Gagasan Jaminan 500 Juta dan Pengalaman Menikahi Perempuan WNI
Andre Moller *)

Gagasan Jaminan 500 Juta dan Pengalaman Menikahi Perempuan WNI

Orang boleh-boleh saja berbeda pendapat mengenai kelebihan dan kekurangan era globalisasi ini, tapi ada satu hal yang tak dapat disangkal, yaitu bahwa penduduk bumi manusia ini semakin intensif pergaulannya satu sama lain.

Bacaan 2 Menit
Gagasan Jaminan 500 Juta dan Pengalaman Menikahi Perempuan WNI
Hukumonline

 

Maka, di negeri penulis ini, tidak jarang orang asing mengganti nama mereka dengan nama Swedia, dengan harapan lebih mudah akan dapatkan pekerjaan. Di negara tetangga, Denmark, orang yang ingin menikahi orang asing harus memiliki uang dalam jumlah tertentu (di bank) supaya masa depan pasangan baru tidak akan bergantung pada pemerintahan Denmark. Oleh karena peraturan ini, yang amat menyusahkan banyak pasangan campuran muda, Swedia Selatan sekarang dibanjiri pasangan Denmark-asing, karena di sini lebih muda untuk mendapatkan izin tinggal dan izin kerja.

 

Konteks Indonesia

Di Indonesia, pasangan campuran (seorang Indonesia dan seorang asing) juga menghadapi pelbagai kesusahan dan diskriminasi. Ketika bertempat tinggal di Yogyakarta, saya (orang Swedia) dan istri saya (orang Jawa) sesekali mengunjungi Kraton pada hari Ahad untuk menikmati tarian tradisional Jawa. Tarian ini bagaikan angin sejuk di Yogya yang semakin semrawut, dan merupakan kegiatan yang menyenangkan.

 

Hanya saja, sesampai di loket Kraton, saya harus memilih antrean bul� sedangkan istri harus memilih antrean orang Indonesia. Harga masuk seorang asing jauh lebih tinggi daripada harga masuk orang Indonesia. Hal yang sama didapati di Borobudur, Prambanan dan pelbagai tempat wisata lainnya. Di pinggir jalan, orang asing tentu saja seringkali disuguhi harga yang lebih tinggi (jika dibandingkan dengan harga yang ditawarkan kepada orang Indonesia), tapi ini merupakan hal wajar, sebab hanya melibatkan penjual-penjual berskala kecil yang berusaha menafkahi keluarganya.

 

Wajar saja jika mereka berusaha mendapatkan uang tambahan dari kantong para turis yang datang ke negerinya. Namun, lain halnya jika pemerintahan (lokal ataupun  nasional) menetapkan ketentuan resmi yang membedakan para pengunjung sesuai dengan latar belakang mereka. Ketentuan demikian sepantasnya dinilai ketinggalan zaman dengan segala diskriminasinya.

 

Dalam rangka ini muncul gagasan terbaru untuk membiarkan orang asing yang ingin menikahi orang Indonesia menyetorkan tidak kurang dari Rp. 500 juta sebelum pernikahan boleh dilangsungkan. Konon, Mahkamah Agung diilhami kebiasaan di Mesir, di mana para WNA yang ingin menikahi orang Mesir harus sediakan uang sebanyak itu sebagai jaminan untuk perempuan yang dinikahi. Hakim Agung Andi Syamsu Alam menyatakan bahwa gagasan ini hanyalah untuk melindungi para perempuan Indonesia yang mau menikah dengan orang asing.

 

Sebagai orang asing yang sudah sendiri mengalami pernikahan dengan seorang perempuan dari Indonesia, saya ingin sedikit berbagi pengalaman dan memberikan opini saya ke hukumonline mengenai gagasan terbaru dari Mahkamah Agung ini. Jadi, dengan demikian ada beberapa hal yang perlu saya singgung berhubungan dengan masalah ini.

 

Pertama, gagasan ini dikatakan berdasarkan keinginan MA untuk melindungi para perempuan (sepertinya gagasan ini hanya berlaku untuk lelaki yang menikahi perempuan Indonesia) yang menikah dengan WNA. Perlindungan terhadap perempuan tentu saja merupakan hal yang baik dan sesuai dengan segala uraian tentang hak-hak asasi manusia. Namun, yang perlu dipertanyakan ialah mengapa perempuan yang menikah dengan orang asing harus dilindungi dengan cara khusus, dan mengapa perempuan yang menikah dengan orang sesama Indonesia tidak memerlukan perhatian khusus ini. Apakah ada studi yang menunjukkan bahwa perceraian dalam pasangan campuran lebih biasa daripada dalam pasangan murni Indonesia? Saya kira tidak.

 

Apakah ada studi yang menunjukkan bahwa perempuan Indonesia yang bercerai dari orang WNA akan lebih susah masa depannya jika dibandingkan dengan orang Indonesia yang bercerai dari orang Indonesia? Saya kira tidak. Ada suatu peribahasa dalam Bahasa Swedia yang muncul dalam benak penulis, yaitu Jangan lempar batu dalam rumah kaca. Artinya, tentunya, jangan menuduh orang lain sebelum benar-benar tidak bisa dituduh sendiri. Kalau pemerintah Indonesia dan MA ingin menunjukkan ikhtiad baik mereka untuk melindungi para perempuan Indonesia, masih banyak sekali yang dapat dikerjakan di Indonesia sendiri tanpa melibatkan orang asing (dan uangnya).

 

Kedua, pernikahan itu pasti ada prosedurnya yang perlu diikuti. Sebelum saya menikah, di Blora di Jawa Tengah, saya menghubungi Kedutaan Besar Swedia di Jakarta dan mendapatkan macam-macam formulir yang harus diisi dan dikirim ke instansi pemerintahan di Swedia. Setelah diperiksa di sana (yaitu berhak-tidaknya saya menikah, punyak-tidaknya saya istri lain, dan seterusnya) surat izin nikah dikirim ke Kedutaan di Jakarta, dan saya harus mengambilnya sendiri di Konsulat Swedia di Surabaya.

 

Nah, surat tersebut saya membawa ke Kantor Urusan Agama (KUA) di Blora, di mana surat itu dinilai sah dan persiapan dengan pernikahan kami dapat diteruskan. Setelah pernikahan kami berlangsung di Blora dan kami sudah mendapatkan buku nikah kami, saya kembali hubungi instansi di Swedia yang bersangkutan dan pernikahan kami dinilai sah juga di Swedia dan dicatat di sana. Jadi, status saya dan pasangan saya sebagai suami-istri tak dapat disangkal baik di Indonesia maupun di Swedia. Jika terjadi perceraian setelah pernikahannya tercatat dan dinilai sah baik di Indonesia maupun di negara si WNA, pastilah juga ada prosedurnya untuk melindungi kedua pihak.

 

Ketiga, pernikahan campuran di Indonesia sangat dihebohkan sekitar tahun 2000 ketika sejumlah artis Indonesia menikah dengan lelaki asing, dan kemudian bercerai atau setidaknya menguraikan masalah-masalah mereka dalam sejumlah tabloid mingguan dengan panjang-lebar.

 

Berhubungan dengan ini saya kira bahwa artis-artis ini tidak bergantung pada suatu jaminan uang dari suami WNA, dan saya juga yakin bahwa para wartawan tabloid-tabloid ini sangat semangat mengikuti masalah dan perceraian yang melibatkan artis dan orang asing, sebab orang pasti akan tertarik membaca beritanya. Yang seringkali dilupakan (dalam bidang kewartawanan apa saja) ialah bahwa wartawan tidak pernah tertarik mewartakan hal-hal yang harmonis, yang rukun, yang berjalan dengan lancar, yang penuh kebahagiaan. Tidak ada yang sedia membeli majalah gosip kalau isinya hanya laporan mengenai pasangan-pasangan yang hidup secara damai tanpa masalah. Yang dicari si pembaca memang tulisan tentang masalah orang lain. Menyedihkan tapi betul.

 

Keempat, gagasan Mahkamah Agung ini berdasarkan ide sesat tentang kemampuan dan kekayaan orang asing. Ide sesat ini cukup biasa di Indonesia, dan dapat disingkatkan begini: orang asing itu kaya-raya. Jika dipikir lebih lanjut, tentu saja tidaklah demikian, dan kebanyakan orang asing yang menikahi orang Indonesia akan mengalami kesusahan yang amat berat jika mereka diharuskan menyetorkan Rp. 500 juta sebelum pernikahan.

 

Dan keadaan ini menimbulkan kekhawatiran yang lain, yaitu bahwa pasangan campuran yang ingin menikah tapi tidak memiliki uang sebanyak itu akan melangsungkan kehidupan mereka dengan cara tidak menikah ataupun dengan menikah tanpa ikuti prosedur yang digambarkan di atas. Maka, kalau begitu si perempuan tidak bisa dilindungi sama sekali oleh hukum karena pernikahannya memang tidak terdaftar, di Indonesia maupun di negara si bule. Kalau begitu, gagasan MA ini dapat dikatakan sangat kontraproduktif. Yang jelas, saya dan istri saya tidak dapat menikah kalau ketentuan ini berlaku beberapa tahun yang lalu. Kami menikah ketika kami berdua masih mahasiswa tanpa penghasilan apa-apa.

 

Kelima, gagasan MA ini juga pada dasarnya berdasarkan ide bahwa pernikahan campuran ini merupakan sesuatu yang tidak baik, yang tidak ikhlas dan yang tidak sesuai dengan adat-istiadat Indonesia. Pandangan demikian tentu saja sangat keliru. Rasa cinta dan kasih sayang tidak kenal batas negara ataupun batas etnis, dan seperti sudah disinggung di atas, tak ada studi yang menunjukkan bahwa pasangan campuran lebih sering mengalami masalah ataupun perceraian jika dibandingkan dengan pasangan serba-Indonesia. Jika dipikirkan bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat luas, mungkin gagasan tentang pernikahan campuran ini juga perlu diperluas supaya pernikahan antara seorang perempuan Jawa dengan seorang lelaki Sumatra juga disebut pernikahan campuran. Tak ada janji si abang dari Sumatra akan mendampingi sang istri di Jawa secara terus-menerus. Kalau begitu, ada jaminan apa bagi perempuan tadi?

 

Keenam, merupakan kegiatan aneh untuk menyebutkan suatu jumlah uang untuk menilai seorang perempuan. Siapa yang berhak menentukan nilai seorang perempuan? Tak ada. Apakah perempuan dapat dinilai dengan uang? Tentu saja tidak. Kalau begitu, usulan MA ini lebih dapat dikatakan mirip dengan perbudakan legal, di mana perempuan kurang-lebih dijual dengan harga Rp. 500 juta tadi. Menrurut kesan saya, gagasan MA ini sangat merendahkan perempuan Indonesia, dan juga merendahkan setiap pasangan campuran yang dengan segala perbedaannya berusaha untuk menjalankan kehidupannya secara bersama-sama.

 

Ketujuh, saya tunggu dengan tegang pendapat para ulama dan tokoh masyarkat di Indonesia mengenai usulan MA ini. Menurut rasa awam saya, gagasan ini bertolak belakang dengan Islam sendiri, sebab jodoh seseorang ditentukan Allah, dan bukan Mahkamah Agung (sebab MA dengan usulan ini bakal menghalangi pernikahan). Rasanya sangat tidak pas jika MA dan uang ikut menentukan bisa-tidaknya dua orang melangsungkan ibadah nikah. Jelas pula sekiranya bahwa Rp. 500 juta tidak bisa diterima oleh ulama sebagai syarat nikah. Mas kawin khan sebetulnya cukup dengan satu ayat al-Qur'an, jika mempelai laki-laki tak punya yang lain.

 

Kedelapan dan terakhir, saya merasa kasihan sama sang Hakim Agung yang mengedepankan usulan ini, karena jelas sekali bahwa ia tidak pernah jatuh cinta ataupun tersentuh rasa sayang yang sejati. Kalau demikian, mustahil ia mengedepankan usulan tak berdasar ini.

 

*) Penulis adalah warga negara Swedia kelahiran 1975, yang menikahi seorang perempuan WNI. Doktor lulusan Universitas Lund Swedia dengan judul tesis Ramadhan in Java: The Joy and the Jihad of Ritual Fasting (sudah diterbitkan dalam edisi Indonesia dengan judul Ramadhan di Jawa, Pandangan dari Luar; Penerbit Nalar, September 2005).

Pergaulan ini, yang melewati batas negara, etnisitas ataupun agama, sudah barang tentu tidak dapat dibatasi atau dikontrol oleh suatu instansi atau pemerintahan. Melalui perjalanan (di dunia nyata maupun di dunia maya) yang mengurangi nilai-nilai pelbagai perbatasan, orang juga akan tertarik pada filsafat, gagasan, olah raga, musik, agama, perempuan, lelaki, candi, pantai, dan lain sebagainya di tempat-tempat yang disinggahi.

 

Maka, jangan heran kalau ada orang Perancis yang mahir main karawitan di Surakarta, atau pun orang Jawa yang mengajarkan Bahasa Jerman di Jepang. Perbatasan dan halangan yang berdasarkan asal-usul yang berbeda akan semakin kecil pengaruhnya, dan orang tidak akan menilai orang dan gagasan berdasarkan tempat kelahiran atau tempat berkembangnya. Kebiasaan demikian akan dinilai ketinggalan zaman, dan merupakan peninggalan rasistis. Setidaknya begitu dalam teori.

 

Dengan latar belakang tersbut, kami merasa kaget akan perilaku berbagai pemerintahan dan instansi terhadap orang yang tidak (atau belum) memiliki kewarganegaraan dalam negara yang bersangkutan. Di Swedia, orang asing kadang-kadang sangat susah mendapatkan pekerjaan walaupun mereka berpendidikan tinggi. Kesusahan ini seringkali berdasarkan kekurangtahuan orang Swedia tentang apa yang dinilai asing itu, dan ketakutan tak berdasar terhadap apa saja yang berbau aneh.

Halaman Selanjutnya:
Tags: