Perpres Pengadaan Tanah: Format Keliru, Substansi Banyak Persoalan
Fokus

Perpres Pengadaan Tanah: Format Keliru, Substansi Banyak Persoalan

Bagaimana mungkin sebuah aturan yang sarat dengan isu HAM hanya dituangkan dalam format Peraturan Presiden (Perpres).

Oleh:
Gie/Leo
Bacaan 2 Menit
Perpres Pengadaan Tanah: Format Keliru, Substansi Banyak Persoalan
Hukumonline

 

Tapi okelah, nasi sudah menjadi bubur. Sekarang persoalannya apakah Perpres ini memang jiwanya untuk melindungi rakyat kecil yang selalu dirugikan dalam pengadaan tanah dan isinya senafas dengan RUU Perolehan Tanah? Bisa ya bisa tidak.

 

Dukungan dari Perpres ini datang salah satunya dari pihak pemerintah. Mereka melihat aturan ini ampuh untuk memberantas calo dan spekulan tanah. Sebelum ini, setiap ada rumor ‘sejengkal' wilayah akan dijadikan proyek pembangunan, maka dalam waktu singkat calo tanah akan berkeliaran. Kelanjutannya bisa ditebak. Mereka membeli tanah dengan harga murah dari warga setempat dan minta tebusan mahal ketika pemerintah resmi mengajukan penawaran untuk membeli tanah itu.

 

Tapi kini dengan adanya Perpres, praktik ‘percaloan tanah untuk kepentingan umum' diharapkan bisa dieliminasi. Sebab, pada Pasal 4 Perpres No.36/2005 diatur bahwa apabila ada tanah yang telah ditetapkan oleh bupati atau gubernur untuk dijadikan lokasi pembangunan, maka siapapun yang hendak membeli tanah tersebut harus mendapat persetujuan tertulis dari walikota atau gubernur.

 

Di sisi lain, nada-nada sumbang datang dari kalangan LSM dan akademisi. Salah satu poin kritik berkenaan dengan format aturan tersebut. Memakai format Perpres untuk mengatur pengadaan dan pencabutan hak atas tanah—hal yang begitu krusial—dinilai tidak sepatutnya.

 

Guru besar hukum agraria Universitas Gadjah Mada Maria SW Soemardjono mengatakan kepada hukumonline bahwa proses pembebasan tanah erat kaitannya dengan  permasalahan HAM. Bagaimana tidak, menurutnya kepemilikan tanah seseorang nantinya harus direlakan untuk kepentingan yang lebih besar lagi yang disebut-sebut sebagai kepentingan pembangunan.

 

Dia berpandangan, proses pembebasan tanah atau sampai pada tahap yang terburuk yaitu pencabutan hak atas tanah milik seseorang merupakan hal yang bertalian erat dengan persoalan Hak Asasi Manusia (HAM).

 

Dari sini saja Maria melihat materi Perpres Pengadaan Tanah ini sudah tidak sesuai dengan Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sebab, UU No.10/2004 mensyaratkan bahwa materi yang berhubungan dengan HAM harus dirumuskan dalam bentuk undang-undang.

 

Kemudian, isi Perpres adalah ditujukan untuk menindaklanjuti undang-undang atau untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Padahal, sampai saat ini tidak ada aturan spesifik berupa UU yang mengatur tentang perolehan tanah untuk pembangunan. Aturan yang ada hanya UU Pokok Agraria, UU No 51 Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin dan UU No.20/1961 tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda Diatasnya. Semuanya dinilai belum mengakomodir keperluan kepentingan pembangunan.

 

Persoalan pengadaan tanah yang begitu pelik ditambah lagi dengan materinya bersinggungan dengan HAM, tidak seyogianya diatur dalam sebuah aturan yang pembahasannya tidak dilakukan melalui konsultasi publik terlebih dahulu ataupun pembahasan di DPR yang dapat dipantau masyarakat. Antara isi dan bentuknya saja (Perpres, red) sudah tidak sesuai, ujar Maria yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua BPN (13/5).

 

Ini bukan berarti tidak ada jalan bagi pemerintah untuk mengambil tanah masyarakat untuk sesuatu yang disebut kepentingan bersama. Sebab saat ini BPN telah menyiapkan RUU Perolehan Tanah Untuk Pembangunan. Pembahasan RUU tersebut sudah melalui lima kali konsultasi publik.

 

Memang cara-cara perolehan tanah maupun bentuk ganti kerugian yang akan diberikan dalam RUU ini akan berbeda dengan Perpres 36/2005. Namun intinya tetaplah ketentuan tentang cara-cara memperoleh tanah rakyat untuk misi pemerintah bertajuk pembangunan.

 

Selain ketidaksinkronan format antara isi dengan formatnya, Perpres No. 36/2005 secara substansi juga memiliki beberapa persoalan.

 

Guru Besar Hukum Agraria Universitas Trisakti, Prof. Boedi Harsono mengemukakan baik Keppres No.55/1993 maupun Perpres No.36/2005 yang substansinya adalah mengatur pengadaan tanah untuk pembangunan, dinilai sama-sama belum memenuhi asas-asas umum yang berlaku.

 

Ditekankannya, Perpres No.36/2005 mengintroduksi kata-kata ‘pencabutan hak atas tanah' yang sebelumnya tidak dikenal dalam Keppres No.55/1993. Berpedoman kepada Perpres, dengan alasan pembangunan untuk kepentingan umum, pemerintah melalui panitia pengadaan tanah dapat serta merta mencabut hak atas seseorang yang tidak mau pindah dari tanah yang ia tempati. Pencabutan hak atas tanah adalah mekanisme yang dianut oleh Perpres apabila kata sepakat tak kunjung tercapai.

 

Padahal, di mata Boedi bagaimanapun perolehan tanah harus tetap mengedepankan asas hukum dan musyawarah. Berhasil tidaknya musyawarah, seharusnya tetap tidak melegalkan pencabutan tanah dengan paksa oleh pemerintah. Kalau tidak setuju ya tidak boleh dipaksa, kan itu miliknya biarpun yang butuh pemerintah. Kita ini negara hukum, tegasnya kepada hukumonline.

 

Imbalan bukan ganti kerugian

Menyikapi lebih jauh tentang proses perolehan tanah, dimana untuk suatu bidang tanah yang sudah menjadi milik orang lain maka cara untuk mendapatkan tanah tersebut adalah melalui musyawarah untuk memberi imbalan.

 

Boedi menentang apabila proses tersebut dinamakan ganti kerugian. Seharusnya tidak ada yang boleh rugi kan, ujar Boedi.

 

Imbalan adalah kata-kata yang selayaknya dipakai untuk mengganti sebidang tanah ataupun rumah atau apa saja milik masyarakat yang nantinya diminta oleh pemerintah.

 

Bentuk imbalan yang diberikan oleh pemerintah sebagai pihak yang membutuhkan tidak selalu diakomodir dengan uang. Imbalan, lanjut Boedi dinilai berdasarkan tanah, bangunan, tanaman serta kegunaan atau fungsi dari bangunan dan tanah tersebut.

 

Misalnya saja, apabila sebelumnya tanah yang diambil merupakan tempat aktivitas perdagangan seperti toko dan ataupun rumah makan maka pemerintah selayaknya harus memperhitungkan besarnya imbalan untuk menutup usaha tersebut.

 

Perpres sendiri hanya memuat empat bentuk ganti rugi anatara lain uang, tanah, relokasi pemukiman kembali dan kompensasi berupa penyertaan modal.

 

Selain itu, kata Boedi, pemerintah dalam memberi imbalan harus juga memperhatikan nilai riil dari harga tanah, bangunan dan tanaman. Sebab perhitungan dengan berpatokan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sering dihitung melalui NJOP di tahun sebelumnya. Sehingga, perbedaan antara nilai riil dan NJOP makin besar.

 

Objek kepentingan umum

Persoalan lain di Perpres yang dinilai berpotensi mengundang konflik di kemudian hari adalah mengenai batasan objek kepentingan umum yang ditambah dari 14 menjadi 21. Benarkah pengadaan tanah itu murni untuk kepentingan umum, atau ada pihak lain yang bertameng kepentingan umum?

 

Persoalannya, apakah proyek pembangunan jalan tol, saluran air bersih, dan distribusi tenaga listrik masih bisa dikategorikan untuk kepentingan umum mengingat kecenderungannya sekarang proyek tersebut dikerjakan oleh dan untuk kepentingan pihak swasta?

 

Tabel: Batasan Objek Kepentingan Umum

 

No.

Berdasarkan Keppres No.55/1993

Berdasarkan Perpres No.26/2005

1.

Jalan umum, saluran pembuangan air;

Jalan umum, jalan tol, rel kereta api (diatas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi;

2.

Waduk bendungan, dan bangunan perairan lainnya termasuk saluran irigasi;

Waduk, bendungan, bendung, irigasi, dan bangunan pengairan lainnya;

3.

Rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat;

Rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat;

4.

Pelabuhan, bandar udara, atau terminal;

Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal;

5.

Peribadatan;

Peribadatan;

6.

Pendidikan atau sekolah;

Pendidikan atau sekolah;

7.

Pasar umum atau Pasar INPRES

Pasar umum;

8.

Fasilitas pemakaman umum;

Fasilitas pemakaman umum;

9.

Fasilitas keselamatan umum;

Fasilitas keselamatan umum;

10.

Pos dan telekomunikasi;

Pos dan telekomunikasi;

11.

Sarana olahraga;

Sarana olahraga;

12.

Stasiun penyiaran radio, televisi, dan sarana pendukungnya;

Stasiun penyiaran radio, televisi, dan sarana pendukungnya;

13.

Kantor pemerintah,

Kantor pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, PBB, dan atau lembaga-lembaga internasional di bawah naungan PBB;

14.

Fasilitas ABRI

Fasilitas TNI dan Kepolisian sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya;

15.

 

Lembaga Pemasyarakatan dan rumah tahanan;

16.

 

Rumah susun sederhana;

17.

 

Tempat pembuangan sampah;

18.

 

Cagar alam dan cagar budaya;

19.

 

Pertamanan;

20.

 

Panti sosial;

21.

 

Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

 

 

Maria berpendangan yang dikatakan sebagai kepentingan umum dalam Perpres ini sudah berbeda jauh dengan yang sebelumnya. Padahal, menurutnya yang masuk kategori kepentingan umum adalah proyek yang dilakukan pemerintah untuk masyarakat dan tidak bertujuan untuk mencari keuntungan.

 

Sedangkan perluasan objek dalam Perpres boleh dikatakan tidak lagi murni untuk kepentingan pembangunan. Sebab, sebagaimana disinggung diatas beberapa objek sudah tidak lagi sepenuhnya dikelola oleh pemerintah, melainkan adanya campur tangan swasta dan ditujukan untuk mencari keuntungan.

 

Senada dengan Maria, Ketua YLBHI Munarman beberapa waktu mengemukakan bahwa Perpres ini dimaksudkan untuk memfasilitasi kepentingan investor. Kehadiran Perpres 36/2005 disinyalir sebagai tindaklanjut dari infrastructure summit dimana pemerintah berencana untuk mengeluarkan 14 peraturan pendukung untuk memuluskan rencana oihak asing berinvestasi di Indonesia.

 

 

Potensi konflik

Ujung-ujungnya pemberlakuan Perpres 36/2005 adalah prediksi akan timbulnya konflik. Potensi konflik ini memang sudah disadari oleh beberapa LSM seperti YLBHI, ELSAM, Konsorsium Pembaruan Agraria dan Walhi setelah Perpres tersebut ditandatangani.

 

Sebab, pemberlakuan dari Perpres ini membawa dampak bagi penggusuran secara paksa. Padahal sebelum berlakunya Perpres ini saja penggusuran paksa dan konflik pertanahan sudah berjumlah lebih dari 1148 kasus.

 

Melenceng dari TaP MPR No.9/2001 dan Tap MPR No. 5/2003 yang mengamanatkan untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria, Perpres No.36/2005 dinilai justru mengundang konflik tersebut.

 

Ketua Bina Desa Jakarta, Saiful menyebutkan masyarakat proyek banjir kanal timur kemungkinan bisa menjadi korban pertama dari Perpres yang dianggapnya represif ini. Kemudian, orang-orang yang bermukim di sekitar  Tempat pembuangan Sampah Bojong kemungkinan juga terkena dampak Perpres ini.

 

Ketidakpuasan maupun kritik dari keluarnya Perpres pengadaan tanah untuk pembangunan akhirnya bermuara pada sebuah solusi. Dari kalangan LSM dengan kalangan akademisi mempunyai solusi yang berbeda, namun intinya mereka tidak menginginkan Perpres ini berlaku.

 

Kalangan LSM yang tegas menolak kehadiran Perpres ini memberikan solusi—tidak bisa tidak—dengan mengajukan uji materiil ke Mahkamah Agung. Perpres No.36/2005 dinilai cacat paradigma dengan substansi yang merugikan masyarakat.

 

Sementara, Maria berharap agar Perpres yang secara filosofis tidak jelas, secara yuridis salah wadah, dan menjadi pertanyaan secara sosiologisnya, sebaiknya segera diperbaiki.

 

Yang jelas, pemerintah melalui BPN telah menyiapkan RUU Perolehan Tanah Untuk Pembangunan yang substansinya kemungkinan serupa dengan Perpres 36/2005. Hanya saja cara-cara yang ditempuh untuk memperoleh tanah mungkin berbeda.

 

Bagaimanapun, setidaknya dalam pembahasan RUU Perolehan Tanah nantinya masyarakat dapat menilai dan berperan serta agar peraturan seperti Perpres No.36/2005 tidak lagi hadir begitu saja.

Kritikan terus berdatangan menyambut lahirnya Peraturan Presiden No.36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Kalau menilik dari proses pembahasannya, hal ini tak mengherankan mengingat ketika itu pun rancangan Perpres tersebut tak luput dari berbagai kritik.

 

Salah satu kritik berkenaan dengan niat melahirkan Perpres untuk menggantikan Keppres No.55/1993. Sejumlah kalangan sudah berteriak bahwa Keppres yang lahir di masa rezim Soeharto masih bertahta tidak layak sekedar direvisi dengan Perpres. Diusulkan agar setidaknya persoalan pengadaan tanah untuk kepentingan umum ini diatur melalui undang-undang. Dan sebenarnya memang telah disusun RUU Perolehan Tanah Untuk Pembangunan untuk menggantikan Keppres No.55/1993.

 

Belumlah RUU tersebut dibahas di DPR, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono keburu meneken Perpres Pengadaan Tanah pada 3 Mei kemarin. Kalau saja dalam pertemuan antara Badan Pertanahan Nasional dengan DPR beberapa bulan silam mempertegas perlunya RUU Pengadaan Tanah untuk menggantikan Keppres No.55/1993 yang dinilai bersifat semu dan manipulatif, mungkin Perpres No. 36/2005 tidak akan lahir

Halaman Selanjutnya:
Tags: