Menindak Jaksa Nakal, Jangan Hanya Sekedar Statistik
Fokus

Menindak Jaksa Nakal, Jangan Hanya Sekedar Statistik

Bagi orang Indonesia yang berkecimpung di bidang hukum, nama Timothy C. Lindsay mungkin tidak asing. Associate Professor pada Universitas Melbourne, Australia itu sudah menghasilkan sejumlah karya tulis mengenai hukum Indonesia.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Menindak Jaksa Nakal, Jangan Hanya Sekedar Statistik
Hukumonline

 

Ada calon anggota yang naik haji dan meminta pelantikan diundur. Paling tidak begitulah penjelasan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh di Jakarta, 30 Desember lalu, ketika menyinggung pengawasan terhadap jaksa, khususnya jaksa bermasalah. 

 

Kehadiran Komisi Kejaksaan (KK) diharapkan bisa mendorong pengawasan terhadap kinerja jaksa menjadi efektif. Apalagi sejak awal proses seleksinya melibatkan publik. Ada Munarman, Bambang Widjojanto, dan Teguh Samudera di tim seleksi. Sayang, pengesahan KK terkatung-katung. Selentingan adanya penolakan dari kalangan internal Kejaksaan terhadap KK selalu dibantah.

 

Statistik pengawasan

Pembentukan KK antara lain dilatarbelakangi ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengawasan yang dilakukan secara internal oleh Kejaksaan Agung. Penindakan jaksa-jaksa dan pegawai bermasalah nyaris tertutup. Semangat pembelaan korps sering dituding sebagai penyebab lemahnya penindakan terhadap jaksa nakal.

 

Salah satu kritik berasal dari Komisi Hukum Nasional (KHN) dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI), yang langsung dipaparkan di depan sejumlah Kajati dan pejabat eselon dua Kejaksaan. Berdasarkan hasil penelitian kedua lembaga ini, pengawasan di tubuh Kejaksaan belum berjalan sebagaimana mestinya. Selain karena semangat membela korps yang berlebihan, penindakan terhadap jaksa nakal terhambat oleh faktor rasa enggan dan kasihan. Meskipun kesalahan sudah jelas, tim pengawas enggan untuk menindak karena merasa kasihan terhadap jaksa bersangkutan.   

 

Walhasil, pengawasan dan penindakan jaksa bermasalah terkesan minim. Kalaupun ada selalu berupa angka statistik. Bahan-bahan rapat kerja Kejaksaan Agung dengan DPR selalu memuat statistik penindakan terhadap jaksa dan pegawai kejaksaan.

 

Saat menyampaikan laporan tahunan kinerja Kejaksaan di Jakarta 30 Desember 2005, Jaksa Agung pun menyinggung soal pengawasan terhadap jaksa. Statistik akhir tahun menunjukkan ada 80 orang yang ditindak sepanjang 2005. Paling banyak, 44 orang, adalah jaksa; selebihnya bekerja sebagai tata usaha.

 

Jumlah ini menurun disbanding tahun 2004. Saat itu, ada 84 jaksa dan tata usaha yang dijatuhi hukuman disiplin. Dalam setahun ada 493 laporan yang masuk. Praktis, pada akhir Desember 2004, ada 1.062 pengaduan yang masuk. Yang diselesaikan pada tahun itu hanya 321 laporan. Setelah diproses, hanya 98 yang terbukti; selebihnya 223 laporan dinyatakan tidak terbukti.

 

Patut dicatat bahwa 11 orang jaksa itu ditindak sepanjang September – Oktober 2005. Kesalahan terberat para jaksa itu adalah ‘penyalahgunaan wewenang, tanpa rincian jelas apa saja kewenangan yang disalahgunakan itu. Tidak jelas pula siapa saja jaksa yang sudah dijatuhi sanksi disiplin tersebut. Statistik hanya menyebutkan mereka berasal dari golongan III (27 orang) dan golongan IV (17 orang).

 

Jumlah yang ditindak memang belum sebanding dengan jumlah pengaduan masyarakat. Sepanjang Januari – April 2005 saja ada 182 laporan. Pada periode itu pula diselesaikan 104 laporan. Sebagian besar (76) laporan itu dinyatakan tidak terbukti.

 

Sepanjang September – Oktober 2005, laporan yang masuk mencapai 64, dan diselesaikan 34 laporan. Seperti hasil di atas, sebagian besar tidak terbukti. Hanya 9 laporan yang dinyatakan terbukti. Sepanjang periode ini, ada enam orang jaksa yang dikenakan sanksi. Laporan atau pengaduan masyarakat tentang kinerja jaksa memang terus masuk.

 

Berdasarkan informasi yang diperoleh hukumonline, Pengurus MaPPI pun sudah pernah menyerahkan nama-nama jaksa yang diduga bermasalah dan merekomendasikan untuk ditindak. Sepanjang 2005 pengurus MaPPI sudah dua kali bertemu dengan Jaksa Agung. Pertemuan tersebut diakui Sekjen MaPPI Hasril Hertanto. Hertanto menegaskan bahwa pertemuan kedua justeru untuk mempertanyakan tindak lanjut laporan mereka sebelumnya.

 

Hasril Hertanto menjelaskan, ada persoalan lain di luar semangat membela korps, rasa enggan dan kasihan. Status jaksa sebagai pegawai negeri sipil justru menyulitkan efektivitas hukuman. Sebab, meskipun kesalahannya terbukti, jaksa yang ditindak masih bisa mengajukan banding ke Badan Pertimbangan Kepegawaian (Bapek). Sanksi administrative menjadi semakin tidak efektif kalau putusan Bapek baru turun dalam hitungan bulan atau tahun. Prosedur penindakan terlalu panjang dan berbelit-belit, ujar Hertanto.

 

Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 menyebutkan jaksa yang diberhentikan secara tidak hormat dari jabatannya, otomatis diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Tetapi pasal 16 melanjutkan, ketentuan mengenai pemberhentian jaksa secara tidak hormat diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hingga sekarang PP dimaksud belum turun.

 

Transparansi adalah masalah lain pengawasan dan penindakan jaksa. Tidak ada keharusan normatif bagi Kejaksaan untuk membuka proses dan hasil pengawasan itu ke masyarakat. Satu-satunya jalan ya lewat DPR. Ironisnya, di satu sisi, dalam setiap rapat kerja yang diikuti hukumonline anggota Dewan jarang mempertanyakan secara spesifik penindakan terhadap jaksa. Di sisi lain, Kejaksaan selalu menutupi identitas dan jabatan jaksa yang ditindak.

 

Meskipun demikian, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh sempat menyebut nama Hendra Ruhendra. Mantan Kasi Pidum Kejari Cibinong dicopot dari jabatannya karena tertangkap tangan memiliki narkoba dan senjata api secara illegal. Itu tergolong  berat, ujar Jaksa Agung.

 

Jaksa yang terjerat kasus narkoba bukan hanya Hendra Ruhendra. Ada juga jaksa bernama AS yang bertugas di Kejari Banjarmasin. Cuma kasusnya terjadi semasa Arman belum menjadi Jaksa Agung. AS diberhentikan sementara dari jabatan sebagai pegawai negeri sipil.

 

Kasus lain adalah seorang oknum jaksa bernama ES yang bertugas di Kajari Pontianak. Oknum jaksa ini ketangkap basah sedang main judi remi di lapo, warung makan minum khas Tapanuli. Pada 26 Juli 2005, polisi mengeluarkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP).   

 

Tentu saja masih banyak jaksa yang memiliki idealisme.  Jaksa-jaksa daerah yang ditarik ke Jakarta untuk menangani perkara korupsi dalam setahun terakhir mengacu pada asumsi itu. Apakah mereka akan tetap menjadi jaksa idealis atau terbawa arus metropolitan Jakarta, waktu yang akan membuktikan. Menjadi tugas Komisi Kejaksaan (bila sudah dilantik) untuk mengawasi mereka. Bagi yang ‘bersih' layak mendapat reward; sebaliknya bagi yang masih ‘nakal' pantas diberi ganjaran. Meskipun pada akhirnya kembali kepada komitmen dan keberanian jajaran Jaksa Agung Muda Pengawasan (JAMWAS). 

Di Negeri Kanguru, Tim –begitu ia biasa disapa—mengajar antara lain Indonesian Law dan Indonesian Legal System. Salah satu bukunya yang banyak dirujuk adalah Indonesia, Bankruptcy, The Commercial Court, and Law Reform (Sydney: Federation Press 2000).

 

Ketika menganalisis perubahan hukum di Indonesia sepanjang 1998-2004, Tim menyinggung secara sekilas mengenai Kejaksaan Agung. Apa katanya? Lewat artikel berjudul Law Reform in Indonesia: the Necessity of Patience, Tim Lindsay menulis begini: Kejaksaan Agung (the combined public prosecutor and attorney general's office) is now regarded by many reformers as the Indonesian legal institution most resistant to legal infrastructure reform.

 

Mungkin tak ada hal baru dalam tulisan Tim. Sudah banyak yang mengkritik, bahkan menyuarakan perlunya reformasi mendesak di tubuh Kejaksaan Agung. Selama setahun terakhir, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mencoba menjawab semua kritik itu dengan langkah progresif. Untuk melakukan reformasi di tubuh korps adhyaksa, misalnya, Arman mengandeng sekelompok tim ahli yang melibatkan pihak di luar kejaksaan.

 

Tim ahli itu masih dibagi lagi ke dalam kelompok kerja khusus. Ada yang khusus membidangi penanganan kasus korupsi dan kasus tertentu lainnya. Surat Edaran Jaksa Agung No. 007 menginstruksikan agar semua perkara korupsi dipercepat penangangannya. Ada pula kelompok kerja percepatan pembaruan Kejaksaan.

 

Di bidang pengawasan, diperkenalkan lembaga baru bernama Komisi Kejaksaan. Pelantikan anggota Komisi Kejaksaan seyogianya sudah berlangsung pada penghujung tahun 2005 atau awal tahun 2006. Presiden sudah oke. Penundaan pelantikan terpaksa dilakukan atas permintaan calon angggota terpilih.

Halaman Selanjutnya:
Tags: