Mengirimkan Menteri Kehakiman ke Penjara, Siapa Takut?
Resensi

Mengirimkan Menteri Kehakiman ke Penjara, Siapa Takut?

Selain sebagai seorang Jaksa Agung, Soeprapto tercatat pernah menjadi hakim yang bersikap tegas. Dialah yang menjatuhkan vonis mati terhadap Kutil, terpidana penerima vonis mati pertama dalam sejarah hukum Indonesia pasca kemerdekaan.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Mengirimkan Menteri Kehakiman ke Penjara, Siapa Takut?
Hukumonline

 

Upaya menyeret Menteri Kehakiman Mr Djodi Gondokusumo ke meja hijau dan kemudian ke dalam penjara tidak lepas dari keberanian Soeprapto, Jaksa Agung kala itu. Selain menyeret Mr Djodi, Jaksa Agung Soeprapto juga mendakwa Sultan Hamid II, Menteri Negara era Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan tuduhan ikut bersekongkol dengan Westerling, merencanakan pembunuhan anggota kabinet. Mahkamah Agung akhirnya memvonis Sultan Hamid Algadrie II selama 10 tahun penjara.

 

Tindakan menyeret dua pejabat negara ke kursi terdakwa itu hanya sebagian dari kisah keberanian Jaksa Agung Soeprapto yang terekam dalam buku Mengadili Menteri Memeriksa Perwira: Jaksa Agung Soeprapto dan Penegakan Hukum di Indonesia Periode 1950-1959. Buku tulisan Iip D. Yahya ini menjadi bahan informasi penting mengenai penegakan hukum pada dekade awal pasca kemerdekaan.

 

Soeprapto, seperti diuraikan dalam beberapa bagian buku ini, adalah sosok penting dalam mengorganisir kejaksaan, mulai dari tata kerja hingga penempatan jaksa-jaksa ke luar Jawa. Keberaniannya dianggap mampu mengangkat citra penegakan hukum, sebelum akhirnya memasuki masa kebobrokan. Soeprapto ibarat lilin dalam kegelapan hukum.

 

Namun, sikap tegas Soeprapto tidak timbul begitu saja hanya karena dilantik menjadi Jaksa Agung. Semasa masih menjadi Ketua (tihoo hooin) PN Pekalongan pada era Jepang, Soeprato sudah menjatuhkan vonis mati kepada pelaku pembunuhan dan perampokan. Bahkan Soeprapto pula yang menjatuhkan vonis mati terhadap Kutil, jagoan lokal di Talang Jawa Tengah, pada 21 Oktober 1946. Belakangan tercatat bahwa Kutil adalah sebagai penerima vonis mati pertama di pengadilan Indonesia sejak kemerdekaan. 

 

Meskipun buku ini tidak dimaksudkan menghadirkan kisah heroik, jejak rekam Soeprapto tidak lepas dari keberaniannya bertindak dalam kerangka penegakan hukum. Setidaknya, penulis menyajikan lima contoh keberanian tindakan Jaksa Agung. Selain pengadilan terhadap Sultan Hamid II dan Mr Djodi Gondokusumo, langkah berani Soeprato terlihat dalam kasus penyerbuan kantor harian De Vrije Pres Surabaya (hal. 159), penerapan asas oportunitas terhadap wartawan Asa Bafaqif (hal. 170), dan pemeriksaan para perwira yang dianggap terlibat peristiwa 17 Oktober 1952 (hal. 179).

 

Selain kelima kasus tadi, buku ini juga menyajikan perkara lain yang tidak kalah menariknya dalam konteks sepak terjang Soeprapto selama memimpin korps adhyaksa 1950-1959.

 

Keberanian memeriksa sejumlah perwira militer tadi justru menepis anggapan bahwa Soeprapto diangkat menjadi Jaksa Agung karena didukung tentara. Besar kemungkinan, penunjukkan namanya karena peran Mr Wongsonegoro, teman sekolahnya di rechsschool yang kebetulan menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Kala itu, Jaksa Agung memang menjadi subordinasi Menteri Kehakiman. Bisa juga karena  Presiden Soekarno menginginkan seorang figur jaksa agung yang berani dan keras kepala (hal. 227).

 

Meskipun diangkat presiden dan secara organisatoris berada di bawah bayang-bayang menteri kehakiman, Soeprapto telah menunjukkan independensinya sebagai seorang penuntut umum. Ia menolak intervensi Pemerintah. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Trisakti Prof. Andi Hamzah menuturkan jika Presiden atau Perdana Menteri meminta untuk memeriksa seseorang, Jaksa Agung Soeprapto bisa jadi akan menolaknya. Itulah yang dilakukan Soeprapto ketika PM Ali Sastroamidjojo meminta dirinya melepaskan seorang pejabat menteri luar negeri. Saya berada di bidang judicial service, bukan civil service, begitu kata Soeprapto, sebagaimana dituturkan Andi Hamzah pada bagian sampul belakang buku ini.

 

Langkah Soeprapto menegakkan supremasi hukum hingga ke pusat kekuasaan rupanya tidak berjalan mulus. Pada 1 April 1959 ia diberhentikan dari jabatannya antara lain karena tersandung kasus pembebasan Mr Schmidt. Soeprapto dianggap bertanggung jawab atas pemulangan bekas kapten KNIL itu ke negara asalnya Belanda. Padahal saat itu Pengadilan Tinggi Jakarta sudah menjatuhkan hukuman lima tahun penjara.

 

Jabatan Jaksa Agung menjadi incaran partai politik. Soeprapto digantikan Gatot Tarunamihardja. Itu pun hanya bertahan enam bulan. Penggantinya, Gunawan, justeru berasal dari partainya Djodi Gondokusumo, Menteri Kehakiman yang pernah diseret Soeprapto ke meja hijau.

Bagaimanapun, kehadiran buku ini memperkaya informasi di tengah minimnya pustaka mengenai sejarah kejaksaan. Selama ini sudah ada beberapa jaksa agung yang memoarnya keluar dalam jumlah terbatas seperti Andi M Ghalib dan Singgih. Sayang, buku-buku semacam itu sangat jarang ditemukan di toko buku. Beda halnya dengan buku Mengadili ini..

 

Seperti diakui sendiri oleh penulis, banyak hal belum tertuang dalam buku ini. Ada keterbatasan yang tidak memungkinkan penulis menyajikan secara utuh sejarah kejaksaan pada dekade awal kemerdekaan, khususnya masa Soeprapto. Penulis agaknya masih bisa memperkaya informasi materi buku ini.

 

Pertama, dengan mewawancarai mantan jaksa yang masih hidup. A. Baramuli misalnya. Namanya beberapa kali disebut dalam buku ini sebagai jaksa muda semasa Soeprapto. Toh, namanya tidak tercantum sebagai bekas jaksa yang diwawancarai. Atau hanya sekedar kelalaian?

 

Kedua, memperkaya literatur. Penulis masih mengandalkan bahan-bahan tertulis dari kantor berita Antara. Tidak ada kejelasan apakah penulis sudah mempergunakan koleksi Perpustakaan Kejaksaan Agung atau belum. Siapa tahu bisa menemukan buku Lima Windu Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia, dan mendapatkan informasi tambahan di sana.  

 

Toh, karya Iip D Yahya ini patut diacungi jempol. Siapa tahu caranya menampilkan sosok Jaksa Agung Soeprapto bisa menjadi inspirasi bagi seluruh korps adhyaksa di hari ulang tahunnya yang ke-45 tahun ini. Semoga….

 

Judul buku: Mengadili Menteri Memeriksa Perwira: Jaksa Agung Soeprapto dan Penegakan Hukum di Indonesia Periode 1950-1959

Penulis: Iip D. Yahya

Kata Pengantar: Prof. DR. Priyatna Abdurrasyid

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2004

Halaman: 371 +  xxxiv

 

 

Dugaan keterlibatan seorang menteri Kabinet Indonesia Bersatu dalam kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum sayup-sayup hilang begitu sang menteri membantah. Padahal dari penjelasan saksi, sang menteri ikut kecipratan dana taktis saat bertugas di lembaga penyelenggara pemilu itu.

 

Kasus menteri menerima uang panas memang bukan hanya cerita masa kini. Kasus yang menimpa anggota Kabinet Indonesia Bersatu itu justru bisa menjadi bahan perbandingan dengan masa lalu. Sehingga mendorong orang untuk membuka lembar demi lembar sejarah penegakan hukum di Indonesia, termasuk yang tertulis di otobiografi, biografi atau memoar.

 

Tersebutlah dalam sejarah, Mr Djodi Gondokusumo, yang harus mendekam di dalam penjara. Menteri Kehakiman era Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo tersandung kasus suap. Ia dituduh menerima uang Rp40.000 dari Bong Kim Tjhong. Tepat pada 2 Januari 1956, hakim menjatuhkan vonis satu tahun potong masa tahanan kepada Mr Djodi. Beruntung, Presiden Soekarno memberi grasi sehingga sang menteri cukup menjalani satu bulan masa tahanan di LP Cipinang.

Tags: