HM Saleh Puteh: Pasca Tsunami, Mahkamah Syariah Kebanjiran Perkara Waris
Terbaru

HM Saleh Puteh: Pasca Tsunami, Mahkamah Syariah Kebanjiran Perkara Waris

Tuntutan penerapan syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darusslam (NAD), sedikit demi sedikit, mulai direalisasikan oleh Pemerintahan Pusat di Jakarta. Salah satu wujudnya berupa pembentukan Mahkamah Syariah, yang menggantikan peran Peradilan Agama.

Oleh:
CR-3
Bacaan 2 Menit
HM Saleh Puteh: Pasca Tsunami, Mahkamah Syariah Kebanjiran Perkara Waris
Hukumonline

 

Drs. HM. Saleh Puteh SH adalah putra daerah asli NAD yang dilahirkan pada 23 Maret 1945. Menjabat sebagai wakil ketua MS sejak 1996, ketika masih bernama Pengadilan Tinggi Agama. Sebelum berkiprah di tingkat banding, ia menjadi hakim dan kemudian Ketua Pengadilan pada Pengadilan Agama di Lhok Sukon, Aceh Utara.  Berikut petikan wawancaranya:   

 

Bagaimana kiprah Mahkamah Syariah selama dua tahun terakhir?

Menurut saya, sejak berdiri perkembangan Mahkamah Syariah cukup meyakinkan. Pada awalnya, mungkin kita kurang bersemangat, tetapi dengan segala perjuangan yang telah dilakukan, hasilnya ternyata cukup menggembirakan. Salah satu ukurannya adalah kalau dulu pengadilan agama hanya berwenang mengurusi bidang keperdataan atau kekeluargaan saja. Sekarang kita juga berwenang untuk bidang muamalah dan jinayah atau hukum pidana Islam.

 

Tahap peralihannya sendiri sudah berjalan secara merata, mulai dari pelimpahan perkara dari peradilan umum yang berhubungan dengan judi, khalwat (mesum), dan khamr (minuman keras) sampai dengan koordinasi dengan kepolisian serta kejaksaan.

 

Apakah ada perbedaan struktural antara MS dengan Pengadilan Agama?

Dari segi struktur, ada sedikit perbedaan. Berhubung wewenang MS juga melingkupi perkara jinayat atau pidana maka otomatis harus ada panitera muda bidang pidana. Namun, strukturnya belum turun dari Mahkamah Agung (MA), sehingga untuk sementara pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan bidang pidana ditangani oleh panitera muda bidang perdata. Jadi, secara resmi belum ada bidang yang khusus menangani perkara pidana di MS.

 

Selama dua tahun ini, apa kendala yang dihadapi?

Secara umum, tidak ada kendala. Cuma, akhir-akhir ini pasca bencana tsunami, MS dibanjiri oleh banyak perkara tentang waris. Sampai saat ini saja, MS telah menangani sekitar 9000 kasus waris, beberapa diantaranya berkaitan dengan simpanan atau deposito di bank yang ditinggalkan oleh korban tsunami. Namun begitu, kami tetap memberikan pelayanan, dan itu semua dilakukan secara gratis, tidak dipungut biaya apa pun.           

 

Kendala lain adalah belum dibentuknya MS di tiga kabupaten hasil pemekaran wilayah. Kami sudah mengusulkannya ke MA, tapi mungkin masih tersendat di DPR.

 

Bagaimana rekapitulasi perkara hasil pelimpahan perkara dari Pengadilan Agama?

Perkara yang dilimpahkan sekitar 3000 perkara untuk perdata saja, jadi kira-kira lebih dari 3000 perkara yang dilimpahkan ke MS kalau termasuk dengan perkara pidana. Dari jumlah tersebut yang diajukan kasasi sekitar 30 perkara.  Sejauh ini, perkara yang banyak masuk adalah perkara judi untuk jinayat. Sementara, untuk perdata, masih didominasi oleh perkara waris, khususnya pasca bencana tsunami, dan perkara perceraian. (Pasal 9 Keppres No. 11/2003 menetapkan bahwa semua perkara yang ditangani oleh masing-masing Pengadilan Agama atau Pengadilan Tinggi Agama pada saat MS berdiri tetapi belum diputus, penanganannya diteruskan oleh masing-masing MS/MS Provinsi—red).

 

Apakah latar belakang para hakim dari Pengadilan Agama tidak menjadi kendala ketika menangani perkara pidana?

Tidak. Karena begitu MS dibentuk, langsung diadakan pelatihan yang diselenggarakan oleh Dinas Syariat Islam Provinsi NAD berkoordinasi dengan MA. Tidak hanya hakim, melainkan juga polisi dan jaksa. (Pasal 4 dan pasal 7 Keppres No. 11/2003 menetapkan bahwa ketua, wakil ketua, hakim, panitera serta staf lainnya pada Pengadilan Agama/Pengadilan Tinggi Agama menjadi ketua, wakil ketua, hakim, panitera serta staf lainnya pada MS/MS Provinsi –red).

 

Dalam penanganan perkara pidana, MS masih merujuk pada KUHAP. Apakah ketentuan dalam KUHAP sejalan dengan prinsip syariat Islam atau ada pertentangan?

Tidak ada, karena kita merujuk pada KUHAP hanya sepanjang untuk hal-hal yang tidak diatur dalam qanun. Namun begitu, ada sedikit perbedaan dalam hal penerapan hukuman cambuk. Dalam hukum Islam, hukuman cambuk tidak bisa diukur dengan jangka waktu berapa tahun, sementara KUHAP mengenal konsep kalau vonisnya dibawah lima tahun, maka terpidana tidak perlu ditahan. Pada akhirnya, hal ini tidak terlalu menjadi permasalahan karena kenyataannya, terpidana hukuman cambuk memang tidak ditahan. Permasalahan lain terkait dengan hukuman cambuk adalah mengenai pelaksana eksekusi.

 

Pasal 8 Qanun No. 10/2002 mengatur mengenai kemungkinan diangkatnya hakim ad hoc untuk perkara-perkara tertentu. Sejauh ini, apakah sudah ada hakim ad hoc yang sudah diangkat?

Sampai saat ini, belum ada hakim ad hoc yang diangkat karena kami berpikir belum perlu. Perkara-perkara tertentu yang dimaksud dalam Qanun tersebut, misalnya perkara khamr (minuman keras). Keberadaan hakim ad hoc mungkin nantinya dibutuhkan karena Qanun tentang khamr tidak secara spesifik apa yang dimaksud dengan minuman yang memabukkan. Misalnya, zat-zat apa saja yang biasanya terkandung dalam minuman yang memabukkan.

Mahkamah Syariah (MS) yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 11/2003 tentang Mahkamah Syariah dan Mahkamah Syariah Provinsi di NAD, diresmikan oleh Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan 4 Maret 2003. Sebelumnya pada tahun 2002, MS secara spesifik diatur dalam Qanun No. 10/2002 tentang Peradilan Syariat Islam.

 

Berdasarkan Keppres No. 11/2003 tersebut, kekuasaan dan kewenangan MS dan MS provinsi adalah kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syiar Islam yang ditetapkan dalam Qanun.

 

Untuk mengetahui sejauh mana kiprah MS selama dua tahun ini sejak diresmikan, hukumonline berkesempatan mewawancarai Wakil Ketua Mahkamah Syariah Provinsi NAD Drs. HM. Saleh Puteh SH pada 31 Oktober lalu. 

Halaman Selanjutnya:
Tags: