Mencermati Putusan Pengadilan Banding Singapura di Kasus KBC
Yufendy(*)

Mencermati Putusan Pengadilan Banding Singapura di Kasus KBC

26 Agustus 2005 kemarin hampir seluruh koran nasional dan beberapa koran terbitan luar negeri mewartakan siaran pers Pertamina tertanggal 25 Agustus 2005 yang isinya menyatakan bahwa Pengadilan banding Singapura telah memenangkan Pertamina pada kasus gugatan Karaha Bodas Company (KBC) atas aset anak perusahaan Pertamina di Hongkong, Pertamina Energy Trading Limited (Petral).

Oleh:
Yufendy
Bacaan 2 Menit
Mencermati Putusan Pengadilan Banding Singapura di Kasus KBC
Hukumonline

 

Fakta dari kasus yang diputus pengadilan banding Singapura adalah sebagai berikut ([2005] 2 SLR 568). Setelah KBC mengantongi putusan arbitrase sebesar AS$261 juta di Swiss, mereka mengejar aset-aset Pertamina di luar negeri dengan mendaftarkan putusan tersebut ke Amerika, Hongkong, Singapura dan Kanada untuk dieksekusi. Di Amerika dan Hongkong, Pertamina kalah telak. Tetapi di Hongkong, perusahaan berlambang kuda laut itu beruntung karena sebagian asetnya diduga telah dipindahkan.

 

Permasalahan muncul pada saat pemeriksaan silang (cross examination) di Pengadilan Hongkong. Salah satu manajer dari Petral mengakui bahwa agar uang Pertamina tidak jatuh ke tangan KBC, Petral telah meminjamkan uang AS$36 juta ke anak perusahaannya di Singapura (PES) untuk kegiatan operasional. Atas dasar inilah, KBC mengajukan permohonan ke Pengadilan Singapura untuk melarang PES menggunakan AS$36 juta tersebut (mareva injunction). Pengadilan Singapura pada awalnya mengabulkan permohonan KBC dan mengeluarkan penetapan yang memerintahkan PES mengembalikan uang tersebut ke Petral di Hongkong. Sebelumnya, pengadilan Hongkong telah menangkap basah salah satu perusahaan patungan Pertamina di Hongkong (KIPPO) yang memindahkan AS$5 juta ke Pertamina meskipun sudah ada larangan (garnishee order) dari Pengadilan Hongkong (referensi kasus: HCCT000028D/2002).

 

Setelah Petral dan PES melakukan perlawanan atas penetapan tersebut, MA Singapura mengukuhkan putusan pengadilan tinggi yang isinya membatalkan penetapan tersebut. Dasar penolakannya karena terbukti bahwa perpindahan uang tersebut adalah dalam kerangka bisnis biasa, bukan untuk menghindari pelaksanaan putusan arbitrase.

 

Jadi, putusan Pengadilan Singapura ini tidak memerintahkan KBC memberikan ganti rugi kepada Pertamina, tidak menolak pendaftaran putusan arbitrase dan tidak juga membatalkan putusan arbitrase. Yang terjadi adalah, KBC harus membayar seluruh biaya persidangan dan memberikan tambahan legal fees kepada pengacaranya Pertamina yang di Singapura. Kendatipun demikian, Petral dan PES tetap harus membayar biaya pengacara mereka sendiri yang sebenarnya tidak perlu terjadi kalau saja sang manejer Petral tidak salah memberikan jawaban ketika di-cross examination oleh Pengadilan Hongkong.

 

Pelaksanaan Putusan Arbitrase di Singapura

Persoalan selanjutnya, kemana KBC akan memburu aset Pertamina? Siaran pers Pertamina mengatakan bahwa PES memiliki prestasi yang mengesankan dan berhasil memperoleh peringkat ke-7 Fastest Growing diantara 50 perusahaan-perusahaan Singapura untuk tahun 2005. Kelihatannya KBC sudah tidak sabar lagi memburu aset Pertamina di PES.

 

Di sisi lain, kepercayaan diri Pertamina mulai meningkat setelah pengadilan Singapura membatalkan penetapan mareva injunction di atas. Penulis berpendapat Pertamina terlalu percaya diri. Penetapan tersebut dibatalkan setelah hakim menemukan bahwa KBC sama sekali tidak dapat membuktikan tuduhannya yang menyatakan Petral dan PES telah berkonpsirasi melarikan uang Pertamina sebesar AS$36 juta.

 

Yang sedang dan telah diupayakan Pertamina dan pemerintah Indonesia adalah, pertama, membatalkan putusan arbitrase, atau kedua, setidaknya meyakinkan pengadilan di luar negeri untuk menolak eksekusi putusan tersebut di dalam yurisdiksi mereka. Kedua upaya tersebut gagal di Amerika dan Hongkong. Bagaimana dengan di Singapura?

 

Pasal 46 UU Arbitrase Singapura secara tegas menyatakan putusan arbitrase (yang memiliki kekuatan hukum tetap) dari yurisdiksi manapun dapat dieksekusi sebagaimana layaknya putusan pengadilan setempat. Pengadilan Singapura tidak memiliki kewenangan membatalkan putusan arbitrase dari negara lain.

 

Pasal 48 UU Arbitrase Singapura memuat secara limitatif alasan-alasan untuk menolak pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase yang isinya hampir sama dengan alasan yang tercantum di dalam Article V Konvensi New York maupun Pasal 34(2) UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration 1985. (artikel Tony Budidjaja di hukumonline 20/7). Yang berbeda adalah UU Singapura menambahkan alasan ‘the making of the award was induced by fraud or affected by corruption' (pasal 48(a) bagian (vi)).

 

Pertamina telah mengandalkan alasan-alasan dalam Model Law di Pengadilan Amerika dan Hongkong (referensi kasus: HCCT000028B/2002), tetapi dikalahkan karena argumentasi-argumentasinya sangat lemah. Dilihat dari penalaran yang dipakai oleh hakim-hakim di Amerika dan Hongkong, besar kemungkinan hakim Singapura juga akan melakukan hal yang sama.

 

Kalau mengandalkan pasal 48(a) bagian (vi), proses pembuktiannya dan kemungkinan Pertamina akan dimenangkan akan sulit sekali. Ayat tersebut secara tegas mengatakan unsur penipuan dan korupsi harus ada pada ‘the making of the award'. Apa yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan RI saat ini adalah membongkar dugaan mark up dalam proyek KBC dan pelanggaran perpajakan (hukumonline 4/4/05, 28/11/04 dan 5/11/04). Anggaplah semua dugaan itu terbukti.

 

Pertanyaannya adalah apakah bukti-bukti baru tersebut memenuhi pasal 48(a) bagian (vi)? Jawabannya tidak. Sebab, yang sedang dibuktikan pemerintah kita adalah korupsi dalam ‘performance of the contract', bukan ‘the making of the award'. Kalau Pertamina ingin menang di Singapura, yang harus dibuktikan adalah telah terjadinya unsur korupsi dan penipuan di dalam persidangan di Paris yang kemudian melahirkan putusan arbitrase Swiss. Pembuktian ini hampir mustahil berhasil karena Swiss adalah one of the leading arbitral centres in the world.

 

Peninjauan Kembali dan enforcement di luar negeri

Kelihatannya sampai saat ini pemerintah dan Pertamina masih belum mendapat proper legal advice terhadap substansi kasus ini. Ini terlihat dari upaya pemerintah membongkar KKN yang melibatkan KBC, mengirim notice of appeal dan mengajukan novum untuk membatalkan putusan arbitrase tersebut (Hukumonline 28/11/04). Indikasi terbaru adalah siaran pers Pertamina telah menunjukkan bahwa mereka keliru memahami bahasa hukum dari isi putusan pengadilan Singapura.

 

Dalil-dalil Pertamina pun terlihat lemah sekali. Alasan force majeur menurut hukum Indonesia yang diyakini akan memenangkan Pertamina ternyata ditolak karena di dalam isi perjanjian mereka secara tegas dikatakan bahwa Pertamina dan PLN akan menanggung risiko ‘Government Related Event'. Dan KBC dalam hal ini secara tegas dikecualikan. Oleh karena yang menghentikan proyek tersebut adalah Keputusan Presiden, maka Pertamina dan PLN oleh tribunal di Swiss, sesuai isi perjanjian, dihukum menanggung risikonya.

 

Artikel Hukumonline 10/9/05 tidak menuliskan secara eksplisit tentang novum apa yang diajukan Pertamina sebagai dasar peninjauan kembali. Namun, kalau yang dimaksud adalah polis asuransi KBC, Pertamina telah dikalahkan di Pengadilan Hongkong. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Pertamina tidak akan pernah setuju dengan isi klausul ‘Government Related Event' apabila mereka telah mengetahui adanya polis asuransi tersebut. Sehingga polis asuransi tidak bisa dikatakan sebagai bukti yang bersifat baru menentukan (novum).

 

Pertamina terkesan tidak memahami perbedaan antara pembatalan putusan arbitrase dan penolakan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase. Di Pengadilan Hongkong (HCCT000028B/2002), Pertamina mendalilkan bahwa putusan arbitrase tersebut tidak didasarkan pada hukum Indonesia. Alasan tersebut seharusnya digunakan untuk membatalkan putusan arbitrase di pengadilan Swiss karena Pasal 44 UU Arbitrase Hongkong tentang refusal of enforcement (bersifat limitatif) tidak memuat alasan tersebut sebagai dasar untuk menolak pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase. 

Hal serupa diulangi lagi di Indonesia. Dalam memori PK-nya, Pertamina menafsirkan Pasal V angka 1 (e) Konvensi New York 1958 sebagai dasar untuk pembatalan.  Padahal pasal tersebut hanya berlaku untuk penolakan pendaftaran dan pelaksanaan eksekusi.

 

Yang menarik adalah apa akibatnya jika MA mengabulkan PK Pertamina? Ketika PN Jakpus memenangkan Pertamina, putusannya diabaikan oleh pengadilan di Amerika dan Hongkong. KBC tetap diizinkan mengeksekusi aset-aset Pertamina. Kalaupun MA nantinya memenangkan Pertamina, kemungkinan besar putusan tersebut tidak mampu melindungi aset Pertamina di luar negeri.

 

Yang tragis adalah apabila permohonan PK Pertamina ditolak oleh MA. Penolakan tersebut tentulah ibarat mendapat durian runtuh bagi KBC apabila mereka berniat mengeksekusi aset Pertamina di Indonesia. KBC akan sangat diuntungkan karena justru atas upaya Pertamina, isu tentang bisa tidaknya pengadilan Indonesia membatalkan putusan arbitrase international telah dijawab oleh MA.

 

Ada baiknya Pertamina menghentikan segala perlawanan atas putusan arbitrase di dalam maupun luar negeri dan mengajak KBC untuk berdamai dengan menawarkan reasonable sums. Kalau tidak, pemerintah dan Pertamina konsisten pada sikapnya: tidak akan membayar sama sekali, apapun risikonya. Satu-satunya pengadilan yang mungkin akan menolak pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase tersebut adalah pengadilan di Indonesia. Untuk itu, semua aset Pertamina harus dibawa masuk ke Indonesia secepatnya.

Siaran pers  tersebut mengatakan bahwa baik Petral maupun anak perusahaannya di Singapura, Pertamina Energy Service Ltd (PES), berkesempatan mendapatkan ganti rugi yang diperkirakan berjumlah besar dari KBC. Bahkan, Yahoo! News melansir bahwa KBC harus membayar ganti rugi sebesar AS$36 juta kepada Pertamina.

 

Sebagai Warga Negara Indonesia, tentulah kita bersyukur jika berita di atas benar sepenuhnya. Bisa mangkir dari putusan arbitrase yang menghukum Pertamina membayar AS$261 juta saja sudah merupakan mukjizat, apalagi mendapatkan ganti rugi sebesar AS$36 juta. Tetapi, kenyataan yang terjadi tidaklah demikian. Putusan pengadilan banding (MA-nya) Singapura yang diputuskan pada 24 Agustus yang lalu tidak ada hubungannya dengan pendaftaran putusan arbitrase di Pengadilan Singapura untuk mengeksekusi aset Pertamina di negara singa tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags: