Kontroversi Qanun, Perda Dengan Karakteristik Khusus
Fokus

Kontroversi Qanun, Perda Dengan Karakteristik Khusus

Penerapan syariat Islam adalah perjuangan sepanjang hayat bagi masyarakat Aceh. Tetapi dimana letak Qanun dalam tata urutan perundang-undangan nasional?

Oleh:
CR-3
Bacaan 2 Menit
Kontroversi <i>Qanun</i>, Perda Dengan Karakteristik Khusus
Hukumonline

 

Rupanya, status istimewa yang telah diperoleh dengan susah payah tersebut, hanya menjadi titel belaka. Praktis hanya keistimewaan di bidang pendidikan saja yang terealisir, ditandai dengan berdirinya Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry. Di luar itu, Aceh merasa diperlakukan sama dengan provinsi lain.

 

Perlakukan ‘tidak istimewa' ini bahkan dipertegas oleh penjelasan pasal 93 UU No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Dijelaskan bahwa meskipun Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 telah dicabut, akan tetapi sebutan Daerah Istimewa Aceh masih tetap berlaku. Syaratnya, penyelenggaraan pemerintahan di Propinsi Daerah Istimewa Aceh tersebut sama dengan penyelenggaraan pemerintahan di Daerah Tingkat I lainnya.

 

Kekecewaan ini sekali lagi berujung pada gerakan pemberontakan terhadap pemerintahan pusat. Gerakan pemberontakan yang kemudian populer dengan nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) membawa misi berdirinya negara Aceh yang merdeka. Selama kurang lebih 30 tahun, GAM secara bergerilya melancarkan perlawanan hingga penandatanganan Mou di Helsinki 15 Agustus lalu.

 

Namun jauh sebelumnya MoU, beberapa tuntutan masyarakat Aceh sedikit demi sedikit telah dipenuhi oleh Pemerintahan Pusat, termasuk tuntutan perubahan nama provinsi dari Daerah Istimewa Aceh menjadi Nanggroe Aceh Darussalam.

 

Tuntutan lain yang direalisasikan adalah penerapan syariat Islam. Diawali dengan diterbitkannya UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Pasal 4 ayat (1) menegaskan, penyelenggaraan kehidupan beragama di Aceh diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam.

 

Penerapan syariat Islam di Tanah Rencong dipertegas lagi lewat UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi NAD. Realisasi penerapan syariat Islam kemudian semakin lengkap dengan dibentuknya Mahkamah Syariah berdasarkan Keppres No. 11/2003, serta pemakaian nama Qanun untuk produk perundang-undangan tingkat daerah.

 

Qanun

Qanun yang pertama kali diperkenalkan oleh UU No. 18/2001, memiliki kedudukan yang signifikan dalam penyelenggaran pemerintahan daerah di Aceh. Sebab, qanun dijadikan perangkat hukum utama bagi penyelenggaraan pemerintahan di Aceh yang tengah giat-giatnya ditata kembali pasca penandatanganan MoU Damai. Apalagi UU No. 18/2001 mengisyaratkan bahwa kedepannya nanti tidak akan ada lagi peraturan daerah (perda) di Aceh.

 

Secara gramatikal, kata qanun berasal dari bahasa Arab dengan asal kata qaanuun atau qānūn. Dimana menurut Kamus Kontemporer Arab-Indonesia yang disusun oleh Yayasan Ali Maksum, Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, qaanuun atau qānūn artinya kompilasi, himpunan peraturan atau Undang-undang, atau norma-norma yang telah mapan. 

 

Pasal 1 butir 8 UU No. 18/2001 mendefinisikan qanun adalah sebagai peraturan daerah (perda), yang menjadi peraturan pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus.

 

Definisi yang beragam juga diberikan oleh beberapa RUU mengenai Penyelenggaraan Pemerintah di Aceh yang tengah disusun oleh sejumlah kalangan yang berkepentingan seperti pemerintah, kalangan universitas, dan LSM-LSM. Penyusunan RUU ini merupakan salah satu tuntutan yang tertuang dalam MoU Damai RI-GAM, khususnya butir 1.1, dimana ditargetkan UU tersebut dapat diselesaikan sebelum 31 Maret 2006.

 

Definisi qanun menurut RUU Pemerintahan Aceh

Versi

Definisi

Pemerintah

Qanun khusus adalah perda provinsi NAD sebagai pelaksanaan pasal tertentu dalam UU Pemerintahan Aceh

Qanun provinsi adalah perda provinsi dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan

LSM

Qanun adalah perda yang dibentuk oleh DPRD sebagai legislatif daerah dengan persetujuan bersama Gubernur dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan

Universitas Malikul Saleh

Qanun adalah perda sebagai pelaksanaan Undang-undang di NAD dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan NAD

IAIN Ar-Raniry

Qanun adalah peraturan perundang-­undangan yang dibuat oleh Gubemur bersama DPRD atas persetujuan Lembaga Wali Nanggroe dalam rangka pelaksanaan UU Pemerintahan Aceh

Universitas Syiah Kuala

Qanun khusus adalah perda provinsi NAD sebagai pelaksanaan pasal tertentu dalam UU Pemerintahan Aceh

Qanun provinsi adalah perda provinsi dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan

 

Terlepas dari beragam definisi tadi, karakteristik khusus qanun telah memunculkan sejumlah permasalahan, yang tidak jarang ‘menyimpang' dari ketentuan. Misalnya penggunaan istilah, asas personalitas, dasar hukum, dan materi muatan.

 

Terkait penggunaan istilah qanun, ada kritik dari pakar ilmu perundang-undangan dari Universitas Indonesia Maria Farida Indrawati. Maria menegaskan bahwa sebaiknya terhadap seluruh perda di Aceh tetap menggunakan istilah perda. Penggunaan istilah qanun dikhawatirkan akan membingungkan masyarakat, khususnya masyarakat non muslim yang tidak mengerti arti qanun.

 

Maria membandingkannya dengan Papua. Dia menjelaskan sebagai konsekuensi dari otonomi khusus, Papua juga menerapkan perda yang bersifat khusus. Hanya saja, lanjut Maria, mereka menggunakan istilah ‘perdasus' (peraturan daerah khusus), disamping ‘perdasi' (peraturan daerah provinsi).  

 

Selain masalah penggunaan istilah, Maria juga menyoroti penggunaan simbol-simbol lain yang kental nuansa keislaman. Salah satunya adalah penggunaan kalimat ‘bismillahirrahmanirrahiim' pada bagian pembuka setiap qanun. Menurut Maria, penggunaan kalimat tersebut jelas berbeda, kalaupun tidak mau dikatakan bertentangan dengan UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

 

Lampiran UU No. 10/2004

B.1.                          Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa

14. Pada pembukaan tiap jenis Peraturan Perundang-undangan sebelum nama jabatan pembentuk Peraturan Perundang-undangan dicantumkan frase DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin.

 

Maria juga mengkhawatirkan penggunaan kalimat Basmalah akan memunculkan kecemburuan dari suku atau agama lain. Sebagai ilustrasi, Maria mengatakan provinsi Bali bisa saja menuntut agar mereka dapat menerbitkan perda khusus yang dibuka dengan kalimat sejenis sesuai dengan ajaran agama Hindu.

 

Asas personalitas

Masalah lain adalah asas personalitas atau siapa subjek yang dituju oleh qanun. Terkait hal ini, Abdullah Puteh ketika masih aktif sebagai Gubernur provinsi NAD, menegaskan bahwa penerapan syariat Islam, termasuk lingkup wewenang Mahkamah Syariah, hanya berlaku bagi warga Aceh yang beragama Islam.

 

Namun, penegasan Puteh itu terbantahkan oleh Qanun No. 5/2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam. Pasal 1 butir (7) menyatakan yang dimaksud dengan masyarakat adalah himpunan orang-orang yang berdomisili di provinsi Daerah Istimewa Aceh. Artinya tidak ada penegasan apakah syariat Islam hanya berlaku bagi masyarakat Aceh yang muslim atau sebaliknya.

 

Tidak adanya penegasan tersebut, tentu akan menimbulkan masalah. Bisakah seorang non-muslim dipidana jika ia melanggar syariat Islam bersama seorang Muslim? Problem ini dapat merujuk pada ketentuan pasal 4 ayat (3) dan pasal 19 Qanun No. 5/2000.

 

Berdasarkan Qanun ini, masyarakat yang berdomisili atau singgah di Aceh dapat dipidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda Rp 2.000.000 apabila tidak menghormati pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Anehnya, penjelasan Qanun No. 5/2000 tidak menjabarkan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan tidak menghormati pelaksanaan syariat Islam.

 

Maria memandang perlu ada penegasan kepada siapa qanun dapat diberlakukan. Penegasan ini, lanjutnya, perlu dilakukan karena besar kemungkinan ada masyarakat lain selain masyarakat muslim yang tinggal di Aceh. Artinya ada sejumlah orang yang tidak bisa dipaksakan untuk tunduk terhadap syariat Islam.

 

Pijakan dasar

Dalam setiap qanun yang diterbitkan oleh Pemerintah provinsi NAD, selalu disebutkan Qur'an dan Hadist pada bagian dasar hukum. Dalam hukum Islam, Qur'an dan Hadist memang merupakan rujukan utama.

 

Namun, penempatan Qur'an dan Hadist jelas ‘menyimpang' dari ketentuan yang tercantum dalam UU No. 10/2004. Pada bagian B.2 Lampiran UU No. 10/2004, dinyatakan bahwa dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan peraturan perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan Peraturan Perundang-undangan tersebut. Ditegaskan pula bahwa yang dapat digunakan sebagai dasar hukum hanya peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.

 

Artinya, yang dapat dijadikan dasar hukum ‘hanyalah' peraturan perundang-undangan lain yang setingkat atau lebih tinggi yang terdapat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan Indonesia. Sementara, Qur'an dan hadist jelas berada di luar tata urutan peraturan perundang-undangan Indonesia.

 

Maria berpendapat, dari segi teori perundang-undangan, penempatan Qur'an dan Hadist dapat dikatakan keliru besar. Dia menjelaskan walaupun qanun ada dalam konteks penerapan syariat Islam, tetapi tetap saja qanun seharusnya tetap berada pada jalur sistem hukum nasional.

 

Maria menambahkan apabila Qur'an dan Hadist ditempatkan sebagai dasar hukum, maka kita telah mengecilkan arti Qur'an dan Hadist itu sendiri. Karena, lanjutnya, dengan asumsi qanun itu adalah perda dan menurut tata urutan, perda dibawah peraturan di tingkat pusat, berarti menempatkan quran dan hadist sebagai dasar hukum sama saja dengan menempatkan kedua norma yang dipandang suci tersebut di bawah peraturan buatan manusia.

 

Masalah terakhir adalah terkait dengan materi muatan dari qanun. Dengan asumsi qanun adalah perda, maka seharusnya materi muatan suatu qanun adalah materi muatan perda. Menurut pasal 12 UU No. 10/2004, materi muatan perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

 

Sayang, ketentuan pasal tersebut bermakna sangat luas dan bersifat ‘karet'. Setiap daerah berhak untuk menafsirkan sendiri apa yang dimaksud dengan hal-hal penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan yang lebih tinggi.

 

Maria mengatakan pada prinsipnya materi muatan suatu peraturan perundang-undangan harus tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Prinsip yang sama, lanjutnya, juga berlaku bagi qanun. Materi muatan suatu qanun tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya.

 

Maria menambahkan apabila ternyata materi muatan suatu qanun bertentangan peraturan diatasnya, maka terhadap qanun tersebut dapat dilakukan uji materil ke Mahkamah Agung. Artinya qanun dapat dibatalkan atau dicabut dengan alasan bertentangan dengan peraturan diatasnya.

 

Sebagai ilustrasi, Maria mencontohkan qanun yang mengatur tentang hukuman cambuk. Menurutnya, qanun tersebut bisa saja diuji materiil karena dianggap bertentangan dengan peraturan diatasnya yang terkait yakni KUHP.

Tuntutan penerapan syariat Islam tidak dapat dilepaskan dari perjalanan sejarah provinsi yang kaya akan gas alam ini. Sejarah telah membuktikan perjuangan masyarakat Aceh untuk mendapatkan status istimewa, tidak berjalan mulus. Pada dekade 1950-an, status otonomi Aceh terdegradasi menjadi keresidenan, tunduk di bawah provinsi Sumatera Utara. Keputusan tidak populer ini kemudian mengakibatkan pemberontakan DI/TII pada 1953.

 

Seiring redamnya pemberontakan DI/TII, Aceh memperoleh status istimewa yang mereka idam-idamkan. Pemberian status tersebut dituangkan dalam sebuah Keputusan Wakil Perdana Menteri, dan kemudian dikukuhkan lewat UU No. 18/1965 tentang Pemerintahan Daerah. Status istimewa tersebut meliputi agama, adat istiadat, dan pendidikan.

Tags: