Probono Untuk Selebritis Tak Sesuai dengan Prinsip Bantuan Hukum
Utama

Probono Untuk Selebritis Tak Sesuai dengan Prinsip Bantuan Hukum

‘Secara kasat mata, dipertanyakan keluhurannya. Kenapa bukan untuk orang yang miskin?'

Oleh:
CR-2
Bacaan 2 Menit
<i>Probono</i> Untuk Selebritis Tak Sesuai dengan Prinsip Bantuan Hukum
Hukumonline

 

Senada dengan Frans, Sumali, dari Biro Bantuan Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur, menegaskan penerima bantuan hukum probono adalah orang yang secara finansial tidak mampu. Tapi persoalannya, lanjut dia, saat ini di Indonesia belum ada ukuran orang yang bisa dikategorikan miskin.

 

Sumali mencontohkan di Malaysia ukuran orang miskin yang bisa mendapatkan probono yaitu orang dengan penghasilan di bawah 3000 ringgit, atau misalnya orang yang memiliki kendaraan keluaran tahun 1990. Dengan demikian, lanjut dia, tidak akan terjadi distorsi.

 

Di Indonesia kan tidak ada ketentuan itu. Yang penting dapat surat keterangan dari kelurahan bahwa dia miskin, itu dikategorikan miskin. Jadi seringnya, ada orang mampu lalu pura-pura tidak mampu dan mereka tidak malu, kata Sumali.

 

Lebih jauh, Sumali menceritakan pengalaman lainnya, saat mewakili klien yang punya surat miskin dari kelurahan. Namun, saat maju ke pengadilan surat itu ditolak dengan alasan itu adalah kasus perdata. Hal ini karena adanya asumsi jika masalah perdata dibawa ke pengadilan maka orang yang mengajukan pasti punya uang. Padahal di mata Sumali, peluang mendapat uang itu masih potensial jika kasus dimenangkan.

 

Mengenai adanya pengacara yang memberikan bantuan hukum probono kepada selebritis, Sumali kembali pada prinsip dalam Pasal 17 KUH Perdata yang menyatakan pemberian kuasa pada dasarnya bebas biaya. Tapi jika ada kesepakatan antara dua pihak maka bisa ditentukan lain dan boleh ditarik bayaran.

 

Secara normatif, probono ke artis itu sah-sah saja. Yang jadi persoalan, kenapa artis dapat probono? Tentu ada kepentingan di balik itu. Kita tidak tahu persis. Secara kasat mata, dipertanyakan keluhurannya. Kenapa bukan orang yang miskin? tandas Sumali.

 

Sumali menilai pelaksanaan bantuan hukum probono saat ini masih jauh dari memuaskan. Menurut dia, meskipun ada kebijakan bantuan melalui Departemen Hukum dan HAM, tapi kenyataannya tidak pernah jelas diketahui penyalurannya.

 

Untuk masa depan, perlu ada UU tentang bantuan hukum dan political will dari pemerintah. Selain itu, APBN harus mengalokasikan dana untuk bantuan hukum probono, kata Sumali.

 

Seharusnya subur

Frans menilai pelaksanaan bantuan hukum probono di Indonesia belum memuaskan. Menurut dia, hal ini karena konsep bantuan hukum dari Barat sehingga Indonesia belum tentu bisa menerima. Selain itu, lanjut dia, belum ada sosialisasi nasional mengenai bantuan hukum dan kenapa hal itu diperlukan.

 

"Misalnya pengusaha diminta kesediaan untuk mendanai (LBH) ini, mereka tidak mau. Di masa lalu, LBH ini dianggap sebagai oponen polisi, oponen politik sehingga untuk membantu gerakan bantuan hukum ini tidak mau, padahal ini tanggungan negara dan masyarakat. Di APBN juga belum lihat untuk bantuan hukum, kalaupun ada dulu sangat tipis," ujar Frans.

 

Dengan jumlah rakyat Indonesia di bawah kemiskinan sebesar 40 juta, bantuan hukum ini sangat perlu. Frans mengaku heran kenapa bantuan hukum probono tidak tumbuh dengan sehat. Padahal, lanjut dia, dalam budaya Indonesia sudah ada zakat, sedekah dan sebagainya.

 

"Seharusnya ini subur, tapi belum ada diseminasi sosialisasi fungsi advokat mengenai kenapa ini perlu. Kenapa ini tidak subur? Saya belum tahu, sedang meneliti," kata dia.

 

Saat ini sudah ada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang bantuan hukum cuma-cuma. Namun RPP tersebut masih berada di Departemen Hukum dan HAM. RPP tersebut antara lain menyebutkan bahwa advokat wajib memberikan bantuan hukum probono pada klien yang tidak mampu dan bahwa klien tersebut wajib melampirkan surat keterangan tidak mampu yang dikeluarkan pejabat yang berwenang.

 

RPP tersebut juga mewajibkan klien memberikan imbalan prosentase jika klien tersebut menang perkara perdata dan menjadi orang yang mampu. Imbalan tersebut harus diperjanjikan secara tertulis antara klien dan advokat.

Bantuan hukum cuma-cuma (probono) sudah pasti hanya diberikan untuk orang miskin. Dalam Pasal 22 ayat 1 UU No.18/2003 disebutkan advokat wajib memberikan bantuan hukum probono kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Oleh karena itu, probono jelas tidak boleh diberikan pada orang kaya. Hal ini ditegaskan advokat Frans Hendra Winarta saat ditemui hukumonline seusai acara Komisi Hukum Nasional di Jakarta, Rabu (3/8).

 

Frans menjelaskan definisi miskin untuk bisa diberikan bantuan hukum probono bisa macam-macam, misalnya miskin ekonomi, hak politik, atau hak sosial. Ia mencontohkan LBH dulu membela Darsono yang menjadi tahanan politik karena dia ‘miskin' secara politik dan termarjinalkan.

 

Menanggapi bantuan hukum probono yang marak diberikan kepada selebritis, Frans menyatakan bantuan tersebut tidak sesuai dengan makna atau maksud bantuan hukum itu. Sebab bantuan hukum adalah terjemahan dari probono publico yang dilakukan suatu organisasi.

 

Sebetulnya kenapa dia harus gratis kalau dia bisa bayar? Kalau dia beri probono itu tidak proporsional. Kalau dia umumkan beri probono agak dipertanyakan fungsinya, (karena) advokat berhak tarik fee," jelas Frans.

Tags: