Ketua majelis hakim kasus Bank Aspac, M. Ritonga, menyatakan bahwa eksepsi terdakwa Hendrawan Haryono ditolak atau tidak dapat diterima. Pasalnya, eksepsi atau keberatan tersebut telah masuk menilai materi atau pokok perkara surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
"Materi eksepsi terdakwa juga tidak sesuai dengan Pasal 156 ayat (1) KUHAP," ujar M. Ritonga saat memimpin sidang lanjutan kasus Bank Aspac di PN Jakarta Selatan, Kamis (30/11). Kasus Bank Aspac ini adalah salah satu kasus yang tengah diproses berkaitan dengan penyelewengan dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).
Dalam pertimbangannya, M. Ritonga mengatakan bahwa alasan keberatan atau eksepsi penasehat hukum terdakwa bukan merupakan alasan-alasan eksepsi yang tertuang dalam Pasal 156 Ayat (1) KUHAP. Menurut Pasal 156 ayat (1) KUHAP yang merupakan alasan dari eksepsi adalah pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan.
Menurut M. Ritonga, alasan-alasan yang diajukan terdakwa dan tidak termasuk dalam alasan eksepsi yaitu alasan yang menyatakan bahwa JPU telah keliru menerapkan hukum pada surat dakwaannya. Dalam eksepsinya terdakwa menyatakan bahwa perbuatan terdakwa adalah perbuatan perdata bukan pidana.
Alasan lain yang menurut Ritonga bukan alasan eksepsi yaitu alasan terdakwa yang menyatakan bahwa penerapan UU No. 3 Tahun 71 tidak tepat. Alasannya, UU tersebut bersifat umum. Menurut terdakwa yang diwakili penasehat hukumnya, UU yang tepat diterapkan adalah UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan karena lebih khusus (lex specialis).
Harus dibuktikan
Dalam putusan selanya, M. Ritonga menyatakan bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, eksepsi penasehat hukum tersebut haruslah merupakan alasan yang harus dibuktikan di dalam materi pokok perkara.
"Sehingga penilaian terhadap pernyataan apakah perbuatan terdakwa diatur dalam UU No. 3 Tahun 1971 atau dengan UU No. 7 Tahun 1992, haruslah dibuktikan di dalam materi atau pokok perkara," jelas Ritonga menerangkan alasannya.