Perlindungan Terhadap Perusahaan Solven Dari Ancaman Kepailitan
Fredrik J. Pinakunary(*)

Perlindungan Terhadap Perusahaan Solven Dari Ancaman Kepailitan

Pertama-tama perlu didefinisikan bahwa yang dimaksud dengan perusahaan solven dalam tulisan ini adalah perusahaan yang memiliki rasio aktiva jauh di atas pasiva, serta berada dalam kondisi keuangan yang sangat likuid atau untuk perusahaan yang terdaftar di bursa disebut sebagai the blue chip company.

Bacaan 2 Menit
Perlindungan Terhadap Perusahaan Solven Dari Ancaman Kepailitan
Hukumonline

 

Pada bulan Januari 2005, Total E&P Indonesie (Total) telah dimohonkan pailit oleh kontraktornya (PT Sanggar Kaltim Jaya) dan Sub-Kontraktornya (PT Istana Karang Laut) untuk utang (yang masih dalam perselisihan) yang jumlahnya hanya berkisar AS$ 7 juta, suatu jumlah yang teramat sangat kecil dibandingkan dengan nilai kekayaan Total.

 

Sebagai salah satu PSC, Total memproduksi sekitar 630 barel gas per hari atau sekitar sepertiga dari keseluruhan produksi gas Indonesia. Produksi ini memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara kurang lebih sebesar AS$3 miliar, atau Rp30 triliun per tahun, atau sekitar 35 persen dari pendapatan bersih negara yang diperoleh dari sektor minyak dan gas bumi, atau sekitar 12 persen dari keseluruhan pendapatan negara Republik Indonesia,

 

Perkara tersebut ternyata sangat menyita perhatian publik karena Total dikenal luas sebagai perusahaan yang sangat solven dan telah terbukti memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara demikian juga perekonomian masyarakat Kalimantan Timur, khususnya masyarakat Kabupaten Kutai Kartanegara secara signifikan. Dan sepengetahuan penulis, Total adalah PSC pertama yang dimohonkan pailit di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

 

Sehubungan dengan perlu atau tidak perlunya "perlindungan" terhadap jenis-jenis perusahaan tertentu sebagaimana diatur dalam UU No.37/2004, sebagai perbandingan, berikut akan diuraikan mengenai praktik dan peraturan kepailitan di Hong Kong yang menganut sistem hukum common law.

***

Berdasarkan kajian penulis terhadap Bankruptcy Ordinance, tidak ditemukan adanya satu pasal pun yang melarang setiap subjek hukum untuk memulai proses pemailitan  terhadap pihak mana pun juga--baik individu, bank, perusahaan asuransi, perusahaan re-asuransi, dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara.

 

Pertanyaannya, apakah pemerintah Hong Kong tidak memiliki kekhawatiran terhadap ancaman kepailitan terhadap perusahaan-perusahaan solven yang memberikan kontribusi finansial secara signifikan terhadap masyarakat dan Pemerintah Hong Kong?

 

Berdasarkan diskusi yang penulis lakukan dengan beberapa praktisi hukum Hong Kong, dapat dimengerti bahwa hal tersebut tidak menjadi kekhawatiran Pemerintah Hong Kong. Sebab, berdasarkan Section 6 Bankruptcy Ordinance, pemailitan hanya dapat dilakukan antara lain dengan syarat bahwa debitor kelihatannya tidak dapat membayar, atau tidak mempunyai harapan atau prospek untuk membayar utangnya.

 

Dengan perkataan lain, debitor yang dapat dipailitkan hanyalah individu atau perusahaan yang berada dalam kondisi "sekarat" atau sama sekali tidak memiliki harapan untuk membayar utangnya, dan sebaliknya bukan individu atau perusahaan yang berada dalam keadaan solven.

 

Fakta membuktikan bahwa ketentuan tersebut sangat efektif untuk menghalau kekhawatiran mengenai pemailitan terhadap perusahaan solven di Hong Kong karena ketentuan tersebut terbukti dapat mengekang niat kreditor untuk mengajukan permohonan pailit terhadap debitor solven. Sebaliknya, kreditor tersebut lebih memilih untuk mengajukan gugatan perdata dari pada permohonan pailit terhadap debitor solven tersebut.

 

Dengan demikian, hak subjek hukum untuk mengajukan gugatan tidak diingkari, namun diarahkan untuk tidak digunakan secara keliru dengan cara mengajukan permohonan pailit terhadap debitor solven.

 

Sebagaimana lazimnya dalam sistem hukum common law yang menerapkan pemeriksaan pendahuluan (preliminary examination)--termasuk discovery process--sebelum mengajukan permohonan pailit, kreditor/pemohon wajib terlebih dahulu mengajukan statutory demand yang isinya berupa permintaan agar debitor membayar utangnya (format statutory demand telah ditentukan dalam Bankruptcy Ordinance).

 

Apabila dalam waktu 21 hari setelah menerima statutory demand debitor tidak membayar utangnya maka kreditor diperbolehkan untuk mengajukan permohonan pailit. Sebaliknya, jika debitor berpendapat bahwa eksistensi utang tersebut masih dipersengketakan maka debitor mempunyai kesempatan untuk mengajukan perlawanan terhadap permohonan pailit tersebut dalam persidangan.

 

Namun demikian, sebelum persidangan dilakukan, debitor mempunyai kesempatan 18 hari setelah menerima statutory demand untuk mengajukan permohonan agar pengadilan mengesampingkan atau menggugurkan statutory demand dengan alasan bahwa eksistensi utang yang dimaksudkan oleh kreditor masih dalam persengketaan.

 

Dalam hal debitor termohon pailit termasuk perusahaan solven (antara lain dapat dibuktikan dengan laporan keuangan, keterangan resmi dari otoritas keuangan dan/atau pajak serta corporate image), maka debitor tersebut dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menggugurkan statutory demand dengan alasan bahwa debitor adalah perusahaan solven yang memiliki prospek atau kemampuan untuk membayar utangnya.

 

Oleh karena itu, kreditor seharusnya tidak mengajukan permohonan pailit, melainkan gugatan perdata. Alasan debitor tersebut berdasarkan pada Section 6 Bankruptcy Ordinance yang mensyaratkan bahwa pemailitan hanya dapat dilakukan terhadap debitor yang tidak memiliki harapan atau prospek yang beralasan untuk membayar utangnya.

 

Di sisi lain, sebelum masuk dalam persidangan, Pengadilan Hong Kong mempunyai kewenangan untuk mengesampingkan statutory demand jika pengadilan berpendapat bahwa syarat permohonan kepailitan tidak terpenuhi. Proses ‘seleksi' ini dilakukan oleh pejabat pengadilan yang disebut Master yang antara lain berfungsi untuk "menyaring" setiap perkara yang diajukan ke pengadilan sebelum diserahkan kepada hakim untuk diperiksa dalam persidangan.

 

Berdasarkan informasi yang penulis terima, banyak perkara dapat diselesaikan oleh sang Master sehingga tidak berlanjut ke dalam persidangan. Oleh karena itu, pengadilan di negara yang menganut sistem hukum common law tidak memiliki tumpukan perkara sebesar pengadilan di negara yang menganut sistem hukum civil law, seperti Indonesia.

 

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa tidak setiap maksud untuk memailitkan debitor dapat masuk dalam proses persidangan apabila debitor dapat membuktikan kepada Master bahwa mereka adalah perusahaan solven sehingga persyaratan pamailitan yang diatur dalam Section 6 Bankruptcy Ordinance tidak terpenuhi.

 

Menurut praktisi hukum Hong Kong, tidak banyak dijumpai perkara permohonan pailit yang diajukan terhadap debitor yang merupakan perusahaan solven karena permohonan tersebut biasanya gugur sebelum pemohon diperkenankan untuk mengajukan permohonan pailit. Oleh karena itu, upaya hukum yang dilakukan oleh kreditor terhadap debitor solven adalah dengan mengajukan gugatan perdata dan bukan permohonan pailit.

 

Berdasarkan uraian di atas, terlihat jelas bahwa hukum dan prosedur kepailitan yang diterapkan oleh negara yang menganut sistem hukum common law cukup ampuh dalam melindungi perusahaan solven dari ancaman pemailitan. Dengan demikian, perusahaan solven di negara common law tidak memiliki kekhawatiran yang besar terhadap ancaman pemailitan, dibandingkan dengan perusahaan solven di Indonesia.

***

Kembali pada masalah "perlindungan" terhadap PSC di Indonesia dari ancaman pemailitan, penulis telah mendiskusikan hal tersebut dengan beberapa praktisi hukum Indonesia dan sebagian berpendapat bahwa "perlindungan" seperti itu sebaiknya tidak lagi diberikan kepada pihak lain selain perusahaan-perusahaan yang telah ditentukan dalam UU No.37/2004 karena hal tersebut merupakan bentuk pengingkaran atau penghilangan terhadap hak gugat yang dimiliki oleh setiap subjek hukum.

 

Senada dengan pemikiran tersebut ada pendapat yang menyatakan bahwa "perlindungan" terhadap PSC tidak diperlukan karena berdasarkan UU No.37/2004 yang berlaku, hakim dapat melindungi perusahaan solven dari ancaman pailit.

 

Namun demikian, penulis berpendapat bahwa "perlindungan" terhadap perusahaan solven seperti PSC bukanlah pengingkaran atau penghilangan terhadap hak gugat yang dimiliki setiap subjek hukum, karena hak tersebut sama sekali tidak dihilangkan, melainkan diarahkan agar dieksekusi melalui mekanisme yang tepat, yaitu gugatan perdata, bukan permohonan pailit.

 

Disamping itu, walaupun perusahaan solven dapat diselamatkan dari ancaman pailit berdasarkan UU Kepailitan dan PKPU, namun hal tersebut sangat bergantung pada penafsiran hakim yang memiliki kemandirian penuh dalam menginterpretasikan peraturan perundang-undangan. Sehubungan dengan itu, perlu diingatkan kembali bahwa fakta telah membuktikan tentang adanya putusan pailit yang dijatuhkan terhadap AJMI dan Prudential yang merupakan perusahaan-perusahaan solven, walaupun Undang-Undang Kepailitan yang berlaku ketika itu juga memberikan peluang kepada hakim untuk tidak memailitkan kedua perusahaan solven tersebut.

 

Sehubungan dengan "perlindungan" terhadap PSC, perlu diperhitungkan juga mengenai dampak negatif yang begitu besar yang dapat terjadi terhadap perekonomian negara jika PSC antara lain seperti Total, BP dan ConocoPhillips dinyatakan pailit. Menurut salah seorang pejabat BP Migas, seandainya Total dipailitkan, dampak negatifnya terhadap perekonomian dan investasi asing di Indonesia akan jauh lebih besar dibandingkan dengan putusan pailit yang pernah dijatuhkan terhadap AJMI dan Prudential.

 

Sebagai penutup, penulis mengutip sebuah ungkapan latin yang menyatakan "Non solum quid licet, sed quid est conveniens, est considerandum; quia nihil quod est inconvenienis est licitum" (Not only what is lawful, but what is proper or convenient, is to be considered, because nothing that is inconvenient is lawful) dengan harapan bahwa walaupun hakim memiliki kemandirian penuh dalam menginterpretasikan peraturan perundang-undangan, namun sudah selayaknya jika hakim yang memeriksa perkara permohonan pailit berpendirian bahwa tidak sepantasnya perusahaan solven dinyatakan pailit.

 

 

 

(Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan bukan mewakili Kantor Hukum di mana Penulis bekerja)

Fakta menunjukan bahwa permohonan pailit yang diajukan terhadap perusahaan solven kerap terjadi sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Undang-Undang Kepailitan. Namun demikian, tercatat bahwa putusan pailit yang dijatuhkan oleh Pengadilan Niaga, Jakarta terhadap dua perusahaan asuransi,  PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (AJMI) dan PT Prudential Life Insurance (Prudential) telah menuai kritikan yang paling keras, baik dari pengamat hukum, pelaku bisnis dalam dan luar negeri dan tentunya masyarakat pemegang polis asuransi.

 

Walaupun Mahkamah Agung telah menganulir putusan pailit terhadap AJMI dan Prudential, namun peristiwa tersebut secara langsung maupun tidak langsung telah mempengaruhi pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap perusahaan asuransi. Caranya, dengan membatasi pihak yang diperkenankan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi.

 

Hal ini ditentukan dalam pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998, yaitu Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pasal 2 ayat (5) UU No.37/2004 menyatakan permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi, perusahaan re-asuransi, dana pensiun atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Untuk selanjutnya penggunaan kata perlindungan dimaksudkan untuk mengungkapkan keadaan tersebut di atas.

 

Tentunya dapat dipahami bahwa rasio di balik perlindungan" terhadap perusahaan-perusahaan sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 2 ayat (5) UU No.37/2004 antara lain untuk melindungi beberapa jenis sektor usaha yang berpengaruh sangat besar terhadap kondisi perekonomian masyarakat dan negara. Sehingga, pemailitannya hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

 

Dalam perkembangannya, permohonan pernyataan pailit juga diajukan terhadap Kontraktor Bagi Hasil atau Production Sharing Contractor ("PSC"), suatu jenis perusahaan yang memiliki pengaruh terhadap perekonomian negara yang tidak kalah besarnya, dibandingkan dengan jenis perusahaan asuransi, perusahaan re-asuransi dan perusahaan-perusahaan lain tersebut di atas.

Halaman Selanjutnya:
Tags: