Bisakah Hukum Tanah Menjadi Alat Pemersatu Bangsa?
Resensi

Bisakah Hukum Tanah Menjadi Alat Pemersatu Bangsa?

Inilah buku yang ditulis oleh mantan hakim yang mengkritisi penerapan hukum tanah di era Orde Baru.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Bisakah Hukum Tanah Menjadi Alat Pemersatu Bangsa?
Hukumonline

 

Gagasan luhur penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk kesejahteraan masyarakat tertuang dalam pasal 33 UUD 1945. Lalu, dijabarkan lewat Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), dan sejumlah peraturan organik lain sesudahnya.

 

Kalau gagasannya begitu luhur, mengapa masalah tanah terus menghantui pembangunan nasional hingga sekarang? Bahkan ia menjadi bagian dari masalah pembangunan itu sendiri?

 

Pertanyaan inilah antara lain yang ingin dijawab oleh penulis. Sebagai mantan hakim--terakhir sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Yogyakarta--besar kemungkinan penulis berhadapan langsung dengan masalah hukum tanah dalam praktik. Dengan asumsi itu, cukup beralasan untuk mengetahui pandangan dan solusi yang diajukan penulis.

 

 

Hukum Tanah Nasional dalam Perspektif Negara Kesatuan

 

Penulis: Mohammad Hatta, SH., MKn

Penerbit: Media Abadi Yogyakarta 2005

Halaman: 347 (termasuk lampiran)

 

 

Lewat buku ini, penulis menggambarkan begitu banyak peraturan tentang pertanahan, mulai yang berbentuk TAP MPR, UU, PP hingga Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sayang, dalam praktik terjadi ketidakpastian hukum. Ini antara lain disebabkan ketidaksinkronan vertikal dan horisontal serta prosedur yang rumit. UUPA misalnya tidak mengatur secara jelas pengadilan mana yang berwenang menangani kasus-kasus pertanahan, apakah peradilan umum biasa atau peradilan tata usaha negara (hal. 169).

 

Masalah hak pakai adalah contoh lain. Dalam rangka menjadikan hukum tanah sebagai pemersatu bangsa, maka masalah hak pakai perlu mendapat perhatian serius. Terutama berkaitan dengan rumah tinggal atau hunian oleh orang asing yang tinggal di Indonesia (PP No. 41 Tahun 1996). Atas nama investasi dan promosi pariwisata, pemerintahan Orde Baru telah menggunakan rezim hak pakai bagi warga negara asing, dalam konteks multitafsir (hal. 165).

 

Kepemilikan tanah oleh warga negara asing dikaitkan dengan konteks kesatuan bangsa. Bentuk negara kesatuan sudah menjadi pilihan bangsa Indonesia saat ini. Mengutip teori-teori ketatanegaraan, penulis mengatakan bahwa negara kesatuan terwujud antara lain jika pemerintah pusat dan daerah tidak sederajat. Mengacu pada teori F. Strong dan Kranenburg, penulis menganggap Indonesia de facto tidak menerapkan trias politica. Lantas, bagaimana korelasinya dengan ‘nasionalisme' hukum pertanahan? Tak ada gambaran yang jelas dari penulis kecuali menawarkan solusi kepada nilai-nilai Pancasila, sebuah solusi yang didengung-dengungkan juga pada masa Orde Baru dan dalam buku ini telah dikritisi oleh penulis.

 

Dengan mengkaji jargon ‘kepentingan umum' dan ‘pembangunan', atau ‘hukum adat yang tidak bertentangan dengan prinsip persatuan', penulis ingin menggambarkan pertentangan riil antara hakekat kepemilikan tanah dan penggunaannya. Dalam praktik, sering terjadi Pemerintah mendukung pembebasan tanah dengan dalih untuk kepentingan pembangunan. Pemerintah dalam konteks ini bisa diwakili institusi tertentu. Penulis memberi contoh sengketa tanah antara TNI dengan masyarakat.

 

Maraknya sengketa tanah sulit dihindari jika hukum pertanahan tidak ditata dengan baik. Pada tataran ideologis, ada tawaran untuk kembali ke nilai-nilai luhur Pancasila. Tetapi pada tataran praktis, reformasi kelembagaan menjadi penting.

 

Bagi penulis buku kelahiran 3 Maret 1940 ini, peradilan khusus pertanahan menjadi kunci. Peradilan sejenis dianggap sudah menjadi kebutuhan mendesak serta menjadi mekanisme alternatif penyelesaian perkara di bidang pertanahan. Jika ada peradilan khusus, tidak akan terjadi lagi titik singgung dan kebingungan antara peradilan umum atau PTUN. Dalam impian penulis, peradilan khusus ini mencakup aspek pidana, perdata dan tata usaha negara sekaligus (hal. 170).

 

Sayang solusi itu tak mampu menutupi banyak kelemahan dalam buku ini. Proses editing yang tidak cermat, ditandai antara lain singkatan UUAP untuk menyebut UUPA terasa sangat mengganggu. Ketidakcermatan lain juga terlihat pada daftar pustaka. Referensi tidak tertata dengan baik. Ada buku yang tidak jelas penerbit, tahun, atau judulnya.

 

Gangguan lain dapat dilihat pada Bab 4 bagian C. Pada bagian ini penulis mengulas dengan judul Kebijakan Pertanahan Sebelum Lahirnya UUPA. Tetapi penulis kebablasan menulis hingga zaman reformasi, bahkan sampai ke masalah-masalah aktual.

 

Lebih disayangkan lagi, sebagai mantan hakim penulis tak menyinggung sama sekali bagaimana putusan-putusan pengadilan yang tumpang tindih, sehingga turut mempengaruhi ketidakpastian hukum pertanahan. Padahal tulisan semacam itu, dari perspektif seorang hakim pula, akan sangat ditunggu dalam khasanah literatur hukum nasional.

Hampir semua krisis ekonomi yang pernah melanda dunia, sumber utamanya adalah karena merajalelanya spekulan tanah. Kata-kata Fred Harrison itulah yang dikutip penulis saat memulai bab yang mengkaji hukum tanah dalam perspektif memperkokoh negara kesatuan. Spekulasi terhadap tanah berdampak buruk pada keutuhan masyarakat.

 

Dalam konteks itu pula Wakil Presiden Mohammad Hatta pernah bertutur sebaiknya tanah jangan dijadikan komoditi; jangan dijadikan objek perniagaan dan diperjualbelikan semata-mata untuk mencari keuntungan. Monopoli dan spekulasi tanah sebaiknya dilarang.

Tags: