Governance
Tajuk

Governance

Tak pelak, demokrasi barat yang diajarkan dan diterapkan di negara-negara berkembang membutuhkan suatu awal yang paling mendasar dari berdirinya pemerintahan yang baik, bersih dan mempunyai legitimasi yang kuat.

Oleh:
ATS
Bacaan 2 Menit
<i>Governance</i>
Hukumonline

Siapapun diantara kita sadar bahwa kita masih bertransisi, dan kelembagaan dan kehidupan demokratis yang baru dibangun dari Pemilu 2004 lalu masih sangat muda dan lemah. Terlalu mudah untuk menyalahkan Soeharto yang mengkondisikan bangsa dan masyarakat kita menjadi lemah. Sebagian besar dari kita sendiri tidak pernah melawan Soeharto dengan keras dan berani, dan sebagian dari kita sekarang yang mengaku bagian dari proses perubahan dulu juga pernah menjadi bagian dari barisan Soeharto, atau mempunyai pola pikir yang sama dengan Soeharto, atau menjadi bagian yang diuntungkan dari kondisi yang dibangun Soeharto, atau paling tidak mendiamkan saja keadaan yang dibangun Soeharto.

Kita dengan mudah membangun lembaga yang dibutuhkan untuk terjadinya proses demokratisasi, mengisinya dengan orang-orang yang seadanya, dan kemudian meninggalkannya seakan dengan itu saja proses demokratisasi dan penegakan good governance bisa berjalan sendiri. Kesalahan bukan hanya di penguasa, tetapi juga di masyarakat sipil yang begitu mudah terpuaskan oleh pencapaian-pencapaian sasaran kelembagaan, dan kemudian sibuk dengan mainan baru yang lebih seksi.

Penguasa yang menang Pemilu 2004 lalu adalah penguasa yang masih sangat muda dalam tradisi politik Indonesia, dan masih sangat terpengaruh oleh cara berpikir orde baru yang menyerahkan perumusan kebijakan publik di segelintir tangan yang kadang-kadang merupakan invisible hands, dan memecahkan masalah dengan dilandasi pragmatisme yang tinggi, dengan mengabaikan peran diskursus publik dan kontribusi masyarakat sipil.

Kita di-ninabobokkan dengan dibiarkannya pers menjadi pers yang bebas dan merdeka bicara apa saja. Kalau diamati lebih teliti, maka para pemain utama di birokrasi masih pemain yang lama, yang berkolaborasi dengan pengusaha-pengusaha yang juga masih sama, atau paling tidak berpola pikir sama. Demikian pula jajaran kepolisian, militer, jaksa dan hakim serta pengacara masih para pemain lama yang mempunyai kosa kata lengkap tentang demokrasi dan reformasi, tetapi masih punya agenda-agenda yang sama dengan pola pikir yang sama dalam memelihara kepentingan mereka. Sementara sedikit orang yang rela masuk ke dalam struktur dan mencoba mengubah lembaga dan sikap mental dari dalam, dan kalaupun ada harus menghadapi frustasi demi frustrasi karena kultur kerja, komitmen dan pencapaian-pencapaian usaha reformasi masih jauh dari sasaran.

Kalau kita ingat dulu waktu Partai Golkar masih sangat berkuasa di era Soeharto, ada sedikit orang yang mungkin jujur dan idealis mencoba masuk ke dalam struktur penguasa dan Partai Golkar, dengan suatu impian bahwa mengubah dari dalam akan lebih efektif daripada berteriak dari luar tanpa hasil. Sejarah membuktikan bahwa mereka terkungkung dalam struktur kekuasaan yang kokoh dan tergulung dalam gelombang sikap koruptif yang merajalela. Kekhawatiran yang sama kini sepertinya harus kita telan kembali dengan sangat pahit.

Dalam konstalasi politik yang sangat tidak jelas sekarang, siapa yang memegang kendali kebijakan publik, termasuk kebijakan-kebijakan ekonomi yang strategis, kecurigaan yang tinggi jelas sangat bisa muncul. Birokrasi masih dikuasai oleh orang-orang berpola pikir lama, dan partai-partai yang berkuasa di masa orde baru masih menjadi bagian dari kekuasaan. Institusi-institusi dan orang-orang ini jelas mempunyai jaringan bisnis yang cukup rumit dan berkemampuan untuk memegang kendali dari hulu ke hilir, dari kebijakan publik bidang ekonomi ke tingkat eksekusi oleh jaringan-jaringan di pusat dan di daerah yang efektif.

Di dalam negara dimana sistim integritas nasional sudah tegak, maka sistim dan institusi yang berjalan efektif akan menjamin ditegakkannya good governance. Orang-orang terplilih dalam sistim dan institusi akan bekerja dalam sistim yang transparan dan terawasi dengan ketat. Orang-orang bekerja dalam semangat merit dan persaingan sehat Yang berkemampuan dan punya integritas akan selalu ditampilkan untuk memimpin. 

Di dalam negara yang sedang bertransisi seperti Indonesia, terbangunnya sistim dan institusi tidak cukup memadai. Masih dibutuhkan orang-orang yang berkemampuan dan punya integritas tinggi untuk memimpin birokrasi, parlemen, institusi pengawas, penegak hukum dan yudisial. Kita masih bermimpi kalau mengharapkan bahwa lembaga dan sistim kerja modern yang dijiplak dari konsep-konsep yang terkesan dipaksakan oleh negara atau agen donor akan bekerja efektif di Indonesia.

Semua itu masih perlu orang-orang tangguh yang berjiwa reformis, bersedia hidup sekedarnya, dan tidak gamang menghadapi persoalan-persoalan bobroknya institusi-institusi dan sumber daya manusia kita, dan tidak canggung dan minder menghadapi kompleksitas cara berpikir dan intervensi negara-negara maju dan dunia usaha yang tidak pernah berhenti mencari peluang untuk mencari keuntungan di pasar manapun dan dalam kondisi politis apapun.

Satu-satunya yang bisa menjaga agar orang-orang dan institusi-institusi ini bisa efektif bekerja adalah good governance, atau dalam istilah Dan Lev tadi, ada sistim, institusi dan orang-orang yang mengawasinya, dan membuatnya menjadi lemah untuk kemudian selalu taat pada hukum, keadilan dan kepentingan orang banyak.

April 2005

Awal itu tentu saja pemilihan umum yang terbuka, rahasia, jujur dan adil, serta dilaksanakan dengan sistim pengawasan yang ketat untuk menghindari pemaksaan atau money politics. Dengan legitimasi dari sistim pemilu yang demikian, kita berasumsi bahwa pemerintahan yang terpilih akan menjadi pemerintahan yang kuat. Kuat bukan dalam pengertian menjadi keras dan sewenang-wenang, karena merasa bahwa pemerintahannya mendapat mandat mayoritas pemilih. Tetapi, kuat dalam pengertian adanya kepercayaan yang tinggi bahwa kebijakan yang akan diambil dalam pemerintahannya mendapat dukungan politik dari parlemen, masyarakat luas dan terutama konstituennya yang luas.   

Indonesianis kenamaan, Daniel S. Lev dalam suatu diskusi informal justru mengatakan itu pendekatan yang agak salah. Penguasa secara politis sudah kuat karena mempunyai semua yang dibutuhkan untuk menjalankan mesin birokrasi, punya akses ke uang, menguasai militer, dan secara konstitusi tidak bertanggung jawab kepada siapapun, kecuali ada alasan-alasan yang mengakibatkan timbulnya impeachment. Tetapi mana ada suatu bangsa yang mau setiap habis menjalankan pemilu yang terbilang demokratis, harus tersendat-sendat pemerintahannya karena presidennya acap kali dipecat karena tidak becus.

Pemilu adalah proses demokrasi yang membenarkan adanya presiden yang tidak becus, kalau itu memang pilihan rakyat terbanyak. Proses seperti itu melelahkan dan mengganggu kerja banyak pihak, birokrasi, dunia usaha maupun masyarakat madani. Bahkan, negara besar dan kuat seperti Amerika sekalipun tidak suka melihat beberapa presidennya diambang pemecatan, dan juga tidak suka punya presiden yang dibodoh-bodohkan oleh seantero dunia. Tetapi itulah demokrasi. Kita rupanya belum punya sistim yang lebih baik yang tahan segala macam kritik.

Dan Lev dalam bahasanya sendiri melihat bahwa yang dibutuhkan oleh negara seperti Indonesia adalah pemerintahan yang dilemahkan. Saya membaca bukannya ia menginginkan pemerintahan tidak efektif, korup dan tidak berdaya mengelola birokrasi dan melayani rakyat, tetapi pendapatnya lebih kepada bahwa penguasa harus selalu diawasi, checks and balances harus selalu terjadi, partai politik selalu harus berfungsi dan beroposisi kuat dengan cara yang beretika, parlemen menjadi kuat dalam mengawasi pelaksanaan kebijakan produk legislatif, lembaga yudikatif bebas dan bersih mengadili perkara-perkara temasuk perkara politik dan administratif yang menyangkut penguasa sebagai pihak, lembaga-lembaga pengawas keuangan berfungsi baik dalam mentransparankan transaksi-transaksi keuangan, dan masyarakat sipil aktif bergerak dan terlibat dalam perumusan kebijakan publik dan pengawasan pelaksanaan kebijakan publik.

Dalam bahasa ringkasnya, kita membutuhkan good governance di semua lapisan, sesuatu yang selalu mudah didengungkan, didiskusikan dan dijadikan ikon kampanye politik, tetapi masih tidak dimengerti dan jauh dari greget pelaksanaan yang meluas, efektif dan konsisten.  

Tags: