Pelanggar HAM Berat Diancam Pidana Mati
Berita

Pelanggar HAM Berat Diancam Pidana Mati

Jakarta, Hukumonline. Para pelanggar Hak Azasi Manusia (HAM) bersiap-siaplah. Mereka yang telah melanggar HAM kelas berat itu diusulkan untuk dihukum mati. Namun, usulan hukum mati dalam RUU Pengadilan HAM ditentang oleh pemerintah. Mungkinkah Indonesia menghukum mati pelanggar HAM kelas berat?

Oleh:
Inay/Apr
Bacaan 2 Menit
Pelanggar HAM Berat Diancam Pidana Mati
Hukumonline
Panitia Khusus komisi II DPR telah selesai melaksanakan rapat kerja dengan Menteri Hukum dan Perundang-undangan untuk menyiapkan Rancangan UU (RUU) Pengadilan HAM sebelum diajukan ke rapat Panitia Kerja (Panja). Rencananya, usulan RUU pengadilan HAM ini akan dilanjutkan setelah masa reses DPR.

Pemerintah mengajukan usulan yang memasukkan pidana maksimal seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 th dan paling singkat 5 th bagi pelanggar HAM. Sementara Fraksi Persatuan Pembangunan dan TNI/Polri mengusulkan untuk memasukkan pidana mati untuk menggantikan pidana seumur hidup.

Pemerintah memberikan alasan mengapa memasukkan pidana seumur hidup di dalam RUU yang diajukannya. Ini karena masukan dari amnesti internasional yang mengatakan bahwa pidana mati sudah tidak diperbolehkan lagi.

Tampaknya, pemerintah merujuk kepada Protokol Optional Kedua pada Konvenan International tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang ditujukan pada penghapusan hukuman mati. Para negara peserta konvensi ini diingatkan bahwa semua upaya penghapusan hukuman mati akan dianggap sebagai kemajuan dalam menikmati hak atas penghidupan.

Pada Protokol Optional Pasal 1 (1) disebutkan bahwa tidak seorang pun yang berada di dalam kekuasaan negara protokol ini dapat dihukum mati. Sementara pada Pasal 1 (2) disebutkan setiap negara peserta akan menggunakan semua upaya yang diperlukan untuk menghapus hukuman mati di dalam kekuasaannya.

Landasan dari Protokol Optional ini adalah Pasal 3 Deklarasi Universal tentang Hak-hak Azasi Manusia yang disetujui pada 10 Desember 1948 serta Kovenan International tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang disetujui pada 16 Desember 1966.

Indonesia yang belum mengikuti Protokol Optional memang tidak harus mengikuti aturan ini. Namun Indonesia bisa mendapatkan peringatan dari negara lain, terutama dari negara Barat, jika melanggar HAM. Pasalnya, isu HAM dan lingkungan termasuk agenda utama dunia internasional. Tentu saja mereka menggunakan kacamata HAM menurut versi mereka.


Hukuman mati

Aisyah Amini, anggota Fraksi Persatuan Pembangunan, justru berpendapat hukuman mati bagi pelanggar HAM. Alasannya, Aisyah melihat hukuman mati sudah ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka. Ini tidak berubah sampai sekarang, katanya.

Rujukan Aisyah adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP saja yang unsurnya tidak seberat itu saja hukumannnya mati. Ini sekarang unsurnya lebih berat malah tidak dihukum mati, ujarnya.

Kontradiksi yang dilihat Aisyah itu adalah orang yang melakukan pembunuhan secara berencana dikenakan hukuman mati. Sementara dalam UU perlindungan HAM, melakukan tindakan pelanggaran HAM berat yang unsurnya berat malah tidak dihukum mati. Melakukan pembunuhan terhadap satu suku segala macam, kok hukumannya lebih rendah, cetusnya.

Pada Pasal 340 KUHP dinyatakan bahwa barangsiapa dengan sengaja dan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Pelanggaran berat

Sayangnya, rumusan mengenai HAM berat belum jelas diatur dalam RUU Pengadilan HAM. Pelangaran HAM yang terdapat di Pasal 1 ayat (2),(3),(4) dan Pasal 5 RUU pengadilan HAM, rumusan pelanggaran HAM berat terlalu umum.

Menurut analisis Tim Asistensi Sentra HAM Fakultas Hukum Universitas Indonesia, unsur berat belum tercermin bahkan cenderung sama dengan apa yang diatur dalam KUHP. Beberapa hal tertentu seperti penculikan, pembakaran, dan pengrusakan malah diatur lebih rinci dalam KUHP.

Pada usulan RUU Pengadilan HAM Pasal 5 disebutkan: Pelanggaran HAM yang berat sebagaimana dimaksus dalam Pasal 1 angka 2 adalah pelanggaran HAM yang dilakukan dengan meluas dan sistematis meliputi….

Dalam Pasal 5 mengenai pelanggaran HAM berat tidak terdapat kejahatan perang sebagai salah satu kejahatan internasional yang juga merupakan pelanggaran HAM berat. Oleh karena itu perlu ditambah satu paragraf baru tentang kejahatan perang.

Namun kejahatan internasional seperti kejahatan perang, apartheid, penyiksaan, genosida dapat dipidana. Pasalnya kehahatan ini telah diatur dalam hukum internasional. Pengadilan HAM dimungkinkan untuk memeriksa dan memutus kejahatan yang dianggap kejahatan internasional sebelum ada perundang-undangan nasional.

Menteri Hukum dan perundang-undangan, Yusril Ihza Mahendra menjelaskan, penyidikan pelanggaran HAM di Timor Timur dapat menggunakan Perpu No. 1/1999 tentang Pengadilan HAM. Perpu ini memang ditolak masyarakat, tapi tidak otomatis batal karena secara formil harus dicabut lebih dulu.

Perpu tidak bisa dicabut sebelum UU-nya selesai. Ini yang menjadi masalah. UU-nya kapan dilahirkan, kata Yusril. Dalam RUU pengadilan HAM disebutkan, jika UU berlaku, otomatis mencabut Perpu.

Para pelanggar HAM akan ditentukan status hukuman pidananya setelah UU pengadilan HAM telah diundangkan. Jika usulan hukuman mati tidak masuk, bebaaslah para pelanggar HAM dari hukuman mati.
Tags: