Tidak Gampang Menyeret Hakim ke Meja Hijau
Fokus

Tidak Gampang Menyeret Hakim ke Meja Hijau

Seorang hakim dipecat karena menerima suap Rp1,8 miliar dan memutus perkara di luar wewenangnya.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Tidak Gampang Menyeret Hakim ke Meja Hijau
Hukumonline

 

Dalam sejarah panjang dunia peradilan, sangat sedikit catatan yang mengungkap hakim duduk di kursi terdakwa. Padahal hakim dan para staf pengadilan dipandang sebagai bagian dari mafia peradilan yang sudah tumbuh sejak dulu. Laporan-laporan yang masuk ke Komisi Ombudsman Nasional atau berbagai riset menunjukkan data yang menjadikan dunia peradilan sebagai peringkat atas korupsi.

 

Faktanya, hakim atau staf pengadilan yang duduk di kursi terdakwa apalagi yang harus mendekam di penjara bisa dihitung dengan jari. Sebagai contoh, operasi tertib yang digelar Pemerintah pada 1981 berhasil menjerat empat orang hakim senior: Heru Gunawan, HM Soemadijono, Hangku Izmu Azsar dan JZ Laudoe. Dua di antaranya harus duduk di kursi terdakwa. Laudoe divonis 1,6 tahun penjara, dan Heru dijatuhi hukuman 6 bulan penjara.

 

Enam tahun kemudian, persisnya 1987, Rowiyanto, Ketua PN Malang terpaksa duduk di kursi pesakitan karena menggelapkan uang titipan milik Universitas Brawijaya Malang. Pada tahun itu juga dua hakim, Mutojo dan M. Hatta dituduh menerima suap. Dunia peradilan geger ketika Ny Mimi Lidyawati melempar sepatunya ke hakim Razak gara-gara vonis yang dijatuhkan ke Nina, terlalu ringan. Padahal Ny Mimi mengklaim telah memberikan uang 2,5 juta agar terdakwa yang telah menipu dirinya dihukum berat.

 

Seiring perjalanan waktu, satu demi satu praktek kotor di pengadilan memang berhasil dibongkar. Skandal Gandhi Memorial School dibongkar sendiri oleh seorang hakim agung. Pemberian uang kepada tiga orang hakim agung dilaporkan oleh Endin Wahyudin. Skandal pertama cuma diselesaikan lewat pembentukan Korwasus (koordinator pengawasan khusus). Kasus kedua berhasil menyeret hakim agung M. Yahya Harahap, Marnis Kahar dan Supraptini Sutarto ke kursi pesakitan pada pertengahan 2001. Tetapi ketiga hakim agung lolos dari tuduhan jaksa. Majelis hakim menganggap mereka tidak dapat diperiksa dan diadili berdasarkan dakwaan yang batal demi hukum.

 

Pada masa yang hampir bersamaan F. Zendrato, hakim PN Selatan, duduk di kursi terdakwa. Hal yang sama menimpa Zainal Agus, Kasubdit TUN MA, meskipun akhirnya lolos dari jerat hukum. Lalu, ada kasus tiga orang hakim Manulife yang tak sampai ke meja hijau karena sudah lolos pada pemeriksaan di Majelis Kehormatan Hakim.

 

Terobosan KPK

Setelah kasus ketiga hakim agung selesai diputus pengadilan, nyaris tidak ada lagi perkara yang melibatkan hakim atau staf pengadilan muncul ke permukaan. Kalaupun yang sayup-sayup terdengar adalah pemeriksaan sejumlah staf PN Jakarta Timur yang diduga terlibat pemalsuan putusan, yang mengakibatkan dua bandar narkoba internasional lolos dari Lembaga Pemasyarakatan. Tindak lanjut kasus ini nyaris tak terdengar, hingga tiba-tiba Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggebrak.

 

Komisi yang baru terbentuk pada 2003 ini menahan Ramadhan Rizal dan Mohammad Soleh. Keduanya bertugas di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Rizal menjabat sebagai Wakil Ketua Panitera, sedangkan Soleh sebagai Panitera Pidana. Keduanya ditahan gara-gara tuduhan menerima suap dari T. Syaifuddin Popon, advokat yang kala itu sedang menangani perkara Abdullah Puteh. Mereka pun terancam hukuman masing-masing 4,5 tahun penjara.

 

Gaung penangkapan Panitera PT DKI Jakarta belum habis, KPK kembali menggebrak dengan menangkap basah aparat dunia peradilan yang terlibat suap menyuap. Kali ini langsung ke Mahkamah Agung. Nama Bagir Manan pun terseret. Maklum penyuapan itu dilakukan dalam perkara yang sedang ditangani Ketua MA itu.

 

Lima pegawai MA yang terlibat langsung dipecat. Namun upaya KPK untuk naik ke arah yang lebih tinggi tidak berjalan mulus. Bagir tidak memenuhi surat panggilan pertama dari KPK. Setelah melalui serangkaian rapat pimpinan barulah Bagir bersedia dimintai keterangan di kantornya. Ruang kerjanya digeledah para penyidik. Dua hakim agung lain yang menangani perkara Probosutedjo, Parman Suparman dan Usman Karim, bersedia memberi keterangan langsung ke kantor KPK di Jalan Veteran III Jakarta Pusat.

 

Dunia hukum Indonesia pun heboh. Sikap Bagir yang bersedia diperiksa KPK di satu sisi dianggap sebagai preseden baik bagi pemberantasan mafia peradilan. Berarti ada kemauan besar dari petinggi dunia peradilan untuk membongkar tabir yang selama ini nyaris tertutup rapat. Tetapi di sisi lain, sebagian hakim mengecam langkah penyidik KPK yang menggeledah ruangan Bagir. Kecaman itu justeru datang dari organisasi tempat bernaungnya para hakim seluruh Indonesia: Ikahi.

 

Menggugat imunitas hakim

Keterlibatan staf MA dalam suap menyuap perkara Probo nyaris telanjang, apalagi  ada yang tertangkap basah. Lalu, apakah ada hakim yang terlibat? Terlalu dini untuk menyimpulkan.

 

Seyogianya, independensi hakim tidak menjadi halangan bagi KPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. Di mata advokat Dominggus Maurits Luitnan, profesi hakim tidak bisa dijadikan tameng untuk lolos dari jerat hukum. Setiap orang seharusnya sama di depan hukum, terlepas dari apapun profesi dan latar belakangnya.

 

Cuma, menurut Dominggus, masih ada penyimpangan terhadap asas kesamaan hukum itu dalam praktek. Salah satunya, ya, datang dari kalangan hakim sendiri. Hakim seolah-olah menjadi manusia yang tidak tersentuh hukum, ujarnya kepada hukumonline.

 

Di mata Dominggus, Mahkamah Agung ikut andil membangun tembok perlindungan bagi para hakim, panitera dan staf pengadilan lainnya. Itu terlihat pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2002. SEMA ini menegaskan bahwa pejabat pengadilan yang melaksanakan tugas yustisial tidak diperiksa baik sebagai saksi maupun tersangka, kecuali yang sudah ditentukan undang-undang. SEMA itu telah menjadi tempat berlindung bagi hakim, untuk menutupi kesalahan mereka, ujarnya.

 

Dominggus sudah punya pengalaman. Ia melaporkan Ketua PN Jakarta Selatan ke polisi. Belakangan, polisi mengeluarkan surat perintah penghentian atas pengaduan itu. Polisi lebih menghormati SEMA No. 4 ketimbang meneruskan pengaduan Dominggus. Makanya, ia mengecam SEMA tersebut.

 

Nah, Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung pun dinilai Dominggus mengandung pasal yang mempersulit penindakan hakim-hakim nakal. Itu sebabnya, Dominggus bersama dua koleganya dari Lembaga Advokasi Dominika, H. Ali Azi Tjasa dan Toro Mendrofa, mengajukan judicial review atas Undang-Undang Mahkamah Agung dan Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Permohonan ini masih disidangkan.

 

Menanggapi ‘gugatan' Dominggus dan kawan-kawan, Pemerintah dan Mahkamah Agung satu suara. Mekanisme pengawasan hakim bermasalah sudah jelas. Direktur Hukum dan Peradilan (Dirkumdil) Suparno mengatakan bahwa MA tidak pernah menghalang-halangi pemeriksaan terhadap hakim yang diduga melakukan kesalahan atau unprofesional conduct. Ia mempersilahkan Komisi Yudisial, sebagai lembaga yang dibentuk untuk mengawasi para hakim, untuk menjalankan tugas dan kewenangannya sesuai ketentuan.

 

Apa batas ketentuannya? Bagi Pemerintah, kata Menteri Hukum dan HAM (Menhukham) Hamid Awaluddin di depan sidang perkara ini, Komisi Yudisial hanya sebagai pengawas eksternal. Sehingga Komisi ini hanya sebatas mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap hakim (pasal 23 ayat 1 UU No. 22 Tahun 2004).

 

Keputusan akhirnya tindakan hukum terhadap hakim bermasalah tetap ada di tangan MA atau Mahkamah Konstitusi. Memang, bukan perkara mudah membawa hakim ke kursi pesakitan. Kalaupun bisa, masih ada tantangan berikutnya yang harus dilewati: espirit d'corps.

 

Di mata Rifki S. Assegaf, Direktur Eksekutif LeIP, yang harus dilakukan MA adalah keterbukaan dan transparansi dalam pemeriksaan hakim-hakim atau staf pengadilan bermasalah.

Kabar itu datang dari Ketua Muda Mahkamah Agung (MA) Bidang Pengawasan Gunanto Suryono. Usai mengikuti rapat tertutup dengan Komisi III DPR, Rabu malam (6/12), petinggi MA membeberkan hasil pengawasan dan penindakan terhadap hakim, panitera dan staf pengadilan.

 

Sebagaimana diberitakan, ada 25 orang staf pengadilan, termasuk hakim, yang ditindak. Kini, 77 orang lagi menyusul diperiksa secara intensif. Penindakan dan pengawasan itu dilakukan untuk merespon pengaduan masyarakat.

 

Hingga kini identitas dan tempat tugas hakimyang dipecat tersebut tetap misterius. MA seperti menutup rapat informasi. Ironisnya, meskipun sudah terang kejahatannya bahkan sudah dipecat, sang hakim belum tentu akan duduk di kursi pesakitan sebagaimana orang lain yang menerima suap. MA memang berniat melaporkan masalah itu ke aparat hukum. Tapi, itu nantilah setelah dievaluasi lagi, ujar Gunanto kepada wartawan.

 

Ucapan Gunanto seperti mempertegas asumsi banyak orang selama ini: tidak gampang menyeret hakim ke pengadilan. Meskipun bagi awam, sudah cukup kuat alasan untuk menyeret seorang aparat pengadilan ke kursi pesakitan, realisasinya tidaklah segampang membalik telapak tangan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: