Alzier vs Depdagri: Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai
Fokus

Alzier vs Depdagri: Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai

Siapa menabur angin akan menuai badai. Pribahasa itu kini benar-benar menimpa Departemen Dalam Negeri. Departemen yang dikomandoi M. Ma'ruf itu berada dalam posisi dilematis setelah Mahkamah Agung memenangkan gugatan Alzier Dianis Thabrani dan Ansyori Yunus di tingkat kasasi.

Oleh:
Mys/Leo/Amr/Zae
Bacaan 2 Menit
Alzier vs Depdagri: Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai
Hukumonline

 

Dalam amar putusannya, majelis hakim agung menolak permohonan kasasi yang diajukan Mendagri. Mendagri mengajukan kasasi setelah kalah baik di tingkat pertama maupun banding. Putusan PTUN Jakarta keluar pada 13 Mei 2004. Lima bulan kemudian, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta (PTTUN) kembali memenangkan Alzier dan Ansyori.

 

Efek domino SK Mendagri

Entah kekuatan politik apa yang mendorong Mendagri (saat itu) Hari Sabarno menggagalkan Alzier Dianis Thabrani dan Ansyori Yunus dari kursi gubernur dan wakil gubernur Lampung. Padahal keduanya sudah memenangi pemilihan gubernur pada 4 Januari 2003. DPRD setempat pun sudah mengesahkan sesuai mekanisme perundang-undangan yang berlaku.

 

Kursi gubernur dan wakil gubernur yang sudah di depan mata tiba-tiba hilang. Pada hari yang sama, yakni 1 Desember 2003, Mendagri menerbitkan dua surat sekaligus. Pertama, Surat Keputusan No. 161.27-598 (selanjutnya disebut SK 598) tentang Pembatalan Keputusan DPRD Lampung yang mengangkat Alzier dan Ansyori sebagai pasangan gubernur-wakil gubernur Lampung periode 2003-2008. Kedua, Surat Mendagri No. 121.27/2989/SJ yang ditujukan kepada Ketua DPRD Lampung perihal pemilihan gubernur dan wakil gubernur Lampung (selanjutnya disebut SK 2989).

 

Kedua SK itu menjadi malapetaka bagi Alzier dan Ansyori, dan celakanya memiliki efek domino. Mereka bukan hanya dicopot dari kursi gubernur dan wakil gubernur. Alzier malah harus berhadapan dengan dua kekuatan lain sekaligus: politik dan hukum. Secara politik, kursi Ketua PDI Perjuangan Lampung yang menjadi kendaraan politik Alzier pun harus ia lepas. DPP PDI Perjuangan diketuai Megawati Soekarnoputri --yang kebetulan saat itu menjadi Presiden Republik Indonesia--mengesahkan pengurus baru setelah Alzier tergusur. Diduga, ini berkaitan dengan keinginan DPP mengajukan Oemarsono sebagai kandidat gubernur, sedangkan sebagian kader PDIP Lampung menghendaki Alzier. Alzier menantang keputusan DPP dan maju ke proses pemilihan. Intuisi politiknya terbukti, Alzier menang.

 

Secara hukum, Alzier harus menghadapi sejumlah jerat tindak pidana yang ditujukan pada dirinya. Setelah masuk daftar pencarian orang (DPO) Mabes Polri, maka pada April 2003 ia berhasil ditangkap. Proses penangkapan Alzier saat itu bak film-film mafioso, dimana proses penangkapan melibatkan banyak kekuatan. Setelah tertangkap, Alzier langsung diterbangkan polisi ke Jakarta menggunakan helikopter.

 

Alzier diseret ke meja hijau. Dosa-dosa lamanya dibongkar, mulai dari penggelapan pupuk Pusri, kasus pencurian mobil, ijazah palsu, pemerasan, penipuan hingga tuduhan penggelapan sertifikat ruko di Lokasari, Jakarta. Pengadilan menjatuhkan hukuman 10 bulan percobaan kepada Alzier atas tuduhan penipuan.   

 

Terlepas dari benar tidaknya semua tuduhan itu, mengapa terpilihnya Alzier seperti membakar jenggot banyak pihak? Mengapa keputusan definitif DPRD Lampung yang memilih Alzier dibatalkan oleh Mendagri? Mengapa kemudian Pemerintah berani bertaruh melaksanakan pemilihan ulang tanpa menunggu keputusan tetap pengadilan atas semua kasus pidana Alzier? Yang pasti, pemilihan ulang tetap dilakukan atas restu Pemerintah Pusat. Pasangan Sjachroedin ZP, seorang pensiunan perwira tinggi polisi, dan Syamsurya Ryacudu, adik kandung KSAD (kala itu) Ryamizard Ryacudu,  terpilih sebagai pemenang.

 

Walhasil, proses pemilihan gubernur Lampung yang semula tampak sederhana menjadi kusut masai. Alzier pun tidak rela hak-haknya dirampas begitu saja. Merasa pencopotan dirinya oleh Mendagri tidak memiliki alasan yang kuat, Alzier menempuh upaya hukum. Pada 5 Januari 2004, melalui kantor advokat Luhut MP Pangaribuan, ia menggugat SK Mendagri No. 598 dan No. 2989 ke PTUN Jakarta.

 

Pada 13 Mei 2004, majelis hakim PTUN Jakarta pimpinan Is Sudaryono mengeluarkan putusan yang memenangkan Alzier dan Ansyori. Majelis hakim menilai wewenang mengesahkan pasangan calon gubernur-wakil gubernur ada di tangan presiden. Kalaupun menurut PP 20 Tahun 2001 Mendagri memiliki wewenang pengawasan terhadap kebijakan Pemda, kebijakan membatalkan keputusan DPRD tetap harus atas nama presiden. Lagipula, keputusan DPRD baru bisa dibatalkan bila terbukti bertentangan dengan kepentingan umum atau perundang-undangan lainnya. Menurut majelis, tergugat Mendagri tidak bisa membuktikan hal itu.

 

Putusan itu kemudian dikuatkan oleh PTTUN Jakarta, dan terakhir oleh Mahkamah Agung pada tingkat kasasi.

 

Problem eksekusi

Putusan MA itu di satu sisi tentu saja membuat kubu Alzier senang. Alzier merasa yakin sejak awal dirinya berada di pihak yang benar. Alhamdulillah, saya memang sudah yakin sejak awal, saya ada di pihak yang benar, ujarnya kepada Media Indonesia. Ia justru meminta agar Pemerintah segera menindaklanjuti putusan MA sebagai bukti komitmen atas penegakan hukum.

 

Kuasa hukum Alzier dan Ansyori, Luhut MP Pangaribuan mengajukan permintaan serupa. Ia meminta agar Depdagri segera melaksanakan putusan MA. Yang menjadi persoalan sekarang adalah eksekusi, melaksanakan isi putusan, katanya. Luhut berharap Pemerintah mematuhi dan melaksanakan putusan MA secara sukarela, tanpa ada upaya pemaksaan yang tersedia menurut undang-undang.  

 

Luhut bukan tidak punya dasar hukum. Pengajuan peninjauan kembali (PK) tidak menghalangi eksekusi. Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung tegas menyebutkan bahwa ‘permohonan PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan'.

 

Selain itu, pasal 132 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dan diperbaharui dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang PTUN menyebut putusan kasasi sebagai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

 

Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang PTUN 2004 menyebutkan, bila tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administrasi. Ayat (5) menambahkan bahwa pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan diumumkan di media massa cetak setempat oleh panitera.

 

Depdagri memang masih menunggu salinan putusan dari MA. Toh,  bagaimanapun, kini nasi sudah menjadi bubur. Kini, tinggal menyapu badai yang dulu benihnya ditabur Depdagri sendiri. Peneliti Pusat Kajian Hukum dan Pemerintahan yang Baik Universitas Indonesia, Safri Nugraha meminta agar Pemerintah segera melaksanakan putusan TUN tersebut. Jika tidak, ini akan menjadi preseden buruk di masa depan.

 

Safri tidak menepis bahwa eksekusi putusan MA itu akan menimbulkan masalah. Betapa tidak, hingga kini Sjachroedin ZP-Syamsurya Ryacudu masih menjabat sebagai gubernur-wakil gubernur Lampung. Celakanya, tidak mungkin ada dua gubernur untuk satu provinsi. Menurut Safri, dengan adanya putusan MA tersebut pijakan hukum pengangkatan mereka menjadi lemah.

 

Luhut Pangaribuan secara tersirat sudah meminta kliennya dikembalikan ke kursi Gubernur Lampung. Tetapi mungkinkah? Luhut menawarkan solusi administratif. Mendagri mencabut kedua SK, lalu Presiden menerbitkan keputusan yang mengangkat Alzier dan Ansyori. Pada saat yang bersamaan, karena alasan darurat, Presiden menerbitkan SK yang mengangkat Alzier sebagai duta besar misalnya. 

 

Kasus ini menjadi contoh menarik betapa sulitnya mengeksekusi putusan peradilan tata usaha negara, apalagi bila menyangkut kepentingan kekuasaan. Bisakah kekuatan hukum mengalahkan kepentingan politik? Agar kasus sejenis tidak terulang, Safri Nugraha mengusulkan pentingnya hukum acara yang mengatur masalah ini. Jangan sampai kemelut semacam ini memakan waktu bertahun-tahun sehingga operasionalisasi pemerintahan menjadi amburadul.

Hingga Jum'at akhir pekan lalu, Departemen Dalam Negeri (Depdagri) masih terkesan bimbang. Belum menentukan sikap tegas menyusul tersiarnya putusan kasasi Mahkamah Agung tersebut. Jawaban Kepala Pusat Penerangan Depdagri Ujang Sudirman kepada hukumonline menguatkan kesan itu. Pedoman kami adalah ketika sudah melihat dan tahu persis amar putusannya, baru kami ambil langkah-langkah yang harus dilakukan Depdagri, ujarnya.

 

Ujang berdalih Depdagri belum menerima salinan resmi putusan Mahkamah Agung (MA). Padahal Ketua MA Prof. Bagir Manan sudah mengamini adanya putusan kasasi itu. Ya, putusan MA sudah keluar, katanya singkat. Keluarnya putusan itu pun sudah menjadi materi dialog yang disiarkan televisi. Dapat dipastikan bahwa MA telah menguatkan keputusan pembatalan dua SK Mendagri.

 

Seorang staf di Direktorat Kasasi dan PK Tata Usaha Negara MA menambahkan bahwa perkara gugatan Alzier terhadap dua surat keputusan Mendagri itu ditangani majelis hakim beranggotakan Chairani A Wani, Ahmad Sukardja dan Titi Nurmala Siagian. Putusan dibacakan pada 17 Juni lalu.

Tags: