Ketertiban Hukum yang Berkeadilan dan Pemberantasan Korupsi
Prof. Dr. Krisna Harahap SH, MH(*)

Ketertiban Hukum yang Berkeadilan dan Pemberantasan Korupsi

Frasa "ketertiban yang berkeadilan", adalah das sollen. Masih merupakan harapan, dan cita-cita.

Bacaan 2 Menit
Ketertiban Hukum yang Berkeadilan dan Pemberantasan Korupsi
Hukumonline
Upaya mewujudkannya tentu saja tidak sesederhana struktur kalimatnya. Yang dapat dipastikan, perjuangan mewujudkan suatu bangsa yang tertib dimana hukum terbentuk secara responsif dan populis serta dilaksanakan dengan tertib merupakan sarana tercapainya keadilan bagi mereka yang mendambakannya.

Negara yang dapat mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya adalah Negara Hukum, yang di Eropa Kontinental dikenal dengan sebutan Rechtsstaat atau state based on rule of law menurut pengertian Anglo Saxon.

Di dalam negara hukum, kaidah dan peraturan hukum itu dibuat atau ditetapkan oleh para wakil  yang dipilih langsung oleh rakyat untuk duduk di lembaga legislatif. Pemilihan langsung oleh rakyat memungkinkan lembaga ini menghasilkan kaidah-kaidah dan peraturan hukum yang populis dan responsif.

Legal justice, social justice dan moral justice

Ketertiban hukum yang berkeadilan memang kalimat non prediktif, kendatipun terwujudnya negara hukum dapat dijadikan prediksi sementara. Di sini berusaha dipenuhi apa yang menjadi dambaan pencari keadilan  yakni legal justice, social justice dan moral justice.

Apabila Pasal 1 ayat (3) UUD 1945  dengan tegas menyatakan "Negara Indonesia adalah negara hukum" tidaklah berarti bahwa rakyat Indonesia dengan sendirinya telah berhasil menikmati kehidupan di suatu negara yang tertib dan adil. Akhirnya semua terpulang kepada penyelenggara negara itu sendiri, apakah mereka sanggup dan bersungguh-sungguh mewujudkan apa yang diamanatkan oleh undang-undang dasar atau tidak. Apabila tidak, undang-undang dasar akan menjadi dokumen tak bermakna. Ternyata, memang inilah yang terjadi.

Judicial system kita, mulai dari hakim, jaksa, polisi, pengacara hingga lembaga pemasyarakatan, sejak lama dipandang skeptis, bahkan sinis, oleh masyarakat. Betapa tidak, banyak kasus, terutama korupsi, tidak pernah sampai ke meja hijau. Kasus-kasus tersebut kebanyakan berakhir di tingkat penyelidikan atau penyidikan. Kalaupun lolos, kasus-kasus tersebut tak pernah lagi terdengar beritanya setelah berada di tingkat penuntutan. Satu dua kasus--terutama kasus yang mendapat perhatian serius dan luas dari masyarakat--sempat diajukan ke pengadilan. Putusan pengadilan takmemuaskan masyarakat karena orientasi hakim yang sangat legalistis, dan kurang mempertimbangkan social justice.

Kalaupun ada kasus yang berakhir di Lembaga Pemasyarakatan, terpidana banyak yang berhasil menikmati kemudahan-kemudahan bahkan lari ke luar negeri. Tidak heran, jika Indonesia dikenal sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Menurut penelitian Transparency International untuk tahun 2004 yang lalu, Indonesia menempati peringkat ke-5 sebagai negara terkorup di antara 143 negara di seluruh dunia. Setahun sebelumnya,peringkat tersebut lebih "terhormat" yakni peringkat ke-6 dari 133 negara. Anehnya, para koruptor tetap leluasa menikmati jarahannya di tengah-tengah kesengsaraan rakyat. Mereka luput dari jerat hukum walaupun terang-terangan memindahkan uang negara ke rekening pribadi, walaupun para koruptor leluasa mempermainkan dana rakyat dan kemudian mencucinya antara lain dengan cara membangun shopping center, hotel, kapal pesiar atau menikmatinya di negara-negara yang tak memiliki ikatan ekstradisi dengan Indonesia seperti Singapura ataupun Cayman Island.

Hal itu semua dapat terjadi karena penyelenggara negara sudah terkontaminasi sebagai akibat pemerintah--kendatipun silih berganti--kurang memiliki political will apalagi political action untuk memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Keadaan yang berlarut larut ini mengubah pandangan kita terhadap kejahatan tersebut. Telah terjadi banalisasi. Masyarakat menjadi permisif akibat terjadinya perubahan nilai. Yang buruk menjadi baik. Karena sudah biasa dan  dibiarkan terus terjadi, korupsi tidak lagi dianggap sebagai perbuatan yang hina, jahat, melanggar HAM, yang sebenarnya hanya pantas dilakukan oleh pengkhianat bangsa. 

***

Banalisasi terhadap korupsi, mengubah pendapat kita tentang korupsi sebagai perbuatan terkutuk. Kita sengaja melupakan bahwa korupsilah sebenarnya penyebab utama kemiskinan di negeri ini. Catatan terakhir Bank Dunia menunjukkan bahwa 50 persen dari penduduk Indonesia sekitar 110 juta orang, tergolong miskin karena pendapatan mereka di bawah AS$2. Walaupun agak spekulatif, seharusnya kita menyimak laporan yang pernah disampaikan oleh mantan Kepala Bappenas, Kwik Kian Gie yang menyatakan bahwa kekayaan yang dikorup mencapai Rp 444 triliun per tahun. Angka yang melebihi APBN itu terjadi karena hutan terus dibabat (mencapai 2,8 juta hektar per tahun), kekayaan laut terus dikuras, ekstensifikasi dan intensifikasi pajak terus digalakkan tanpa mengindahkan kebocoran yang terjadi. Sementara itu anggaran pembangunan dalam APBN sangat menciut karena tiap tahun harus  membayar bunga dan angsuran pinjaman pokok. Sedangkan sekitar 30 persen dari APBN itu, menurut perkiraan begawan ekonomi kita, Prof.Sumitro Djojohadikusumo (alm.), masuk saku para koruptor. Bahkan menurut laporan BPK dalam semester I tahun 2004, persentase penyimpangan APBN setahun sebelumnya telah mencapai 50 persen.

Masyarakat yang kemudian terlanjur permisif, pada gilirannya semakin menggandakan jumlah penduduk yang jatuh miskin dan cuek terhadap penegakkan hukum. Segala peraturan menjadi nomor dua karena isi perutlah yang primer. Tanpa menghiraukan peraturan-peraturan di bidang tata ruang dan bangunan, penduduk nekad bermukim di bibir pantai atau di bantaran sungai. Ketika gempa dan tsunami datang, ratusan ribu penduduk menemui ajal. Sementara itu, setiap perempatan jalan dipenuhi anak-anak yang terpaksa menengadahkan tangan, mengharapkan belas kasihan untuk membeli sesuap nasi karena orang tuanya sudah tidak sanggup menyediakan biaya sekolah. Dalam keadaan demikian, kejahatan berbiak takterkendali.

Eigenrichting terjadi dimana-mana. Yang diteriaki maling, mati dikeroyok massa. Lebih sadis lagi, korban menemui ajal setelah tubuhnya disiram bensin kemudian dibakar hidup-hidup. Di media setiap hari dapat pula kita ikuti berita perang antar desa atau antar kelompok. Selain nyawa melayang, rumah-rumah dibakar sehingga penduduknya harus mengungsi. Sungguh tepat ajaran agama yang menyatakan bahwa "kemiskinan itu awal dari kekhufuran". Di sini berlakulah street justice atau dark justice seperti yang sering kita saksikan di layar kaca.

Keadaan ini terus berlangsung. Pemerintah sendiri taksanggup menghentikannya. Ketentuan Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan "Fakir miskin dan anak yang terlantar dipelihara oleh negara" tinggal menjadi khayalan belaka. Mengapa pemerintah taksanggup melaksanakan amanat undang-undang dasar ini? Karena pemerintah juga sudah menjadi miskin bahkan menjadi pengemis, karena kekayaan negara, penerimaan negara sebagian terbesar dikorup oleh koruptor berbaju bankir, pengusaha atau pejabat. Karena itu, adalah tepat apabila dikatakan bahwa para koruptor itu telah merampas hak ekonomi dan sosial milik rakyat bahkan hak-hak politik mereka.

Tegasnya, perbuatan para koruptor yang telah menindas hak asasi manusia itu dapat dikatagorikan sebagai extra ordinary crime sehingga penanganannyapun harus luar biasa pula. Ibarat bandul jam, para hakimlah yang sebenarnya menjadi orang dan instansi pertama penemu titik singgung ketertiban hukum dan keadilan itu. Dia akan menemukan titik yang dicari manakala dia berhasil memadu legal justice-social justice dan moral justice dalam putusan-putusannya. Dalam rangka menjatuhkan vonis, hakim harus mampu melakukan pendekatan yuridis sekaligus pendekatan sosiologis yakni tata nilai dalam masyarakat dan pendekatan filosofis sesuai dengan hakikat irah-irah setiap vonis yang dikeluarkannya.  Mungkinkah itu?

Pertanyaan tersebut wajar dilontarkan mengingat Sang Hakim tidak saja harus mempertanggungjawabkan keputusan-keputusannya kepada hukum tetapi juga kepada masyarakat dan Tuhan YME. Ketika hendak menjatuhkan vonis, Sang Hakim harus senantiasa ingat akan tanggung jawabnya yang berat itu. Ia tidak boleh memihak. Ia harus berpedoman kepada  Al Qur'an, surat Al-Maidah 42, yang artinya: "Dan jika kamu memutuskan perkara meraka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil".

Selama ini, para hakim kita berpegang erat-erat  kepada pengertian legal justice seperti yang dianut oleh Pasal 1 KUHP dengan ketentuan klasik nullum delictum noela poena sine  previa lega poenali atau no punishment without law. Terpenuhinya semua unsur pidana menjadi patokan  utama. Seperti dikemukakan oleh E.Utrecht, asas ini tidak melindungi kepentingan-kepentingan kolektif, karena konsepnya yang menganut mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena ada peraturan) bukan mala inse (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena tercela). Karena itu, walaupun tidak semua unsur pidana terpenuhi tetapi menurut rasa keadilan masyarakat, terdakwa harus dihukum karena bersalah. Atau tidak semua unsur pidana terpenuhi tetapi menurut keyakinan dan hati nurani banyak orang, terdakwa pasti bersalah.

Memang, tidak salah pendapat yang menyatakan justice means different things to different people. Berbicara mengenai social justice maupun moral justice, pada gilirannya akan menimbulkan pertanyaan, keadilan bagi siapa dan bagi masyarakat yang mana? Di satu pihak banyak pengunjuk rasa yang berdemonstrasi "menuntut keadilan" ternyata karena memperoleh imbalan uang. Di lain pihak, banyak penghuni liar yang merasa tindakan Satpol PP tidak adil karena rumah-rumah atau kios-kios mereka diporakporandakan dengan buldozer.

Begitu pula dengan wartawan. Mereka merasa, keadilan takpernah berpihak kepada mereka ketika melaksanakan tugas. Puluhan pasal dalam KUHPidana dan juga di luarnya  menjadi ranjau yang siap meledak yang sewaktu waktu dapat menyeret mereka ke penjara. Banyak di antara pasal-pasal itu justru peninggalan kolonial, seperti haatzaai artikelen, yang justru dibuat untuk membelenggu para wartawan yang sebenarnya sekaligus menjadi pejuang untuk memerdekakan bangsanya. Di lain pihak, peranan pers dalam menegakkan keadilan dan ketertiban hukum sudah merupakan pendapat umum sehingga takperlu disangsikan lagi.

Bagian masyarakat lainnya merasa keadilannya terampas manakala menyaksikan pencuri ayam harus meringkuk di penjara sedangkan koruptor bebas berkeliaran di luar negeri. Padahal para koruptor itu jelas-jelas telah melanggar HAM, merampas milik rakyat untuk memperkaya diri sendiri. Mereka tidak perduli nasib rakyat yang terjerembab di jurang kefakiran dan kemiskinan. Inilah sebenarnya alasan mengapa gugatan terhadap UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khususnya mengenai asas non retro aktif seharusnya dikesampingkan karena para koruptor itu sendiri telah menindas hak-hak ekonomi dan sosial rakyat di samping hak asasi lainnya.

Keadaan Indonesia yang masih juga belum berhasil keluar dari krisis multi dimensi yang dialaminya selama tujuh tahun, yang terutama disebabkan oleh korupsi, de facto telah membuat negara ini dalam keadaan darurat. Dalam keadaan staatsnood dimungkinkan timbulnya penyimpangan dari staatsorde yang normal yang memungkinkan terjadinya pengurangan dan penghapusan hak-hak asasi manusia. Dalam hal ini berlakulah pendapat abnormaal recht voor abnormale tijden ( Oemar Seno Aji: 1973). Walaupun asas non retroaktif  dewasa ini diterima secara universal, jangan dilupakan bahwa asas ini pernah dikesampingkan tatkala penjahat-penjahat perang Nazi Jerman, diseret ke pengadilan Neurenberg untuk mempertanggungjawabkan kejahatan genosida dan kemanusiaan yang mereka lakukan. Jadi,  karena telah terjadi penindasan terhadap HAM, maka asas non retroaktif untuk kasus ini disepakati untuk dikesampingkan.

Hal yang sama seyogianya berlaku pula dalam hal pemberantasan korupsi karena para koruptor telah menginjak-injak hak asasi rakyat sehingga 110 juta manusia Indonesia jatuh melarat, hidup miskin dan bodoh. Mereka kehilangan peluang untuk dapat hidup makmur dan bahagia, untuk memperoleh pekerjaan dan pendidikan yang layak, untuk memperoleh keadilan sehingga harkat dan martabat mereka jauh berbeda dibandingkan saudara-saudara mereka dari belahan dunia lainnya. Kalaupun Pasal 28 I UUD 1945 menyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, sebagai hasil amandemen ke-2 UUD 1945, penggunaan asas ini secara umum seyogianya dikaji ulang oleh anggota MPR hasil pemilu 2004-2009 agar pada kesempatan pertama dapat diamandir kembali.  

***

Komisi Konstitusi MPR RI dalam hasil kajian komprehensifnya  mencatat bahwa UUD 1945 juga merupakan konstitusi dalam arti dinamik, yang tidak sekedar berisi tentang pembatasan kekuasaan melainkan juga tersedianya pengaturan interaktif antar unsur bangsa bersama-sama guna menentukan persoalan-persoalan ketatanegaraan yang ingin diwujudkan. Sayang, pada saat melakukan amandemen ke-2 UUD 1945 para anggota MPR kurang memperhitungkan kemungkinan digunakannya asas ini oleh para koruptor dengan berlindung di balik tameng HAM. Padahal, kejahatan yang mereka lakukan justru menginjak-injak hak asasi manusia itu sendiri.

Dengan langkah gontai dan tertatih-tatih, upaya pemberantasan korupsi di Republik ini sebenarnya telah dimuai sejak tahun 1957 ketika Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 lahir semasa Indonesia dinyatakan di bawah Staat van Oorlog en van Beleg (SOB).  Peraturan demi peraturan silih berganti hingga UU No. 30 Tahun 2002 tentang  Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan yang menjadikan lembaga KPK sebagai super body, satu-satunya lembaga yang berwenang sekaligus sebagai penyelidik, penyidik dan penuntut. Seperangkat peraturan perundang-undangan yang telah ada untuk memerangi para koruptor, dianggap masih juga belum cukup sehingga presiden atas desakan kuat dari masyarakat, mengeluarkan Inpres No.5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Ternyata, semuanya takmenghasilkan buah seperti yang diharapkan oleh masyarakat karena pada kenyataannya pemerintah hanya bersikap setengah hati. Tindakan tegas dan nyata yang sangat didambakan masyarakat baru sampai pada taraf retorika belaka. Aparat penyelidik, penyidik, penuntut yang digunakan masih yang itu-itu juga, aparat yang sejak lama sudah terkontaminasi. Nyatalah, untuk menyelamatkan negeri ini dari kebangkrutan oleh karena belum juga mampu keluar dari krisis multi dimensi yang dialaminya sejak tujuh tahun yang lalu, kita semua, pemerintah dan segenap lapisan masyarakat bersama-sama harus ikut menabuh genderang perang membasmi para koruptor dengan cara mengambil sikap dan tindakan yang tegas, simultan dan sistematis oleh karena korupsi itu sendiri sudah menjadi organized crimes.

Genderang itu harus ditabuh dengan komando presiden karena pemberantasan korupsi di Indonesia baru akan berhasil apabila dilakukan top-down, bukan dari bawah ke atas (buttom up) mengingat bangsa ini belum juga dapat melepaskan diri dari budaya patroon-client.  Agar tindak tanduk para pemimpin dapat menjadi acuan dan teladan bagi rakyat, maka khususnya para penegak hukum, tanpa terkecuali harus bersih dari praktik-praktik korupsi dalam segala bentuknya. Bukankah untuk dapat membersihkan ruangan kita harus menggunakan sapu yang bersih pula?

Kekuatan masyarakat itu terdiri dari LSM dan Pers. LSM yang sudah diakui keberadaannya oleh undang-undang (Pasal 41 UU No. 31/1999) diharapkan kualitasnya semakin diperbaiki dan peranannya semakin ditingkatkan. Lembaga itu dapat diharapkan mengawasi sejauh mana aparat penegak hukum konsisten melaksanakan tugas dan sejauh mana intervensi telah terjadi. Karena itu sangat diharapkan, lembaga-lembaga ini dapat bertahan dan menampik setiap usaha intervensi baik dari penguasa maupun pengusaha.

Pers, dalam melaksanakan social control dengan investigative reportingnya dapat memberi masukan berharga bagi para penegak hukum. Agar terhindar dari tuduhan pencemaran nama baik, penghinaan dan sebagainya, pers harus mampu bekerja menghindari ranjau-ranjau hukum positif yang ada. Tidaklah tepat apabila pers dituntut harus melengkapi setiap berita dengan bukti-bukti yuridis. Yang terakhir ini justru merupakan tugas para penegak hukum itu sendiri.

Ketertiban hukum yang berkeadilan adalah cita-cita bangsa yang baru akan dapat diwujudkan dengan tekad, kemauan dan kerja keras  dari segenap komponen bangsa di dalam suatu Negara Hukum.

Menyimak peta  pemberantasan korupsi di Indonesia dihubungkan dengan upaya mewujudkan ketertiban hukum yang berkeadilan dapat disimpulkan bahwa korupsi di Indonesia sudah merasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat sehingga mengubah tata nilai yang berlaku di dalamnya. Korupsi kini dianggap sebagai hal yang wajar, hal yang biasa. Karena sengaja dibiarkan, korupsi  berhasil menjelma menjadi kekuatan tangguh yang apabila tidak dilawan, dapat membangkrutkan negara.

Sampai saat ini upaya pemberantasan korupsi itu baru sampai sebatas retorika belaka. Akibatnya, Indonesia dari tahun ke tahun tidak pernah beranjak dari peringkat teratas negara-negara terkorup di dunia. Separuh dari rakyatnya jatuh miskin dan bodoh. Kualitas mereka terpuruk sehingga diperbudak di negeri lain. Hak asasi mereka sebagai manusia hanya dilindungi sebatas peraturan tetapi diinjak-injak dalam kehidupan sehari-hari.

Keadilan dan ketertiban hukum, dapat diibaratkan sekeping mata uang dengan dua sisi yang berbeda. Ketertiban hukum di satu sisi sedang keadilan di sisi yang lain. Adalah mustahil untuk memisahkan keduanya. Memaksakan pemisahan tersebut, sama halnya dengan menjauhkan ikan dari air. Ikannya akan mati dan airnya tak memberi manfaat bagi kehidupan. Demikian pula, keadilan tak pernah akan terwujud tanpa sarananya yakni ketertiban hukum. Sebaliknya, memadukan keadilan dengan ketertiban hukum, merupakan suatu pekerjaan maha sulit karena hukum mengandung keduanya sekaligus. Paling tidak, sesulit mendefinisikan apa yang dimaksud dengan hukum  dan apa pula yang dimaksud dengan keadilan, karena pengertiannya yang multi perspektif.

Ingatlah apa yang dikatakan oleh Immanuel Kant lebih dari seratus tahun yang lalu bahwa noch suchen die Juristen eine definition zu ihrem begriffe von recht. Untuk mewujudkan ketertiban hukum dan keadilan harus diciptakan terlebih dahulu seperangkat kaidah peraturan hukum tertulis yang berlaku umum di samping  hukum tidak tertulis yang mungkin telah ada. Langkah lebih lanjut adalah melaksanakan dan menegakkan kaidah-kaidah hukum itu dengan tegas. Tetapi dengan menegakkan dan melaksanakan kaidah dan peraturan hukum tersebut tidaklah berarti ketertiban hukum dan keadilan dengan sendirinya telah terwujud. Memang lebih mudah mencari keadilan daripada menemukannya.

Menjadi pertanyaan, apakah kaidah-kaidah dan peraturan hukum yang belaku umum itu sudah merupakan representasi dari harapan masyarakat atau sesuai dengan hati nurani pencari keadilan?

Keadilan bagi masyarakat atau keadilan sosial (social justice) hanya akan terwujud di dalam negara yang memang bertujuan  untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Negara yang demikian itu kita kenal sebagai negara kesejahteraan (Welvaarstaat). Sedangkan sebaliknya, negara yang hanya mengejar kepastian hukum semata akan menjelma menjadi negara kekuasaan atau machtstaat.

Tags: