Masalah KUHAP Setelah Berlaku Hampir Seperempat Abad
Resensi

Masalah KUHAP Setelah Berlaku Hampir Seperempat Abad

Tepat 31 Desember 2005, KUHAP memasuki usia 24 tahun. Seperti halnya manusia, semakin tua usia semakin banyak terungkap sisi lain kehidupan. Cobaan datang silih berganti, terkadang muncul di antara titik lemah dan keraguan manusia untuk bertindak.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Masalah KUHAP Setelah Berlaku Hampir Seperempat Abad
Hukumonline

 

KUHAP disahkan pada 31 Desember 1981 melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Pada saat itu, kalangan hukum merespons kehadiran kodifikasi hukum acara pidana dan menganggap KUHAP sebagai karya agung bangsa Indonesia. Disebut demikian antara lain karena mengandung banyak kelebihan dibanding hukum acara terdahulu Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR).

 

 

Pembaharuan Hukum Acara Pidana

 

Penulis: Al. Wisnubroto dan G. Widiartana

Penerbit: Citra Adiyta Bakti Bandung 2005

Halaman: 136 + xii, termasuk daftar pustaka

 

Namun setelah berlaku lebih dari dua dekade, ternyata semakin menampakkan adanya keterbatasan. Harapan besar terhadap KUHAP pada tahun-tahun pertama penerapan, kini berubah menjadi pertanyaan setelah fakta mengungkap terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana. Faktanya, KUHAP masih saja menampakkan peluang untuk ditafsirkan sekehendak pihak yang berkepentingan, sehingga justeru semakin kehilangan aspek hukumnya. (hal. 3)

 

Pentingnya pembaharuan KUHAP menjadi tema utama yang diusung kedua penulis yang kebetulan staf pengajar di Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini. Trend perkembangan masyarakat dan modus operandi kriminalitas sudah begitu maju. Sistem pembuktian di dalam KUHAP misalnya mau tidak mau harus di-update. Kedua penulis menganggap pembaharuan KUHAP bukan hanya perlu, tetapi sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi (hal. 121).

 

Pembaharuan itu nampaknya harus dilakukan menyeluruh. Paling tidak ada 14 bagian yang perlu mendapat perhatian jika ingin memperbaharui KUHAP. Mulai dari ketentuan umum, proses penyidikan, penuntutan hingga eksekusi. Problem hukum yang muncul pada bagian-bagian tersebut diuraikan dalam buku setebal 136 halaman ini. Menariknya, problem hukum yang dicantumkan sudah merespons peristiwa-peristiwa yang selama ini banyak diberitakan. Termasuk merujuk kajian-kajian yang dilakukan hukumonline dalam konteks pembaharuan KUHAP.

 

Bahkan, kedua penulis berpendapat, ada hal-hal baru yang layak diintegrasikan ke dalam hukum acara pidana. Sebagai contoh adalah aturan tentang perlindungana saksi dan korban, korporasi sebagai subjek hukum, eksistensi lembaga pemantau peradilan, dan masalah eksaminasi publik (hal. 109). 

 

Untuk melakukan pembaharuan menyeluruh memang tidak gampang. Banyak hokum acara pidana yang tersebar dalam perundang-undangan di luar KUHAP. Adakanya perundang-undangan itu membuat terobosan penting. Misalnya terobosan terhadap asas ullus testis nullus testis dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

 

Jika ingin memperbaharui KUHAP, penulis mewanti-wanti agar tidak dilakukan secara serampangan. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyusun landasan pembaharuan itu sendiri, baru kemudian melakukan inventarisasi terhadap rumusan KUHAP yang sudah ketinggalan zaman atau yang perlu diperbaiki (hal. 5).

 

Sebenarnya, sebuah tim revisi sudah dibentuk diketuai oleh Prof. Andi Hamzah, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Trisakti. Sebagai akademisi dan praktisi (mantan jaksa), Andi Hamzah diharapkan bisa merangkum banyak aspek ke dalam KUHAP baru. Draft yang sudah disusun tim ini sudah sering didiskusikan.

 

Meskipun sudah ada draft pembaharuan, bukan berarti upaya yang dilakukan kedua penulis sia-sia. Sumbangsih mereka membukukan problem-problem hkum acara pidana yang ditemui dalam praktek tetap layak mendapat apresiasi. Apalagi, belum banyak yang menaruh perhatian untuk mengkaji secara ilmiah pembaharuan KUHAP. Paling tidak jika dibandingkan dengan kajian-kajian pidana materiil (KUHP).

 

Membukukan upaya pembaharuan KUHP sudah lama dilakukan. Sebut misalnya tesis magister Prof. Jimly Asshiddiqie yang dibukukan menjadi Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia (1995). Atau kajian terakhir dalam kaitannya dengan hukuman cambuk yang dilakukan Mohammad Taufiq Makarao dalam buku Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia (2005).

 

Jadi, karya Aloysius Wisnubroto dan G. Widiartana ini tetap patut mendapat apresiasi dari teoritisi dan praktisi hukum Indonesia. Agar lebih komprehensif mengikuti jalan pikiran penulis, mungkin bisa menambah literatur kita dengan buku tulisan Wisnubroto sebelumnya seperti Hakim dan Peradilan di Indonesia (1997), Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan Komputer (1999), atau Praktek Peradilan Pidana (2002). Sementara tulisan Widiartana terkait dengan hukum pidana adalah buku Abortus Provokatus bagi Korban Perkosaan (2001). Siapa tahu literatur-literatur ini menambah wawasan kita dalam hukum pidana materiil dan formil.

Begitu pula yang dialami KUHAP selama hampir seperempat abad menjadi payung hukum acara pidana di Indonesia. Sepanjang periode itu, satu persatu kelemahan KUHAP terus terungkap. Celakanya, yang memanfaatkan kelemahan itu adalah mereka yang menyandang predikat aparat penegak hukum. Tengok saja cerita terakhir yang mencuat dari kasus Nurdin Halid.

 

Mantan Dirut Inkud itu untuk sementara lolos dari jerat hukum. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara tidak dapat menerima dakwaan yang diajukan jaksa. Sebab, dakwaan itu dibuat berdasarkan berita acara pemeriksaan (BAP) yang cacat hukum. Dunia hukum di Indonesia pun heboh. Ketua MA merasa harus memanggil majelis hakim. Polisi tak mau kalah, langsung meminta keterangan dari penyidik. Begitu pula halnya dengan Kejaksaan. Tetapi, masalah ini hanya dianggap persoalan kecil, sekedar pelanggaran kode etik.  

 

Pelanggaran terhadap, lebih tepat disebut memanfaatkan celah, KUHAP sepertinya memang sudah lazim terjadi. Aturan yang sudah tegas saja banyak dilanggar, Misalnya hak tersangka mendapatkan bantuan hukum selama penyidikan. Apalagi yang berada di area abu-abu, yakni yang tidak diatur sekaligus tidak dilarang. Tengok saja kontroversi pengajuan peninjauan kembali (PK) oleh jaksa dalam perkara Muchtar Pakpahan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: