Lubang Menganga Di Perma Persaingan Usaha
Fokus

Lubang Menganga Di Perma Persaingan Usaha

Berbagai persoalan hukum mengemuka ketika perkara keberatan terhadap putusan KPPU disidangkan dengan mengacu pada Perma No.1/2003.

Oleh:
Leo/CR
Bacaan 2 Menit
Lubang Menganga Di Perma Persaingan Usaha
Hukumonline
Perkara keberatan terhadap putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha terkait dengan divestasi tanker (VLCC) sebenarnya telah memas paruh akhir. Perkara keberatan yang diajukan oleh Pertamina dan Goldman Sachs telah masuk pada tahap kesimpulan, sementara untuk Frontline baru pembuktian.

Artinya, tiga keberatan dari Pertamina, Goldman Sachs, dan Frontline yang diajukan ke PN Jakarta Pusat, serta keberatan PT Pelayaran Equinox di PN Jakarta Selatan akan disidangkan dalam satu majelis.

Selain konsolidasi perkara, sejumlah persoalan juga mengemuka. Boleh dikatakan berbagai persoalan muncul akibat ketidakjelasan Perma No.1/2003 dalam mengatur tata cara pemeriksaan perkara keberatan terhadap putusan KPPU. Sebut saja soal pengajuan dokumen pemeriksaan yang bisa berdampak pada terungkapnya identitas pelapor yang seharusnya dirahasiakan.

Syahdan, Perma No.1/2003 memang lahir untuk menjawab berbagai persoalan hukum akibat ketidakjelasan UU No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Terutama yang berkaitan dengan tata cara pemeriksaan keberatan. Tapi, adanya Perma ini rupanya tidak ces pleng berdampak pada mulusnya pemeriksaan perkara keberatan di pengadilan negeri.

Tabel: Berbagai persoalan yang mengemuka saat persidangan keberatan putusan KPPU soal divestasi VLCC

No.

Persoalan di persidangan

Pengaturan di Perma

Sikap pengadilan

1.

Tata cara pemanggilan pihak yang berada di luar negeri

Dalam Perma tidak diatur secara tegas mengenai hal tersebut. Jadi, yang berlaku seharusnya adalah hukum acara perdata (HIR).

Bila mengacu pada HIR, maka pemanggilan ini seyogianya dilakukan melalui Departemen Luar Negeri yang memakan waktu tiga bulan. Padahal, jangka waktu pemeriksaan keberatan dilakukan dalam tempo 30 hari.

Tidak diketahui apa yang menjadi alasan Pengadilan, yang pasti pemanggilan pihak-pihak yang berada di luar negeri dilakukan melalui pengumuman di harian The Jakarta Post.

Padahal, berdasarkan HIR, pemanggilan surat kabar baru boleh dilakukan apabila alamat pihak yang akan dipanggil tidak diketahui/tidak jelas. Sedangkan dalam perkara ini, alamat para pihak cukup jelas.

2.

Kompetensi pengadilan

Dalam Pasal 2 Perma No.1/2003 disebutkan bahwa keberatan terhadap putusan KPPU diajukan ke pengadilan negeri. Sedangkan dalam Pasal 1 ayat(19) UU No 5/1999, permohonan keberatan diajukan ke pengadilan negeri yang merupakan domisili hukum pemohon keberatan.

Dengan demikian terbuka kemungkinan pengajuan keberatan di pengadilan luar negeri, apabila pemohon keberatan berdomisili hukum di luar negeri.

KPPU sendiri menafsirkan domisili hukum pemohon keberatan yang berada di luar negeri, dapat disesuaikan dengan domisili hukum kuasanya, apabila mengajukan keberatan di Indonesia.

Eksepsi KPPU tentang kompetensi relatif pemohon tidak diterima majelis hakim. Majelis tetap melanjutkan sidang dan meminta KPPU menyampaikan persoalan tersebut dalam tanggapan permohonan keberatan.  

3.

Penggabungan perkara

Berpedoman pada Pasal 4 ayat 2 Perma No.1/2003, KPPU dapat mengajukan permohonan penggabungan perkara kepada MA, dalam hal permohonan keberatan diajukan pada yurisdiksi yang berbeda.

Tidak disebutkan jangka waktu bagi KPPU melayangkan surat permohonan penggabungan perkara kepada MA. 

Sehubungan dengan itu, KPPU sempat meminta penundaan sidang, hingga adanya surat jawaban dari MA.

Dalam Perma tidak ada ketentuan yang menyatakan permohonan keberatan disidangkan satu majelis yang sama.

Majelis berpendapat, sidang tetap berjalan sementara menunggu keputusan MA mengenai konsolidasi. Apabila, MA berpendapat lain, barulah majelis menghentikan sidang tersebut.

Setelah turun penetapan dari MA, Ketua PN mengeluarkan penetapan untuk menunda sidang sementara waktu, hingga ditunjuk majelis hakim yang baru.

4.

Kerahasiaan dokumen dan identitas pelapor

Dalam ketentuan Pasal 5 Perma No.1/2003, KPPU wajib menyerahkan seluruh berkas perkaranya ke pengadilan, untuk keperluan pemeriksaan.

Frase seluruh berkas ini dinilai KPPU tidak termasuk berkas yang bersifat rahasia, karena menyangkut identitas pelapor.  

Hal ini dilakukan KPPU untuk melindungi identitas pelapor, dimana berdasarkan pasal 38 UU No 5/1999 KPPU wajib melindungi identitas pelapor.  

Majelis menilai, seluruh berkas yang dimaksud dalam Pasal 5 Perma No 1/2003, adalah berkas secara keseluruhan, termasuk yang bersifat rahasia.

Namun, dengan masuknya berkas ke pengadilan, maka majelis menilai sifatnya tidak lagi rahasia. Dengan demikian, terbuka kemungkinan diketahuinya identitas pelapor oleh publik.

5.

Penilaian bukti

Berdasarkan Pasal 5 ayat 2 Perma No.1/2003, pemeriksaan keberatan hanya dilakukan atas dasar putusan dan berkas perkara KPPU. Sehingga tidak ada proses pembuktian.

Pasal 6 Perma No.1/2003 dikatakan dalam hal hakim menilai perlu pemeriksaan tambahan, maka melalui putusan sela, pemeriksaan tambahan diserahkan kepada KPPU.

Dalam proses pemeriksaan, majelis hakim menerima bukti-bukti yang diajukan oleh pemohon. Majelis nantinya yang akan memeriksa sendiri bukti tersebut. Menurut majelis, hal tersebut dilakukan untuk mengetahui argumentasi dari dalil yang diajukan pemohon keberatan. Hakim merujuk pada asas audi et alteram partem (mendengar dari kedua belah pihak).

Namun di sisi lain, majelis hakim menolak permintaan pemohon untuk menghadirkan saksi ahli dalam persidangan. Padahal, saksi termasuk alat bukti.

Majelis menilai, perlu atau tidaknya pemeriksaan tambahan adalah kewenangannya.

Di sini terlihat inkonsistensi dari hakim dalam menerapkan Perma tersebut.

Sejatinya, ini bukan kali pertama keberatan terhadap putusan KPPU disidangkan dengan berbasis pada Perma No.1/2003. Tapi kenyataannya, persoalan demi persoalan sebagaimana diuraikan diatas memang baru mencuat saat perkara keberatan divestasi VLCC. 

Bisa jadi ini disebabkan perkara keberatan ini memang kompleks karena melibatkan multipihak dari yurisdiksi hukum berbeda yang tentu akan memperjuangkan kepentingannya masing-masing. Di perkara-perkara keberatan sebelumnya, persoalan yang dipaparkan diatas tidak muncul karena hanya melibatkan satu dua pihak dari yurisdiksi yang sama. Atau, isi Perma No.1/2003 memang multitafsir?

Masalah penafsiran

Menanggapi berbagai persoalan diatas, KPPU sendiri menganggap Perma No.1/2003 secara substansi sudah cukup baik. Persoalan yang ada ini hanyalah masalah penafsiran. Penafsiran terhadap Perma ini kan harus mengikuti undang-undangnya. Seperti persoalan penyerahan berkas yang rahasia. Normanya kan sudah ada, jadi hanya masalah penafsiran, ujar anggota KPPU Syamsul Maarif (26/4).

Kata dia, Perma tersebut adalah upaya yang paling baik, untuk mencegah ketidakpastian hukum, meskipun tidak dapat memuaskan semua pihak.

Namun, lain halnya dengan M. Idwan Ganie, kuasa hukum Goldman Sachs. Dia melihat, beberapa masalah teknis dalam hukum acara—termasuk dalam Perma--yang justru berpotensi menjadi persoalan serius.

Semisal, dia katakan, tidak adanya pengaturan tentang jangka waktu bagi KPPU untuk mengajukan permohonan konsolidasi. Di sisi lain, pelaku usaha hanya punya waktu 14 hari untuk mengajukan keberatan. Akibatnya, ketika sidang keberatan dimulai, penetapan konsolidasi belum turun dari MA. Hebohnya lagi, keputusan kondolidasi malah baru keluar menjelang putusan.

Kalau sudah begini, bagaimana penanganannya? Apakah perkaranya berhenti, dilanjutkan, atau malah dimulai sejak awal. Nah kalau diajukan kembali (permohonan keberatan, red) maka jangka waktu 14 hari mengajukan keberatan sudah lewat, tandasnya.

Tapi di mata Syamsul tidak ada persoalan hitung-hitungan waktu berkenaan dengan perintah konsolidasi. Menurutnya, penghitungan waktu 30 hari untuk memeriksa permohonan keberatan baru dimulai setelah adanya konsolidasi perkara.

Selain itu, dia menambahkan, proses pemeriksaan yang sudah berlangsung dalam perkara keberatan VLCC tidak akan dinafikkan begitu saja. Toh, berkasnya masih valid, kata Syamsul, yang meraih gelar doktornya dari McGill University, Kanada ini. 

Ia menandaskan, adanya penundaan akibat perintah konsolidasi, tidak akan merugikan pihak manapun. Justru, dia melihat, para pihak mendapatkan waktu lebih banyak, untuk mempelajari persoalan dengan lebih baik.

Selain itu, Ganie juga menyoroti teknis administrasi pemindahan berkas permohonan di PN Jaksel (permohonan keberatan Equinox) ke PN Jakpus. Sebab, surat Bagir yang memerintahkan konsolidasi perkara tidak ditujukan atau ditembuskan ke PN Jaksel.

Lalu siapa yang memberi instruksi? PN Jakpus tidak dalam kapasitas untuk memberikan instruksi kepada pengadilan negeri lainnya, tukas Ganie

Pengacara dari kantor hukum Lubis Ganie Surowidjojo ini mengingatkan, jangan sampai langkah konsolidasi malah kontradiktif dengan tujuan semula, yang berupaya menyelesaikan perkara secara sumir (selesai dalam 30 hari). Kendatipun demikian, Ganie merasa yakin bahwa pembentukan Perma No.1/2003 ini bertujuan baik, mengingat UU No 5/1999, memiliki kelemahan dari segi hukum acara.

Sejauh ini belum diperoleh penjelasan dari pihak MA. Padahal, yang berwenang untuk meluruskan berbagai persoalan diatas adalah MA. Saat ini, Bagir tengah berada di Norwegia. Sementara salah seorang hakim agung yang mengerti tentang seluk beluk Perma ini, menolak untuk berkomentar. Dia mengatakan, harus berkordinasi terlebih dahulu dengan Ketua MA, sebelum memberikan pernyataan yang mewakili institusinya.  

Very Large Crude Carrieruki

Majelis PN Jakarta Pusat bahkan telah berancang-ancang menjatuhkan putusan perkara tersebut mengingat beberapa hakim-- termasuk yang menyidangkan perkara keberatan ini--harus berangkat ke Norwegia untuk mengikuti sebuah seminar.

Apa lacur, di persidangan pekan lalu tiba-tiba keluar surat dari Ketua Mahkamah Agung (MA) Prof. Bagir Manan. Ia meminta agar perkara keberatan divestasi VLCC pemeriksaannya dijadikan satu dalam majelis yang sama (konsolidasi).

Titah Bagir ini kontan menuai protes dari pengacara pemohon keberatan. Selain karena suratnya datang terlambat, yang dititahkan Bagir juga dinilai tidak sejalan dengan Perma Persaingan Usaha (Peraturan Mahkamah Agung No.1/2003 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan KPPU).

Pasal 4 ayat 2 Perma No.1/2003 tegas menyatakan bahwa kewenangan MA hanya sebatas menunjuk salah satu pengadilan negeri untuk memeriksa permohonan keberatan. Sementara, dalam  surat yang ditandatangani Bagir 13 April lalu, isinya tidak hanya mengenai penunjukkan pengadilan yang berwenang, tapi juga menyatakan permohonan keberatan tersebut harus diperiksa dalam satu registrasi perkara.

Tags: