Surat Kuasa, Kerikil dalam Penggabungan Perkara
Fokus

Surat Kuasa, Kerikil dalam Penggabungan Perkara

Jika ada beberapa perkara sejenis yang masuk, hakim berwenang menggabungkan pemeriksaannya. Penggabungan itu sudah lazim diterapkan pada sidang-sidang Mahkamah Konstitusi.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Surat Kuasa, Kerikil dalam Penggabungan Perkara
Hukumonline

 

Di sinilah masalah surat kuasa mulai muncul. Ikatan Notaris Indonesia (INI) selaku pihak terkait memberikan kuasa kepada kantor pengacara Zoelva & Januardi. Surat kuasa pertama diberikan pada 5 April 2005, dan surat kuasa kedua diberikan pada 27 Juni 2005. Kedua surat kuasa yang ditandatangani langsung pengurus INI itu bersifat khusus, yakni mewakili klien untuk mengurus perkara nomor 009.

 

Pada 18 Juli 2005, Zoelva & Januardi menyampaikan berkas kesimpulan ke Mahkamah Konstitusi untuk perkara nomor 009 dan 014 sekaligus. Pada hari yang sama, kepaniteraan Mahkamah Konstitusi mencatat hal serupa: kesimpulan Zoelva & Januardi adalah untuk perkara 009 dan 014.

 

Ukon Krisnajaya, pemohon perkara 014 protes. Menurut dia, Zoelva & Januardi tidak berhak mengajukan kesimpulan atau tanggapan untuk perkara 014, karena surat kuasa INI secara khusus hanya menyebut perkara 009. Tanpa ada surat kuasa, tanggapan kantor pengacara itu dianggap cacat hukum.

 

Sekretaris Umum INI H. Rakhmat Syamsul Rizal menganggap komplain pihak tertentu terhadap pemberian kuasa kepada Zoelva & Januardi terlalu mengada-ada. Pertama, seingat dia, INI sudah memberi kuasa untuk mengurus semua kepentingan INI menyangkut judicial review UUJN, tidak terbatas pada perkara 009. Kedua, ide penggabungan pemeriksaan kedua perkara itu bukan berasal dari INI, melainkan penetapan Mahkamah Konstitusi. Kalau mau komplain, kata Rakhmat, silahkan ke Mahkamah Konstitusi.

 

Hamdan Zoelva, salah seorang pengacara INI, berpendapat bahwa tidak perlu ada surat kuasa baru terkait dengan penggabungan kedua permohonan pengujian UUJN.  Tidak perlu karena materinya sama, kata mantan Wakil Ketua Komisi II DPR itu.

 

Sebaliknya, Ukon Krisnajaya menganggap surat kuasa khusus perkara 009 itu tidak otomatis berlaku untuk menangani perkara 014. Namanya saja surat kuasa khusus, ya spesifik hanya untuk perkara yang disebut dalam surat kuasa.

 

Firmansyah Arifin, Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) melihat persoalan ini selesai jika INI sepakat memberi surat kuasa baru kepada Zoelva & Januardi. Surat kuasa khusus tidak otomatis berlaku atas beberapa perkara ketika perkara-perkara tersebut digabung pemeriksaannya. Seyogianya, pengacara para pihak mendapatkan surat kuasa yang jelas dan terperinci ruang lingkup kuasanya.

 

Ironisnya, masalah kecil ini seperti terlewatkan Mahkamah Konstitusi. Peraturan Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang tak menyinggung sama sekali keabsahan surat kuasa untuk penggabungan pemeriksaan perkara. Berdasarkan pasal 11 angka (6) PMK tadi, hakim panel dapat mengusulkan penggabungan pemeriksaan beberapa perkara dalam hal: memiliki kesamaan pokok permohonan, memiliki keterkaitan materi permohonan, atau pertimbangan atas permintaan pemohon. Pasal ini dan pasal-pasal mengenai tugas Panitera memeriksa ‘kelengkapan administrasi' tidak menyinggung surat kuasa.

 

Buku Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia karangan Maruarar Siahaan, yang disebut-sebut sebagai ‘buku pintar' persidangan MK, pun tak menyinggung surat kuasa. Namun Maruarar menyinggung tentang hak para pihak untuk didengar keterangannya secara seimbang (audi et alteram partem). Pada bagian ini, Maruarar menyinggung kewajiban MK untuk mempertimbangkan keterangan para pihak yang mengandung nilai yuridis. Dalam bukunya, Maruarar menulis: Dalam proses perkara, pihak terkait yang tidak secara langsung ikut keterangannya akan dinilai Mahkamah sebagai ad informandum.

 

Pasal 43 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan Dalam pemeriksaan persidangan, pemohon dan/atau termohon dapat didampingi atau diwakili oleh kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus untuk itu.

 

Bila suatu hukum acara belum diatur UU Mahkamah Konstitusi atau PMK, maka para pihak bisa merujuk pada hukum acara perdata, acara pidana dan tata usaha negara. Dalam konteks ini, Mahkamah Agung sudah pernah mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) Nomor 6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus.

 

Berdasarkan SEMA ini, surat kuasa harus bersifat khusus dan mencantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Misalnya (i) dalam perkara perdata harus dengan jelas disebut antara A sebagai penggugat dan B sebagai Tergugat; (ii) dalam perkara pidana harus dengan jelas menyebut pasal-pasal yang didakwakan kepada terdakwa.

 

Apabila dalam surat kuasa khusus tadi telah disebutkan bahwa kuasa itu mencakup pula pemeriksaan dalam tingkat banding dan kasasi, maka surat kuasa khusus tadi tetap sah berlaku hingga pemeriksaan dalam kasasi, tanpa diperlukan surat kuasa khusus yang baru.

 

Penggabungan pemeriksaan perkara VLCC Pertamina di Pengadilan Jakarta Pusat mungkin bisa dijadikan contoh. Saat penggabungan itu diperiksa majelis, KPPU mempersoalkan surat kuasa dari para pemohon keberatan semisal Frontline dan Equinox. Penggabungan beberapa perkara menjadi satu pemeriksaan menyebabkan perubahan nomor registrasi.

 

Namun dalam pandangan majelis pimpinan Cicut Sutiarso keberatan KKPU terhadap surat kuasa tidak berdasar. Meskipun nomor perkara lain, secara material perkaranya adalah sama dengan perkara-perkara sebelum penggabungan. Lagipula, penggabungan itu adalah inisiatif pengadilan, bukan datang dari para pihak yang berperkara.

 

Dalam kasus judicial review UUJN pun, inisiatif datang dari Mahkamah Konstitusi. Meskipun demikian, masalah ini tetap menimbulkan pertanyaan dan konsekwensi hukum. Bagaimana misalnya kalau kuasa hukum INI melakukan tindakan hukum tertentu pada perkara 014 dimana dia (diduga) belum mendapatkan surat kuasa khusus? Apakah MK tetap menerima meskipun menjadikan Kesimpulan yang diajukan Hamdan bukan sebagai keterangan yang bernilai yuridis? Atau, hanya sekedar ad informandum?

 

Untuk membuat masalah ‘kecil' ini jelas, Mahkamah Konstitusi tampaknya harus membuat panduan. Kalaupun keberatan pemohon perkara 014 belum disampaikan secara tertulis, hal-hal ‘kecil' menyangkut kepastian hukum semacam surat kuasa patut mendapat perhatian MK ke depan.

Selama ini nyaris tidak ada persoalan krusial saat beberapa perkara judicial review digabung pemeriksaannya. Misalnya, saat Mahkamah Konstitusi menggelar proses persidangan atas lima perkara pengujian Undang-Undang Sumber Daya Air (UU SDA) sekaligus.

 

Namun belakangan, muncul satu persoalan yang bagi sebagian orang mungkin terkesan sepele: surat kuasa. Masalah surat kuasa terungkap dalam perbincangan hukumonline dengan pemohon perkara nomor 014/PUU-III/2005, yakni judicial review Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN). Pemohon perkara ini adalah beberapa orang notaris (Hady Evianto dkk).

 

Selain dari Hady dkk, sebelumnya Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan dari pengurus Himpunan Notaris Indonesia (HNI) dan Persatuan Notaris Reformasi Indonesia (Pernori). Perkara ini diregister di bawah nomor 009/PUU-III/2005. Berhubungan materi permohonannya terkait, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menggabungkan pemeriksaan kedua perkara tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags: