Open Source, IGOS, dan Penghormatan HKI
Fokus

Open Source, IGOS, dan Penghormatan HKI

Lewat IGOS pemerintah Indonesia memberi jawaban pada tantangan yang selama ini selalu dilontarkan pelanggar HKI. Namun perjalanan menuju masyarakat Indonesia yang cinta HKI program komputer masih jauh.

Oleh:
Zae
Bacaan 2 Menit
<i>Open Source</i>, IGOS, dan Penghormatan HKI
Hukumonline

 

Toh masyarakat Indonesia sampai saat ini masih gemar menggunakan barang bajakan. Alasannya klasik, dan hampir semua orang tahu. Harga lisensi software itu terlalu mahal, ujar kebanyakan masyarakat Indonesia menyebutkan alasannya menggunakan barang bajakan.

 

Fakta bahwa lisensi peranti lunak terlampau mahal bagi kebanyakan masyarakat Indonesia memang benar. Sebagai ilustrasi, untuk menjalankan komputer rakitan seharga Rp3 jutaan saja dibutuhkan dana untuk peranti lunak dasar seharga AS$248 atau sekitar Rp2,4 juta. Dengan rincian sistem operasi Windows XP Home (AS$78) dan MS Office 2003 Basic (AS$170).

 

Walau demikian, kebenaran fakta tersebut tetap tidak bisa dijadikan alasan untuk menggunakan barang bajakan. Secara normatif, adalah hak dari pencipta peranti lunak itu untuk menentukan berapa harga dan menikmati keuntungan dari ciptaannya tersebut sampai batas waktu tertentu. UU Hak Cipta menjamin perlindungan hak cipta itu selama 50 tahun.

 

Sweeping warnet

Salah satu entitas yang menjerit dengan mahalnya harga peranti lunak ini adalah Warung Internet (Warnet). Kegiatan usaha masyarakat yang sebagian besar tergolong dalam Usaha Kecil dan Menengah (UKM) ini seringkali terpaksa menggunakan barang bajakan agar bisa menetapkan harga sewa tidak terlalu mahal.

 

Namun akibatnya justru fatal. Berbekal kewenangan untuk menegakan UU Hak Cipta, aparat kepolisian melakukan sweeping terhadap warnet di beberapa daerah yang diduga menggunakan peranti lunak bajakan. Korbannya cukup banyak, sehingga sempat menjadi sorotan pemberitaan media masa nasional beberapa waktu lalu.

 

Terlepas dari adanya dugaan bahwa tindakan sweeping tersebut penuh dengan penyimpangan, pihak yang akhirnya merugi adalah warnet itu sendiri. Karena itu beberapa asosiasi pengusaha warnet bersama-sama memohon kepada pemerintah untuk sementara mengendurkan tindakan sweeping ini.

 

Di sini pemerintah menghadapi kendala. Di satu pihak, pemerintah harus menegakan hukum sebagaimana dikehendaki oleh masyarakat. Di lain pihak, merazia warnet bisa berarti menutup akses masyarakat Indonesia terhadap informasi dan perkembangan teknologi. Diakui atau tidak, warnet memang berjasa untuk membuat masyarakat melek internet sampai ke desa-desa.

 

Upaya lain yang dilakukan asosiasi adalah dengan mengadakan pendekatan pada produsen peranti lunak agar mendiskon harga produknya. Misalnya kepada Microsoft, mengingat hampir semua warnet di Indonesia menggunakan produk perusahaan itu.

 

Hasilnya buntu. Perusahaan itu menegaskan tidak akan menjual produknya kepada warnet dengan harga diskon. Ini policy kami yang berlaku worldwide, tegas Direktur Small and Mid-Market Solution & Partner Group PT Microsoft Indonesia, Megawaty Khie, kepada wartawan beberapa waktu lalu.

 

Lagi pula pengusaha warnet seharusnya menghitung peranti lunak sebagai bagian dari modal usaha, sebagaimana mereka mampu membeli perangkat kerasnya. Jika tak mau membayar lisensi, pun masih ada jalan keluar, yakni menggunakan peranti lunak alternatif dengan harga yang relatif murah.

 

IGOS

Desakan masyarakat dan kesadaran pemerintah tentang pentingnya kemandirian bangsa akhirnya mencetuskan ide "Indonesia, Go Open source" (IGOS). Tidak tanggung-tanggung, lima departemen sekaligus mendeklarasikan 'perintah' agar  masyarakat Indonesia beralih pada peranti lunak berbasis open source pada 30 Juni 2004 lalu.

 

Secara sederhana, peranti lunak berbasis open source (sumber terbuka) dibuat dari source code (code sumber) yang tersedia bebas. Siapa saja boleh memanfaatkan, mengembangkan dan mendistribusikannya lagi dengan bebas. Di antara beberapa jenis open source, yang paling sering disebut sekarang ini adalah Linux dengan beberapa versi distribusinya.

 

Meski ada desakan masyarakat di sini, pemerintah sendiri sebenarnya punya kepentingan besar pada pengembangan peranti lunak open source ini. Pasalnya, puluhan departemen yang dilengkapi dengan ribuan komputer, akan memakan biaya yang sangat besar untuk keperluan lisensi peranti lunak.

 

Seperti dituturkan oleh Deputi Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Iptek, Wendi Aritenang, pemerintah dan masyarakat Indonesia setidaknya mendapatkan keuntungan dalam tiga sektor dengan program IGOS ini.

 

Di sektor ekonomi, pemerintah bisa menghemat devisa yang selama ini dianggarkan untuk lisensi peranti lunak dan mendorong industri peranti lunak lokal.  Di sektor sosial dan pendidikan, akan meningkatkan kemampuan SDM dalam negeri. Serta di sektor keamanan, pemerintah bisa memanfaatkan peranti lunak yang relatif lebih aman.

 

Pada awal-awal jalannya program, kritikan dan cibiran berdatangan. Pasalnya selama hampir satu tahun, nyaris tak terdengar perkembangan apapun. Baru pada 12 Juli 2005, pemerintah akhirnya membuktikan bahwa mereka serius menggarap IGOS bersama stakeholder lainnya dari kalangan perguruan tinggi, asosiasi, pengembang peranti lunak lokal, dan lain-lain.

 

Program andalan dalam peluncuran tahap awal itu adalah Waroeng IGOS. Sebuah aplikasi berbasis open source lengkap, yang khusus didisain untuk memenuhi kebutuhan warung internet. Selain itu juga diluncurkan IGOS Desktop nasional, aplikasi lengkap untuk perkantoran berbasis open source.

 

PT Pasific Satelit Nusantara (PSN), bahkan meluncurkan produk open source-nya dalam tiga varian yang unik. IGOS Mandiri untuk komputer mandiri yang ingin bermigrasi, IGOS laba-laba untuk sistem jaringan thin client, dan IGOS Kwartet untuk memfungsikan satu komputer dengan empat pengguna sekaligus.

 

Satu hal yang ditekankan Menteri Riset dan Teknologi, Kusmayanto Kadiman, bahwa peluncuran produk ini tidak dimaksudkan untuk mengeliminasi penggunaan produk berlisensi. Pemerintah hanya memberi pilihan kepada masyarakat, jelasnya.

 

Dengan demikian, terserah kepada para pengguna apakah akan menggunakan peranti lunak berlisensi atau menggunakan peranti lunak berbasis open source dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

 

Penghormatan HKI

Dengan diluncurkannya produk-produk tersebut, pemerintah dan komunitas internet seperti memberi jawaban atas alasan klasik yang selama ini dikemukakan para pengguna peranti lunak bajakan. Masyarakat bisa menggunakan komputer, tanpa harus melanggar HKI pihak lain.

 

Mereka yang menyambut gembira peluncuran produk ini termasuk komunitas warnet. Tak ada alasan lagi bagi warnet untuk menggunakan produk bajakan, tegas Judith MS, Ketua Asosiasi Warnet Indonesia (AWARI) yang mewadahi ribuan warnet di seluruh Indonesia.

 

Judith mengatakan bahwa sweeping oleh aparat membuat komunitas warnet tahu pentingnya menghormati HKI. Selama ini AWARI bukannya menentang sweeping sama sekali, namun menolak jika tindakan itu dilakukan dengan prosedur yang tidak benar.

 

Namun membuat agar masyarakat Indonesia mencintai HKI program komputer kemungkinan besar merupakan persoalan lain. Betapa tidak, menggunakan produk open source bagi sebagian besar masyarakat ternyata tidak segampang membalikkan telapak tangan.

 

Pertama, pengguna 'terpaksa' harus mempelajari aplikasi komputer baru. Mereka yang sudah terbiasa dengan Windows misalnya, kerap enggan melakukan ini. Kedua, dukungan teknis --paling tidak sekedar tempat bertanya-- juga masih relatif sukar didapat.

 

Ketiga, tidak ada insentif yang bisa langsung dirasakan masyarakat umum ataupun ancaman kongkrit jika terus menggunakan produk bajakan. Bisa dikatakan demikian, karena belum pernah (mungkin tak akan pernah) ada kabar bahwa aparat akan melakukan razia dari rumah ke rumah.

 

Padahal ancamannya dalam undang-undang cukup berat. Pasal 72 ayat (3) UU Hak Cipta menyatakan bahwa barang siapa dengan sengaja tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana paling lama 5 tahun penjara dan atau denda Rp500 juta rupiah. Kata-kata 'untuk kepentingan komersial' juga bisa digunakan sebagai dalih oleh masyarakat umum.

 

Tinggal kini tanggapan dari masyarakat sendiri, apakah akan mulai menghormati HKI, atau tetap bersikap masa bodoh menggunakan barang bajakan. Menristek Kusmayanto tegas menekankan hal ini.

 

"Persoalannya kembali ke kita, apakah kita mau berkreasi dan mengembangkan diri atau sekedar menjadi pengguna yang mesti selalu membayar lisensi atas perangkat lunak yang kita pakai," ujarnya.

 

Pemerintah juga perlu melanjutkan program sosialisasi tentang pentingnya HKI program komputer. Untuk hal ini, jika pemerintah tidak mampu sendiri, pemerintah bisa bekerja sama dengan komunitas pengguna komputer yang tersebar hingga ke pelosok-pelosok daerah.

 

Hal lain yang juga tidak boleh surut adalah penegakan hukum. Komunitas warnet yang kerap menjadi 'korban sweeping' sendiri, sebenarnya mendukung sweeping jika dilakukan dengan prosedur yang benar. Apalagi sekarang kebanyakan sudah beralih pada produk legal, baik dengan membeli lisensi atau menggunakan open source.

 

Setelah semua ini dilakukan, mungkin Indonesia masih akan tercantum sebagai salah satu negara pembajak tertinggi dalam beberapa tahun ke depan. Namun setidaknya masyarakat Indonesia sudah mulai langkah penting untuk melakukan penghormatan terhadap HKI dan berharap manfaatnya bisa dirasakan kemudian.

Predikat memalukan sebagai salah satu negara terbesar dalam jumlah pembajakan sudah beberapa tahun ini mampir di pundak bangsa Indonesia. Khususnya pembajakan software (peranti lunak) yang angkanya dari tahun ke tahun hanya bergeser 1 persen saja.

 

Data dari Microsoft Indonesia, perwakilan produsen peranti lunak terbesar di dunia, menyebutkan bahwa tingkat pembajakan di Indonesia pada tahun ini adalah 88 persen. Artinya, 8,8 dari 10 komputer di Indonesia masih dijalankan dengan menggunakan peranti lunak bajakan.

 

Sepintas angka tersebut cukup mengejutkan. Pasalnya pemerintah sudah sejak dulu memiliki sejumlah undang-undang yang melarang rakyatnya melakukan pembajakan karya cipta. Terakhir, dengan terbitnya UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yang secara tegas memasukan program komputer sebagai salah satu karya cipta yang mendapat perlindungan.

Tags: