangan kelembagaan dalam pengembangan iptek yang harus dilakukan secara bersinergi, sehingga kerancuan dalam kegiatan litbang dapat dieleminasi, atau paling tidak diminimalisasi serendah mungkin. Di pihak lain biro atau unit kerja yang menangani hukum di lembaga litbang harus dibenahi, sehingga peranannya tidak sekadar pelengkap struktur organisasi.

Tulisan ini merupakan masukan  terhadap RUU tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi  yang kala itu sedang digarap oleh Kementerian Riset dan Teknologi,  yang akhirnya berhasil digolkan menjadi UU No.18/2002 ( UU Sisnas Litbangrep) pada 29 Juli 2002. Diharapkan dengan diterbitkannya UU tersebut, setidaknya akan ada regulasi di bidang iptek yang dapat menjadi landasan dalam pengembangan iptek di Indonesia.

Kilas balik ini sangat penting, karena harus diakui sebelum lahirnya UU Sisnas Litbangrap Iptek, belum ada satu pun regulasi yang cukup komprehensif di bidang iptek yang dapat dijadikan acuan. Sebab, regulasi dan kebijakan lebih banyak dituangkan dalam pidato-pidato pejabat yang pada akhirnya sulit untuk  dilaksanakan (enforce). Sayangnya pasca diundangkannya UU Sisnas Litbangrap Iptek pun, pengembangan iptek tidak banyak berubah, baik dalam akselerasi maupun komitmen untuk mengembangkannya sebagai pendukung utama dalam pembangunan ekonomi sebagaimana ditunjukkan oleh negara-negara maju. Salah satu indikatornya dapat dilihat dari anggaran pembangunan iptek yang sampai saat ini belum mengalami kenaikan yang signifikan. Dalam konteks inilah, tulisan ini akan mengelaborasi beberapa persoalan seputar  belum efektifnya regulasi di bidang iptek, khususnya UU Sisnas Litbangrap Iptek.

Banyak survei yang memantau perkembangan iptek di Indonesia, menegaskan bahwa kepedulian apalagi kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) bangsa ini masih rendah kalau tidak mau disebut memprihatinkan. Buktinya, bila pada tahun 2001, hasil survei Indeks Pencapaian Teknologi (Technology Achievement Index-TAI) yang dilakukan oleh United Nations Development Program (UNDP) masih menempatkan Indonesia pada urutan ke-60. Pada 2002, meskipun menempati peringkat ke-43, tetapi posisi ini tidak kalah menyedihkan, karena negara yang disurvei hanya 46 negara. Peringkat Indonesia berada  di bawah beberapa negara ASEAN lainya, seperti Filipina (40), Thailand (34) dan Malaysia (26).

Keadaan ini berdampak pada tingkat daya saing bangsa ini di tingkat internasional. Berdasarkan Laporan Tahunan Daya Saing Dunia (World Competitiveness Yearbook) yang disusun oleh Institute for International Management Development (IMD), beberapa tahun belakangan peringkat Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Pada 2000  misalnya, Indonesia masih menempati peringkat ke-43, tetapi  pada 2004 sudah turun ke  peringkat ke-58 dari 60 negara.

Halaman Selanjutnya:
Tags: