Kesimpulan itu terungkap pada penyampaian misi dan visi Ketua MA di DPR pada 29 November 2000. Mulai pukul 13.00 Komisi II mengadakan rapat terbuka pencalonan Ketua MA di mana para calon itu menyampaikan misi dan visinya. Anggota Komisi II seperti tidak biasanya, pada rapat terbuka itu tampak memenuhi ruang sidang. Setya Novanto, anggota DPR yang mewakili daerah Timor Timur juga tampak hadir.
Calon yang mendapat giliran pertama adalah Artidjo Alkostar disusul Bagir Manan, Benjamin Mangkoedilaga, Muladi, Soeharto, Toton Soeprapto. Entah disengaja atau tidak, empat calon yang pertama adalah hakim nonkarier, sedangkan dua calon terakhir yang ditanya selepas buka puasa adalah Soeharto dan Toton yang pejabat MA.
Artidjo yang mendapatkan giliran pertama mengemukakan bahwa dia telah melakukan SWOT terhadap lembaga kehakiman (MA). Pasalnya, mantan Direktur LBH Yogyakarta ini melihat kelemahan mendasar MA adalah manajemennya, sehingga perkara menumpuk. Untuk itu, Artidjo mengusulkan agar dilakukan audit terhadap MA, bukan hanya keuangan tetapi juga produktifitas hakim.
Dengan analisisi SWOT itu, menurut Artidjo, dapat diketahui kekuatan dan kelamahan MA, peluang, dan cara-cara memperbaikinya. Dalam penyampaian misi dan visinya itu, Artidjo banyak mengutip ayat-ayat Al Quran.
Bagir yang mendapat giliran kedua lebih menyorot mutu hakim. Guru besar Fakultas Hukum Universitas Pajajaran ini mengemukakan obsesinya bahwa hakim adalah sumber dasar dan tempat menemukan hukum atau keadilan. Hakim agung ini mempunyai misi untuk mengembalikan MA sebagai tempat memperoleh keadilan.
Reformasi perilaku hakim akan mendapat prioritas pertama bagi Benjamin Mangkoedilaga yang mendapat giliran ketiga. Ia menyatakan akan berani menindak hakim yang nakal.
Namun ketika ditanya oleh Hartono Mardjono, anggota Komisi II, mengenai apakah dirinya tahu atau tidak keterbatasan Ketua MA, Benjamin menjawab pendek: "Saya belum tahu". Kemudian Hartono bertanya lagi: Lha kalau belum tahu kok melamar? Kali ini Benjamin hanya diam saja.