Korupsi BLBI dan Persidangan In Absentia
Emerson Yuntho(*)

Korupsi BLBI dan Persidangan In Absentia

Belum lama ini Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Hendarman Supandji mengatakan, Kejaksaan Agung akan mengajukan sidang tanpa kehadiran terdakwa (in absentia) kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

Bacaan 2 Menit
Korupsi BLBI dan Persidangan In Absentia
Hukumonline

 

Tiga tersangka dibebaskan oleh pengadilan. Dari 13 tersangka yang telah divonis penjara oleh hakim (baik di tingkat pertama, banding atau kasasi), hanya Hendrawan Haryono--terpidana kasus korupsi BLBI Aspac–-yang berhasil dijebloskan ke penjara.  Dua terdakwa lainnya  tidak langsung masuk ke bui dan yang paling buruk adalah 9 orang terdakwa telah melarikan diri sebelum vonis hakim dijatuhkan.

 

Buruknya penanganan kasus BLBI diperparah dengan kebijakan Jaksa Agung (saat masih dijabat oleh MA Rachman) yang menghentikan proses penyidikan (SP3) terhadap 10 tersangka korupsi BLBI pada tahun 2004. Alasan Kejaksaan menghentikan penyidkan karena para tersangka telah mendapat Surat Keterangan Lunas (SKL) dari badan Penyehatan Perbankan Nasioanal (BPPN).

 

Berdasarkan Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge, debitor yang dianggap kooperatif dengan memenuhi kewajiban atau utangnya kepada BPPN harus mendapatkan pembebasan dari segala tuntutan hukum. 

 

Padahal Inpres No. 8 Tahun 2002 yang menjadi dasar bagi Kejaksaan dalam mengeluarkan SP3 bertentangan dengan sejumlah aturan hukum. Misalnya,   UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal 4 UU No. 31 Tahun 1999 secara tegas menyebutkan bahwa Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana. Dengan demikian jelas bahwa pengembalian aset atau utang sejumlah tersangka korupsi kepada negara, tidak serta merta menghapuskan proses tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Seharusnya pihak Kejaksaan Agung tetap memproses para tersangka yang terlibat kasus BLBI hingga tahap penuntutan di Pengadilan.

 

Penegasan Jampidsus bahwa Kejagung akan mengevaluasi sekitar 30 kasus korupsi terkait BLBI selama dua bulan, dan berkas kasus yang lengkap akan segera diajukan ke persidangan setidaknya merupakan langkah awal yang baik untuk penuntasan kasus kasus korupsi kelas kakap ini. Bagimanapun juga penuntasan kasus korupsi BLBI selalu menjadi tolak ukur apakah pemerintah serius ataukah tidak dalam upaya pemberantasan korupsi.

 

Hal kedua yang perlu dicermati dari langkah yang akan diambil Kejaksaan Agung adalah rencana persidangan in absentia bagi terdakwa kasus korupsi. Dalam kerangka hukum positif di Indonesia, upaya menyidangkan perkara korupsi secara in absentia dapat dibenarkan. Menurut Pasal 38 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diperbaharui dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara tegas menyebutkan jika terdakwa dalam perkara korupsi telah dipanggil secara sah tetapi tetap tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya (in absentia).

 

Meskipun demikian terhadap putusan in absentia tersebut  masih dibuka kesempatan bagi terdakwa atau kuasanya untuk mengajukan banding terhadap putusan yang dijatuhkan.

 

Masih dalam pasal yang sama, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan pengkhususan apabila terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan. Dengan pertimbangan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita. Dan penetapan perampasan tersebut tidak dapat dimohonkan upaya banding.

 

Praktiknya upaya menyidangkan terdakwa kasus korupsi secara in absentia  bukanlah suatu hal yang baru. Dalam catatan ICW, sedikitnya terdapat enam kasus korupsi pada yang diperiksa dan diputus secara in absentia dan kesemuanya merupakan terdakwa kasus korupsi BLBI.

 

Dalam kasus korupsi BLBI Bank Harapan Sentosa, Hendra Rahardja (dihukum seumur hidup) serta rekannya Eko Adi Putranto dan Sherly Konjogian (dihukum 20 tahun)  ketika ketiganya telah melarikan diri ke luar negeri. Begitu pula Bambang Sutrisno dan Adrian Kiki Ariawan dalam kasus BLBI Bank Surya yang ketika dihukum seumur hidup, berada di Singapura. David Nusa Wijaya yang terlibat kasus BLBI Bank Servitia juga telah dvonis 1 tahun penjara secara in absentia oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat karena sudah kabur entah kemana. 

 

Terdapat beberapa keuntungan apabila suatu perkara korupsi diperiksa dan diputus secara in absentia. Pertama, untuk menjamin kepastian hukum. Selama para terdakwa melarikan diri dan belum tertangkap serta tidak diproses ke tahap penuntutan maka penanganan kasus tersebut akan terus menerus mengambang dan tidak jelas di tingkat penyidikan. Dengan diperiksa dan diputus tanpa kehadiran terdakwa dan apabila putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht), maka apabila terdakwa yang melarikan diri akhirnya tertangkap, maka koruptor tersebut bisa langsung dijebloskan ke penjara dan menjalani masa hukuman sesuai yang telah diputuskan oleh hakim.

 

Kedua, aset-aset dari pelaku korupsi bisa langsung disita dan dieksekusi oleh

Kejaksaan melalui putusan hakim. Jika mencermati kembali upaya kejaksaan agung untuk menyidangkan kasus korupsi BLBI secara in absentia dapat ditafsirkan sebagai upaya mempercepat pengembalian keuangan negara yang telah dicuri oleh para koruptor.

 

Harapannya majelis hakim dalam putusan (sela atau akhir) dapat memerintahkan

penyitaan terhadap aset-aset yang dimiliki oleh terdakwa dan apabila telah mempunyai kekutan hukum tetap, maka aset tersebut dapat dilelang dan hasilnya masuk ke kas negara.

 

Lepas apakah terobosan Kejaksaan Agung untuk membuka kembali dan memproses tersangka korupsi BLBI meskipun secara in absentia akhirnya akan membawa hasil yang memuaskan atau justru sebaliknya, namun langkah tersebut harusnya didukung oleh banyak pihak dengan tetap pula untuk dilakukan pengawasan. Setidaknya langkah ini dapat menjadi pilihan atas kebuntuan penanganan kasus korupsi yang diduga merugikan negara (versi BPK) lebih dari Rp 80  triliun.

Tersangka yang akan diadili secara in absentia itu belakangan diketahui sebagai Agus Anwar, mantan Direktur Utama Bank Pelita. Diberitakan perkaranya sudah selesai disidik dan berkasnya sudah di tangan Direktur Penuntutan pada Tindak Pidana Khusus, Muzammi M Hakim. Agus Anwar dianggap bertanggung jawab atas korupsi dana BLBI yang merugikan negara Rp1,98 triliun dan rencananya akan dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Perkembangan terakhir Agus Anwar menawarkan untuk membayar kerugian negara, selama tidak dibawa ke persidangan.

 

Berkaitan dengan langkah yang ditempuh Kejaksaan Agung tersebut, sesungguhnya ada dua hal yang perlu dicermati. Pertama, penuntasan kasus korupsi BLBI oleh Kejaksaan Agung. Harus diakui bahwa penanganan kasus korupsi BLBI oleh Kejaksaan Agung selama lebih dari dua tahun terakhir tidak menunjukkan kemajuan yang siginifikan.

 

Dalam catatan ICW, hingga awal tahun 2005, dari 60 orang yang diperiksa karena kasus korupsi dana BLBI, baru 16 orang yang diproses ke pengadilan. Selebihnya 6 tersangka masih dalam proses penyidikan dan 26 perkara masih dalam proses penyelidikan.

 

Meskipun sudah 16 orang pelaku korupsi BLBI dibawa ke pengadilan dan beberapa telah dihukum berat (seumur hidup atau 20 tahun penjara), namun hasil yang dicapai sangat mengecewakan.

Tags: