Hak Cipta Bukan Semata-mata Kepentingan Pelaku Usaha
Doddy W. Kosasih, SH. LLM (*)

Hak Cipta Bukan Semata-mata Kepentingan Pelaku Usaha

Dengan semakin ketatnya persaingan usaha, konsumen produk elektronik gencar diberikan tawaran fitur-fitur menarik, model baru, teknologi tercanggih dan lain sebagainya.

Bacaan 2 Menit
Hak Cipta Bukan Semata-mata Kepentingan Pelaku Usaha
Hukumonline

 

Hak moral sendiri menurut penjelasan Pasal 24 UU Hak Cipta, dijelaskan bahwa pencipta memiliki hak untuk dicantumkan namanya, mencegah bentuk-bentuk distorsi, mutilasi, perubahan, pemotongan, perusakan, penggantian karya cipta yang pada akhirnya merusak apresiasi dan reputasi pencipta.

 

Hak moral mempunyai peranan kuat untuk melindungi hak pencipta atas barang-barang budaya, seni dan sastra. Misalnya, kita tidak bisa menghapus coretan nama pelukis dalam lukisan yang kita beli. Tetapi bagaimana penerapannya dalam barang-barang elektronik menggunakan program komputer yang diproduksi secara masal seperti handphone, printer, komputer, mobil, TV?

 

Apabila kita dilarang menambah fungsi handphone milik kita sendiri, tanpa menghilangkan fungsi asal, tanpa terikat dalam kontrak bentuk apapun dianggap melanggar hak moral pencipta, maka jelas hal ini dilakukan dengan tujuan bukan untuk melindungi apresiasi dan reputasi pencipta, melainkan untuk melindungi pangsa pasar (market-share) jasa layanan operator pelaku usaha, suatu hak yang lebih luas di luar fungsi dan sifat Hak Cipta pasal 1 dan pasal 2 UU Hak Cipta, yaitu membatasi perbanyakan atau pengumuman ciptaan. Perluasan yang melebihi tujuan asal UU Hak Cipta dan mengganggu keseimbangan kepentingan pencipta dan publik dalam wacana asing sering disebut juga dengan istilah Paracopyright atau Pseudo-copyright.

 

Pelaku usaha beranggapan bahwa kita sebagai konsumen, berdasarkan pasal 5 UU tentang Perlindungan Konsumen telah melanggar amanat untuk menjalankan kewajiban selaku konsumen, yaitu beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang. Bukankah pelaku usaha juga mempunyai kewajiban untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya dan memperlakukan konsumen secara benar dan jujur sesuai pasal 7 UU Perlindungan Konsumen?

 

Apakah tindakan Pelaku Usaha dalam mengikat konsumen demi menjamin pemasukan tetap bagi mereka tanpa adanya suatu kontrak penggunaan, dan membatasi kebebasan konsumen menggunakan produk pesaing merupakan suatu itikad baik? Apabila operator handphone pelaku usaha mempunyai kepentingan yang wajar (dalam arti keuntungan wajar), maka konsumen tidak mungkin beralih menggunakan operator lain.

***

Ada dua kasus hak cipta menarik yang baru diputus di Amerika Serikat dan satu kasus hak cipta di Australia menyangkut kepentingan konsumen. Di Amerika Serikat, perusahaan printer ‘Lexmark' berkeinginan untuk mengikat konsumennya memakai refill cartridge tinta orisinil yang harganya mahal. Oleh karena itu ‘Lexmark' membuat program komputer printer untuk melakukan secret-handshake dengan cartridge sebelum dapat digunakan.

 

Ketika perusahaan pesaing berhasil menemukan cara membuat cartridge buatan mereka berfungsi dengan printer ‘Lexmark', maka ‘Lexmark' mengajukan gugatan bahwa perusahaan pesaing melanggar Hak Cipta ‘Lexmark', dan di Pengadilan Negeri ‘Lexmark' dimenangkan. Pada Oktober 2004, putusan tersebut dibatalkan oleh pengadilan tingkat banding. Dalam tingkat banding, diputuskan bahwa pembeli printer mempunyai hak sepenuhnya untuk menjalankan printer mereka dan perusahaan pesaing mempunyai hak menjual cartridge alternatif printer ‘Lexmark'. Selanjutnya, permohonan kasasi ‘Lexmark' ditolak pada bulan Juni 2005.

 

Putusan awal yang memenangkan ‘Lexmark' mendorong ‘Chamberlain Group', sebuah perusahaan pintu garasi, untuk mengajukan gugatan hak cipta terhadap pesaing yang menjual remote universal untuk membuka pintu garasi buatan ‘Chamberlain'. Mereka menggugat perusahaan pesaing dengan alasan telah merusak, membuat tidak berfungsi, atau meniadakan program komputer pengunci yang terpasang pada pintu garasi ‘Chamberlain'.

 

Akan tetapi Pengadilan Distrik Utara Illinois pada bulan November 2003 memutuskan bahwa ‘Chamberlain' tidak mempunyai hak untuk mengkontrol bagaimana konsumen membuka garasi mereka kecuali konsumen telah menandatangani kontrak untuk itu.

 

Sedangkan di Australia, ‘Sony Playstation' kalah dengan Eddy Stevens, pemilik toko yang menyediakan jasa pemasangan mod-chips. ‘Sony Playstation' membagi pasar dunia menjadi beberapa region dan menjual game dengan harga berbeda-beda di setiap region. Game untuk region Australia dijual lebih mahal daripada region lain, seperti Asia.

 

Sarana yang digunakan untuk membagi region ini adalah kode akses yang tertanam di dalam game CD-ROMS dan alat pembaca kode tersebut dalam Boot-ROM Playstation Console. Dengan dipasangnya mod-chips pada Playstation console, Boot-ROM tidak meminta kode akses game CD-ROMS sehingga Playstation yang telah dimodifikasi dapat memainkan game-game region luar Australia maupun game bajakan.

 

Pasar game ‘Sony Playstation' terpengaruh dengan banyaknya pemasangan mod-chips, sehingga membuat Sony menuntut Eddy Stevens. Ada tiga hal yang dituntutkan oleh Sony kepada Eddy Stevens. Pertama, Eddy Stevens merusak, meniadakan, membuat tidak berfungsi sarana kontrol teknologi pengaman ciptaan, yaitu operasi Boot-ROM Playstation Console untuk membaca kode akses yang tertanam dalam game CD-ROMS. Kedua, Eddy Stevens memperbanyak penggunaan program komputer game CD-ROMS di dalam RAM Playstation Console. Ketiga, Eddy Stevens memperbanyak penggunaan film sinematografi game Playstation di dalam RAM Playstation Console.

 

Putusan Mahkamah Agung Australia tanggal 6 Oktober 2005 lalu memutuskan bahwa Eddy Stevens tidak melanggar UU Hak Cipta dan pemasangan mod-chips pada Playstation bukan tindakan melanggar hukum. Pemasangan mod-chips bukan bertujuan untuk memperbanyak karya cipta yang dilindungi UU Hak Cipta, dan sarana kontrol teknologi dalam bentuk CD-ROMS dan Boot-ROMS Playstation Console bukan termasuk dalam definisi sarana kontrol teknologi untuk mengamankan ciptaan, karena tujuan sebenarnya adalah pembagian region.

 

Sementara tuntutan perbanyakan penggunaan program komputer dan film sinematografi juga ditolak. Putusan ini dianggap sebagai kemenangan bagi konsumen Australia, karena memperbolehkan konsumen untuk membeli dan memainkan game-game resmi Sony region lain, daripada membayar harga game yang sengaja dipatok lebih mahal oleh Sony Playstation di Australia.

 

Dari ketiga putusan perkara di atas, terlihat bahwa penerapan UU Hak Cipta pada kasus barang-barang elektronik dengan program komputer tidak terbatas hanya untuk melindungi kepentingan pencipta tetapi juga harus tetap memperhatikan kepentingan masyarakat luas, khususnya konsumen dalam hal ini.

 

Sebagai penutup, penulis berharap bahwa UU Hak Cipta dapat ditafsirkan dan diterapkan secara proporsional dan seimbang antara kepentingan pencipta dan kepentingan masyarakat luas, bukan untuk menjadikannya sebagai alat pelaku usaha memonopoli harga (kasus ‘Sony Playstation'), alat pencegah persaingan usaha (kasus ‘Lexmark' dan ‘Chamberlain'), ataupun alat pengekang kebebasan konsumen menggunakan produk pesaing.

Tetapi apa yang terjadi apabila pelaku usaha tidak menggunakan kelebihan produk mereka sebagai daya tarik, tetapi menggunakan UU No.19/2002 tentang Hak Cipta untuk mengikat konsumen atas pilihan barang / jasa apa yang dapat dipakai? Jelas hal tersebut akan mempengaruhi kepentingan kita sebagai konsumen pemakai produk elektronik yang mengandung program komputer, seperti handphone, mobil, kulkas, mesin cuci, printer.

 

Sebagai contoh nyata, sebagai konsumen apa yang kita pikirkan apabila handphone yang telah dibeli lunas hanya diperbolehkan menerima satu layanan operator  pelaku usaha meskipun perangkatnya menunjang untuk multi-operator? Handphone tersebut dijual murah oleh pelaku usaha dengan harapan akan memperoleh keuntungan tetap dari pemakaian pulsa oleh konsumen.

 

Mungkin konsumen mula-mula terpancing untuk membeli handphone murah dengan fitur terbatas tersebut. Tetapi, lama kelamaan mereka akan sadar bahwa mereka terikat dengan teknologi lama dan harga layanan operator yang tidak kompetitif. Konsumen hanya dapat menggunakan layanan operator lain dengan cara membeli handphone baru. Handphone lama yang fiturnya sebenarnya menunjang sistem multi-operator akan sia-sia dan hanya akan menambah limbah elektronik apabila tidak digunakan.

 

Konsumen yang tidak terikat dengan adanya suatu kontrak penggunaan (Mobile Plan) dalam bentuk apapun kemudian menambah fungsi handphone untuk menerima layanan operator lain. Tetapi pelaku usaha menganggap tindakan konsumen ini sebagai menjebol program pengunci operator dan melanggar Pasal 27 UU Hak Cipta.   Berdasarkan Pasal 24 UU Hak Cipta, dikatakan: hak ekonomis berpindah ke pembeli tetapi hak moral akan selalu berada di tangan pencipta, yakni berupa hak intelektualnya (ownership of Intellectual Property).

 

Bahwa kepemilikan atas handphone tersebut bukan berarti pembeli bebas menggunakan atau memodifikasi. Sehingga, apabila pembeli menambah fungsinya untuk menerima jasa layanan operator lain maka dianggap sebagai suatu tindakan melanggar hak moral (integritas ciptaan) pencipta.

Halaman Selanjutnya:
Tags: