Force Majeur Jangan Dijadikan Aji Mumpung
Utama

Force Majeur Jangan Dijadikan Aji Mumpung

Adanya force majeur tidak membebaskan salah satu pihak untuk menghindar dari biaya-biaya yang timbul sebelum terjadinya kejadian tersebut.

Oleh:
Bim
Bacaan 2 Menit
<i>Force Majeur</i> Jangan Dijadikan Aji Mumpung
Hukumonline

 

Sebaliknya, apabila kontraktor sudah diberitahu akan ada larangan melaksanakan proyek, tapi malah membeli bahan-bahan pembangunan proyek dengan harapan dapat mengajukan tagihan, di mata Fred hal ini juga bertentangan dengan prinsip itikad baik.

 

Senada dengan Fred, Prof Jan Van Dune dari Erasmus Universiteit Rotterdam, menilai perlunya diberlakukan distribusi resiko. Itulah sebabnya, baik di common law ataupun civil law, klausula menyangkut risiko dalam suatu kontrak harus diperhatikan dengan baik. Seperti misalnya, pihak penanggung suatu asuransi dalam kontrak, tandasnya.        

 

Mengalihkan resiko

Bicara tentang force majeur, advokat dari kantor hukum Dermawan & Co, Didi Dermawan, lebih menyoroti tentang kemungkinan terjadinya pengalihan risiko akibat force majeur. Dia mencontohkan konflik yang terjadi dalam kasus Karaha Bodas Company (KBC).

 

Ketika itu, KBC berpendapat kegagalan proyek panas Bumi dengan Pertamina menimbulkan kerugian. Sehingga, perkara ini kemudian dibawa ke arbitrase. Dalam putusannya majelis arbitrase memenangkan KBC dan menghukum Pertamina untuk membayar ganti kerugian sebesar AS$294 juta.

 

Jadi kalau kontraktor tidak bisa melaksanakan kewajibannya, karena Keppres yang dikeluarkan saat itu. Itu kan jadi excuse bagi dia untuk tidak menyalurkan listrik ke PLN. Tapi apakah kemudian resikonya beralih ke PLN atau Pertamina, tukasnya.

 

Didi yang menjadi saksi ahli dalam perkara tersebut melihat, kerugian yang dituntut KBC bukan hanya sebatas biaya yang dikeluarkan KBC. Sebab menurutnya, biaya yang telah dikeluarkan jumlahnya tidak besar, mengingat proyeknya belum jalan. Justru yang dituntut, adalah loss of profit (keuntungan yang hilang,red).

 

Padahal, itu kan sesuatu yang mungkin dia dapat, tetapi belum tentu dia dapat. Mengenai kewajiban Pertamina kepada KBC perlu dilihat dulu bentuk ganti ruginya. Apakah itu loss akibat uang yang dia tanamkan atau loss of profit, cetusnya.

 

Sedangkan Fred berpendapat, loss of profit harus ditimbang berdasarkan hal dan kondisi yang terjadi. Kata dia, ada kewajiban yang mutlak pada kedua belah pihak beritikad baik, untuk mengupayakan pengurangan jumlah kerugian, baik untuk pemilik proyek dan juga kontraktor. Itulah makna itikad baik sebenarnya dari Pasal 1338 ke 3 KUH Perdata, demikian Fred.

Menurut praktisi hukum Fred BG Tumbuan, dikeluarkannya peraturan perundang-undangan baru, yang berakibat pada tidak dapat dilaksanakannya suatu kontrak, merupakan salah satu contoh force majeur. Bahkan, alasan force majeur ini dapat dijadikan dasar untuk membatalkan kewajiban suatu pihak tertentu dalam kontrak.

 

Namun yang pasti, adanya force majeur ini tidak dapat membebaskan salah satu pihak, dalam hal ini pemberi pekerjaan atau pemilik proyek, untuk menghindar dari biaya-biaya yang timbul sebelum terjadinya force majeur. Jangan force majeur ini dijadikan aji mumpung, ujar Fred dalam seminar National and International Dispute Settlement, di Jakarta (18/8).

 

Fred mengatakan, seorang penerima pekerjaan, semisal kontraktor, berhak menuntut pengembalian biaya atas pekerjaan yang telah dilakukannya, sebelum timbul force majeur.

 

Lebih jauh dikatakan partner dari kantor hukum Tumbuan Pane ini, secara prinsip, apabila para pihak tidak tahu akan adanya peraturan baru tersebut--padahal bahan-bahan tertentu sudah dibeli yang tidak mungkin digunakan untuk proyek lain-- sepantasnya hal ini dinegosiasikan kembali dengan pemberi pekerjaan.

 

Tujuannya, lanjut Fred, agar kerugian yang diderita tidak memberatkan, apalagi merugikan pihak kontraktor. Maka dari itulah, pemberi pekerjaan pun harus menyikapinya dengan itikad baik.

Tags: