Saatnya Law Firm Korporasi Melirik Litigasi?
Fokus

Saatnya Law Firm Korporasi Melirik Litigasi?

Seluruh bisnis, termasuk law firm pasti mengalami pasang surut. Kalau prospek korporasi tengah menurun, saatnyakah menggarap litigasi?

Oleh:
Leo
Bacaan 2 Menit
Saatnya <i>Law Firm</i> Korporasi Melirik Litigasi?
Hukumonline

 

Bukankah semakin besar nilai perkara yang dipersengketakan, semakin besar pula keringat yang diperas untuk membela kepentingan kliennya? Otomatis, bayaran yang akan diterima akan besar pula.

 

Anangga Roosdiono tidak menampik bahwa lahan litigasi di Indonesia memang menjanjikan. Menurut pendiri law firm Roosdiono and Partners, sebuah kantor pengacara bisa mendapat fee yang tergolong besar bila bersedia berlitigasi. Sebab, berapapun fee yang di-charge, klien biasanya tidak keberatan.

 

Ia sendiri mengaku bersedia untuk menangani litigasi namun hanya sebatas arbitrase. Untuk urusan yang berbau pengadilan, Anangga memilih untuk tidak—atau setidaknya belum--menggarapnya.

 

Syaratnya (untuk terjun ke litigasi pengadilan) ada dua saja. Satu, semua teman-teman saya yang di litigasi nggak main duit. Syarat kedua, pengadilannya bersih. Pengadilannya fair and profesional. Kalau dua syarat itu udah tercapai I'll go with it, tandas Anangga kepada hukumonline beberapa waktu lalu.

 

Korupsi

Bagi Anangga, sejatinya trik dalam menyusun argumentasi hukum untuk memenangkan perkara di pengadilan tak kalah menantang bila dibandingkan dengan yang dikerjakan konsultan hukum saat memberikan advis kepada kliennya. Sayangnya, di mata Anangga, kondisi di Indonesia belum memungkinkan pihak yang memiliki argumentasi baik lantas bisa memenangkan perkara. Pasalnya, korupsi di pengadilan masih marak.

 

Kita sudah bekerja bikin argumentasi yang luar biasa baik tapi kita dikalahkan untuk suatu prosedur yang tidak ada artinya. Misalnya, tiba-tiba kita dikalahkan karena surat kuasanya cacat, terlambat memasukkan (dokumen). Jadi hal-hal yang tidak masuk akal, ujarnya.

 

Kendatipun demikian, Anangga yang juga terdaftar sebagai arbiter di Badan Arbitrase Nasional Indonesia ini menolak bila aparat penegak hukum menjadi satu-satunya kambing hitam maraknya korupsi di pengadilan. Ia melihat andil pengacara juga tak kalah besar di situ. Menurutnya, kalau seluruh pihak yang berperkara berkomitmen untuk tidak ‘main mata', kemungkinan adanya penyimpangan dari aparat penegak hukum dapat diminimalisir.

 

Selama ini pengacara yang teriak-teriak kalau hakimnya korupsi, jaksa dan polisinya korupsi, tapi siapa yang ngasih duit? Kalau semua pihak nggak ngasih duit kan mereka nggak bisa ngasih apa-apa, cetusnya.

 

Senada dengan Anangga, Widyawan melihat kondisi litigasi di Indonesia belum terlalu ideal. Ia melihat kalah menang ketika berperkara di pengadilan bukan semata-mata ditentukan oleh argumentasi hukum, melainkan oleh faktor-X.

 

Akhirnya kita memutuskan daripada litigasi kalah karena kita mau menjaga idealisme dan klien menjadi tidak puas, lebih baik kita serahkan ke orang yang ahlinya, tutur pendiri law firm Widyawan and Partners ini.

 

Oleh karena itu, Widayawan memilih membawa law firm-nya tetap fokus di korporasi. Ia melihat dalam menjalankan bisnis, termasuk law firm, selalu ada pasang surutnya. Nah naik turunnya itu suatu saat bisa lebih ramai di korporasi, atau litigasi. Dan kita sulit untuk setiap kali kondisi bisnis turun, terus kita lepas orang begitu saja.

 

Menurutnya, prospek di korporasi berbanding lurus dengan situasi perekonomian Indonesia. Artinya, seandainya perekonomian menurun, usaha korporasi juga cenderung menurun. Namun, Widyawan optimistis kondisi perekonomian Indonesia akan membaik.

 

Profesionalisme

Kalau Widyawan tetap optimistis di korporasi, Insan Budi Maulana justru yakin kondisi litigasi akan semakin membaik. Apalagi, peran dan sepak terjang lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial makin hari makin aktif untuk memberantas korupsi, termasuk di pengadilan. Sehingga, Insan yang menjadi partner di law firm Lubis Santosa Maulana ini yakin integritas dan profesionalisme yang selalu mereka kedepankan akan terus terjaga.

 

Insan tak menutup mata adanya cap negatif yang dilekatkan pada pengadilan di Indonesia. Imbasnya, selalu ada tudingan miring bila sebuah law firm sering menang dalam proses litigasi di pengadilan.

 

Sampai hari ini kita bisa tetap menjaga komitmen kami walaupun begitu sinis begitu miring begitu nista dianggapnya. Karena kalau menang dianggap ada sesuatunya. Tetapi dalam praktik yang kami lakukan jalan apa adanya berhasil dan itu jadi nilai poin bagi klien-klien asing kami.  Walaupun banyak kekhawatiran dari klien asing tapi kami yakinkan bahwa perkara-perkara yang kami tangani kami tidak akan melakukan perbuatan tercela dan akan menjaga nama baik dan reputasi klien kami walaupun mungkin lawan kita melakukan hal tidak terpuji, papar Insan.

 

Pengacara spesialis HKI ini menekankan dengan profesionalisme seharusnya semua pihak bisa berperkara dengan benar. Kata dia, kalau pun kalah, publik bisa menilai kalah terhormat atau akibat lawan melakukan hal yang tidak terpuji.

 

Karena bagaimanapun dengan sidang yang terbuka untuk umum dan orang bisa menilai. Itu yang kami wanti-wanti. Kami percaya suatu hari negeri ini akan lebih baik.

 

Insan menambahkan meski lumayan banyak menangani perkara litigasi, namun kontribusi litigasi terhadap pemasukan kantornya boleh dibilang seimbang dengan korporasi.

 

Lain lagi dengan pandangan M. Idwan Ganie. Managing partner di Lubis Ganie Surowidjojo ini punya visi ke depan sehingga law firm yang ia kelola serius untuk menggarap litigasi. Ia justru bersyukur bila law firm di Indonesia yang fokus di korporasi tidak berminat menggarap litigasi.

 

Bukan apa-apa, dalam pandangan Ganie, dengan adanya globalisasi maka lima sampai sepuluh tahun mendatang serbuan law firm asing ke Indonesia mungkin sudah tidak bisa dicegah lagi. Dan law firm asing biasanya akan fokus ke korporasi. Sementara, untuk berlitigasi pengadilan, law firm asing jelas tidak mungkin. Sebab, hanya pengacara lokal yang diizinkan untuk berpraktik di pengadilan. Ia mengungkapkan pula, sekitar 70 persen pemasukan law firm-nya, justru berasal dari litigasi.

 

Alasan lainnya, kebutuhan klien akan jasa hukum tidak bisa lagi setengah-setengah. Ibarat mobil, klien nggak mau kalau beli mobil tapi kalau rusak kita nggak bisa sediain bengkelnya. Kalau kita bilang OK kita jual mobil, kita jual lepas tapi kalau ada problem don't come back to us. Klien nggak mau terima itu lagi, Ganie memberi perumpamaan.

 

Ia khawatir, seandainya sebuah law firm bersikukuh tidak bersedia menangani perkara litigasi meski ada permintaan, kliennya akan lari ke law firm lain. Sebab, klien tersebut tentu  berpikir ternyata ada law firm lain yang bisa menangani segala hal—mulai dari membuat kontrak sampai menangani seandainya ada sengketa.

 

Ganie juga menekankan ia tidak sepenuhnya setuju bila ada persepsi bahwa litigasi identik dengan ‘kotor' sementara korporasi ‘steril'.  Ya kita ada di dunia yang banyak macam rupa orang. Dunia korporasi penuh dengan buaya juga. Itu sih sama saja. Tapi the point kan apakah kita sebagai law firm kita bisa ikut bermain tanpa ikut terkontaminasi. Saya kira no problem at all asal kita bisa mendapatkan pangsa pasar yang tepat, imbuh ahli hukum perkapalan yang meraih gelar doktornya dari University of Hamburg ini.

 

Dirinya berpandangan, tidak ada korelasi antara berlitigasi dan dua faktor lain. Yaitu, bahwa sebuah law firm harus selalu menang saat berlitigasi, dan seandainya tidak menang artinya tidak berhak atas biaya jasa hukum. Sebab, ucap Ganie, kliennya yang berasal dari luar negeri juga memahami ada kekurangan dalam sistem peradilan di Indonesia. Otomatis, sedapat mungkin mereka berupaya menghindarinya.

 

Tapi kadang-kadang nggak bisa karena mereka digugat. Jadi terpaksa harus membela diri. Karena mereka menyadari itu susah berarti dalam kenyataan mereka bukannya menyerah, malah all out. Nanti kalau kalah terhormat. Tapi secara corporate governance di Head Quarters mereka sudah memenuhi. Bahwa itu ada ongkosnya itu mungkin jadi secondary.

 

Bahkan, ia melanjutkan, tak sedikit klien asing lah yang justru berinisiatif untuk menggugat. Menurut Ganie, mereka tidak mau di kemudian hari disalahkan karena tidak mengambil upaya hukum.

 

Mereka sering menjelaskan ke kita kalau mereka punya klaim, akuntabilitas dan tidak mungkin tidak ambil legal action..harus. Bahwa ini berarti mengambil legal action dalam yurisdiksi yang mereka tidak familiar, bahkan yang punya image yang kurang baik, tidak berarti mereka tidak ambil legal action dan tidak berarti mereka boleh menunjuk lawyer yang ikut main sistem. Itu nggak boleh, terang Ganie

 

Tetap prospektif

Kendati telah ada tanda-tanda perbaikan kondisi peradilan di Indonesia plus adanya kiat-kiat agar tak tersesat saat berlitigasi, rupanya tetap belum menggoyahkan law firm yang fokus di korporasi untuk banting stir menggarap litigasi.

 

Menurut Anangga, yang bisa digarap di korporasi masih banyak meski memang tidak sebanyak beberapa tahun lalu. Legal advise tetap saja laku, tergantung kita punya nilai kerjaan kita seperti apa.

 

Sementara, Widyawan melihat peluang bagi law firm korporasi untuk terus berkibar masih tetap besar. Pasalnya, ekonomi Indonesia digerakkan oleh sumber daya alam. Oleh karena itu, transaksi yang memerlukan advis hukum seputar isu sumber daya alam juga banyak jumlahnya.

 

Supaya bisa tetap survive, Widyawan memberikan tips agar law firm korporasi fokus ke isu tertentu yang memang mereka punya keahlian. Dengan begitu, segmentasinya bukan hanya vertikal tapi juga horisontal, kata Widyawan.

 

Ganie juga sependapat bahwa spesilisasi adalah kunci utama untuk bisa survive dan berkembang. Hanya saja, Ganie juga meminta agar lawyer Indonesia  terus berupaya menambah pengalaman yang berkaitan dengan spesialisasinya. Misalnya untuk isu infrastruktur. Ia melihat di luar negeri pembangunan jalan dan  pelabuhan itu tidak pernah berhenti.

 

Disini saja sempat berhenti karena krisis ekonomi sehingaga lawyer kita nggak pernah exposed terhadap hal-hal seperti itu. Sementara, di luar negeri itu makanan mereka tiap hari, cetus Ganie.

Seandainya fresh graduate fakultas hukum disodori dua pilihan, bekerja menjadi pengacara litigasi atau konsultan hukum, boleh jadi akan lebih banyak yang memilih nomor dua. Mungkin, ini disebabkan tren di Indonesia, dan juga persepsi mahasiswa fakultas hukum terutama yang menimba ilmu di kota besar, bahwa menggarap persoalan korporasi yang berhubungan dengan transaksi-transaksi bisnis lebih bergengsi, wangi dan dandy ketimbang berlitigasi di pengadilan.

 

Belum lagi soal fulus. Hampir pasti, jerih payah konsultan hukum melegalkan transaksi-transaksi bisnis akan diganjar bayaran dalam dolar Paman Sam perjam. Sementara, tetesan keringat pengacara yang berlitigasi keluar masuk ruang pengadilan dan cuap-cuap adu argumentasi di hadapan hakim boleh dikatakan jarang yang dihargai setinggi jasa konsultan hukum.

 

Namun, ada kecenderungan akhir-akhir ini litigasi mulai dilirik oleh law firm-law firm yang sebelumnya fokus di korporasi. Kabarnya, seiring dengan lesunya transaksi-transaksi bisnis yang membutuhkan legal opinion, fee untuk berlitigasi di pengadilan juga dinilai cukup besar untuk menambah kocek sebuah law firm. Sebab, nilai uang yang dipersengketakan dalam perkara juga terhitung besar. Sebut saja perkara yang melibatkan Indah Kiat Pulp and Paper Tbk dan PT Lontar Papyrus Pulp and Paper Industry, dimana yang menjadi sengketa adalah loan agreement masing-masing senilai AS$550 juta dan AS$500 juta.

 

Ada pula perkara tender penjualan tanker Pertamina dimana Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjatuhkan sanksi dan denda yang jumlahnya mencapai puluhan miliar kepada pelaku usaha yang dianggap melakukan kolusi tender. Diyakini, ‘hukuman' KPPU tersebut memberikan rezeki yang tak sedikit kepada sejumlah law firm yang mewakili pelaku usaha ketika mengajukan keberatan ke pengadilan negeri.

Tags: