Paulus E. Lotulung: Hakim PTUN Tak Usah Takut Kehilangan Perkara
Terbaru

Paulus E. Lotulung: Hakim PTUN Tak Usah Takut Kehilangan Perkara

Supandi, mantan Ketua PTUN Jakarta, membuat suatu kesimpulan penting perihal keberadaan peradilan tata usaha negara. Dengan mengambil Sumatera Utara sebagai objek penelitian, Supandi berkesimpulan bahwa 70 persen pejabat tidak mematuhi putusan PTUN.

Oleh:
Aru
Bacaan 2 Menit
Paulus E. Lotulung: Hakim PTUN Tak Usah Takut Kehilangan Perkara
Hukumonline

 

Apakah ketidakpatuhan pejabat yang menurut disertasi Supandi mencapai angka 70% itu menjadi alasan menurunnya jumlah perkara di PTUN?

Disertasi Supandi yang observasinya di Medan itu menurut saya, karena saya yang mengujinya, itu akurat. Kalau dikatakan 70% maka itu betul. Jadi memang betul itu berdasarkan data yang dilaporkan. Tetapi perlu diperhatikan tingginya pejabat yang mangkir melaksanakan putusan itu disebabkan ada tidaknya laporan. Sebab, suatu eksekusi putusan kadang-kadang tidak dilaporkan kalau itu sudah dilaksanakan.. Tidak ada kewajiban dari pejabat TUN untuk melaporkan eksekusi putusan, sehingga kita tidak tahu lebih lanjut riwayatnya suatu perkara diputus dilaksanakan atau tidak. Itu kita tidak tahu. Kalau pejabat tidak melaksanakan mereka baru melaporkan tapi sebaliknya kalau pejabat melaksanakan itu tidak dilaporkan. Angka 70% ini adalah angka yang melaporkan.

 

Tetapi secara umum menurut saya, ada dua alasan. Pertama, itu mungkin juga orang merasa apatis. Kedua, mungkin juga pejabat-pejabat TUN sudah banyak yang sadar hukum sehingga mengeluarkan surat keputusan secara benar sehingga tidak digugat. Tergantung pemikiran kita saja.

 

Yang melaksanakan eksekusi putusan ini dari pihak pengadilan?

Bukan, yang melaksanakan eksekusi ini adalah pejabat itu sendiri. Hukumannya di PTUN itu kan membatalkan atau mencabut suatu Surat Keputusan (SK). Jadi itu tergantung pejabat. Beda dengan kasus perdata.

 

Bukankah UU No. 9 Tahun 2004 tentang PTUN kan ada upaya paksa

Itu pun upaya paksa tergantung dari laporan. Kalau tidak ada laporan, pejabatnya tidak melaksanakan, bagaimana pengadilan tahu pejabat tidak melaksanakan. Upaya paksa sendiri diatur di UU ada tiga macam. Pertama, perintah membayar uang paksa kepada pejabat yang tidak mau lekasanakan putusan. Kedua, dijatuhkan sanksi administratif kepada pejabat. Ketiga, diumumkan pejabat yang tidak mau melaksanakan putusan itu dikoran-koran. Itu termasuk azas publikasi dari perintah pengadilan yang tidak ditaati oleh pejabat. Mudah-mudahan dengan adanya ketiga upaya paksa ini, PTUN mempunyai gigi. Karena selama ini jika pejabat tidak melaksanakan, kita hanya dapat menghimbau kepada atasan yang bersangkutan

 

Penerapan upaya paksa itu sebenarnya kapan dapat dilaksanakan?

Sebenarnya menurut UU, upaya paksa sebenarnya bisa dilaksanakan begitu UU 9/2004 berlaku. Itu prinsip hukum. Tapi kita harus melihat kenyataan. Ada tiga macam.

 

Pertama, berbicara uang paksa, bisakah sekarang itu dilaksanakan, padahal belum ada peraturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah (PP) bagaimana mekanisme pembayaran oleh Pemerintah. Karena itu saya pernah mengkritik UU baru itu. Mengapa tidak ada satu ayat yang menyebutkan pelaksanaan lebih lanjut tentang pembayaran uang paksa akan diatur dengan PP. Dengan diatur maka pemerintah dipaksa untuk mengeluarkan peraturan. contohnya pada pembayaran ganti rugi dalam UU 5/1986 tentang PTUN yang menyatakan pemerintah harus membentuk PP sehingga akhirnya terbitlah PP 43/1991. Karena UU itu (UU 5/1986, red) mendesak kepada pemerintah untuk mengeluarkan PP tersebut.

 

Kedua, sanksi administratif itu bagus, karena dengan sanksi itu membuat pejabat jera kalau ia tidak melaksanakan. Tetapi masalahnya, sanksi administratif itu diatur dimana? Bila pegawai negeri, diatur dalam PP 30/1980 tentang Peraturan Disiplin Kepegawaian. Tapi kalau yang digugat bukan pegawai negeri tetapi pejabat negara seperti Presiden atau Menteri, sanksi administrasinya apa? Mungkin untuk Presiden misalnya, jika dia tidak melaksanakan putusan terus dia dianggap melanggar UU, lalu di bawa ke MK untuk di impeach, itu bisa tapi itu sulit. Sehingga sanksi administrasi saat ini hanya berlaku untuk pegawai negeri.

 

Ketiga, untuk pengumuman di media itu bisa dilakukan. Karena pengumuman itu hanya masalah putusan yang tidak dilaksanakan. Tapi masalahnya, siapa yang membiayai iklan itu, apakah pengadilan, atau pejabat. Kalau pengadilan jelas terbentur dengan anggaran, kalau pejabat tidak mungkin. Yang membiaya ya akhirnya pemohon, dan itu persis pada perkara perdata. Bahwa nanti biaya akan dibebankan kepada pejabat, itu urusan nanti karena itu tanggung jawab pemohon. Saya bahkan telah mengeluarkan Surat Edaran tentang contoh bagaimana membuat iklan.

 

Apakah selama ini sudah ada preseden penerapan sanksi berupa pengumuman di media massa?

Saya tidak tahu persis. Tapi yang saya tahu ada salah satu pemohon yang datang kepada saya, dan saya persilakan untuk membuat iklan itu.

 

Apakah keputusan pimpinan komisi-komisi negara yang kini banyak berdiri bisa menjadi objek TUN?

Kalau menurut ilmu administrasi negara yang murni, komisi-komisi bentukan eksekutif itu merupakan badan eksekutif. Sehingga prinsipnya dia bisa digugat di PTUN. Tetapi kadang-kadang, Komisi-komisi itu pinter juga, didalam UU pembentukannya mereka sudah mengatur bahwa keputusan komisi ini bukan Keputusan TUN (KTUN). Dan menurut saya yang kebobolan disini adalah DPR. Hal tersebut dapat kita lihat misalnya mengenai Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Undang-Undangnya menyebutkan Keputusan BPSP bukan keputusan TUN, padahal badan ini bagian dari pemerintahan. Selain itu juga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), KPPU itu jika konsep di luar negeri seperti di Prancis, bisa digugat di PTUN. Tetapi di Indonesia menyebutkan bahwa Keputusan KPPU tidak bisa diajukan gugatan di PTUN tapi justru di PN jika ada keberatan. Jadi UU-nya sudah mengatur demikian. Tetapi kita tidak bisa menyalahkan UU, tetapi ini masalah politik hukum DPR.

 

Rekomendasi Komisi Yudisial misalnya. Apakah rekomendasi itu bisa digugat jika dianggap keputusannya tidak benar?

Harus dilihat UU pembentukan KY dulu. Adakah satu pasal yang menyebutkan bahwa keputusan KY bukan merupakan keputusan pejabat TUN. Kalau ada pasal seperti itu maka tidak bisa digugat di PTUN. Tapi kalau tidak ada maka KY bisa saja digugat di PTUN.

 

Apakah KY bisa dikatakan sebagai badan eksekutif sehingga memenuhi kriteria dapat digugat di PTUN

Pembentukan KY lewat UU, tapi dia kepanjangan tangan Presiden. Dia pembantu Presiden. Yang bisa digugat di PTUN itu kriterianya, dia adalah suatu badan yang melaksanakan TUN, baik atas kewenangan UU atau berdasarkan pelimpahan wewenang atau berdasarkan mandat. Jadi untuk KY harus dilihat apakah tugas dia mengawasi hakim-hakim  itu tugas TUN atau tugas yudisial. Kalau itu yudisial seperti MA, maka tidak bisa digugat.yang bisa adalah produk eksekutif, dan produknya itu macam-macam, bukan hanya SK misalnya. Untuk KY, prinsipnya saya persilahkan kepada pihak yang keberatan untuk mengajukan gugatan ke PTUN. Tapi bukan berarti gugatan itu langsung diterima, biar PTUN yang memutuskan dan bisa diuji sampai tingkat MA.

 

Selama ini perkara TUN didominasi oleh kasus ketenagakerjaan. Perkara P4D/P4P dilimpahkan ke PHI. Apakah Anda tidak khawatir perkara TUN semakin minim?

Kalau semakin kecil tidak masalah, selama putusannya bagus. Daripada wewenangnya luas tapi putusannya gak karu-karuan. Tidak usah takut tidak ada lahan atau semakin sempit lahannya. Kita tidak boleh berpikir seolah ada perebutan rejeki. Cuma perlu diketahui, dalam RUU mengenai Administrasi Negara yang sekarang sedang disusun oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) dan saya ikut sebagai tim. Di situ disebutkan, PTUN itu nantinya tidak hanya mengadili perkara KTUN, tapi juga perkara tindakan pemerintah yang menimbulkan kerugian, yang namanya gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Itu nanti akan diserahkan kepada PTUN. Kalau itu diserahkan, hakim-hakim TUN tidak usah takut kehilangan perkara, karena nanti akan banyak perkara yang masuk. Jadi biarlah perburuhan tidak usah dipegang PTUN.

 

Peresmian PHI menimbulkan masalah mengenai nasib perkara ketenagakerjaan yang terlanjur masuk PTUN. Bagaimana solusinya?

Nanti saya akan mengeluarkan suatu Surat Edaran. Perkara-perkara mengenai perburuhan yang sudah terlanjur  masuk ke PTUN sebelum UU PPHI ini dikeluarkan dan oleh PTUN sudah mulai diperiksa, itu tetap menjadi wewenang PTUN. Tapi perkara yang sudah masuk ke PTUN sementara UU PPHI belum terbit, sementara perkara belum diputus, maka harus diserahkan ke PPHI. Ketiga, perkara perburuhan yang masuk sesudah terbitnya UU PPHI dan belum dapat nomor perkara maka itu dikembalikan ke PPHI. Ini persis seperti yang dilakukan saat UU 5/1986 baru diundangkan.

 

Mengapa selama ini perkara TUN sangat sedikit yang diputus oleh MA? Apa karena TUN bukan prioritas?

Sebetulnya banyak perkara TUN yang diputus, tapi kalau dibanding dengan Perdata memang sedikit. Perbandingannya, kalau TUN itu kewenangan kecil dan PTUN se Indonesia jumlahnya hanya 26. Tapi di MA, frekwensi perkara TUN diputus juga tidak terlalu lambat. Mengapa bisa cepat, karena PTUN diputus khusus oleh kamar TUN. Walaupun  di MA tidak ada sistem kamar tetapi untuk TUN dan Agama ini khusus. Dan di MA saya mempunyai 8 hakim agung TUN.

 

Ada perkara TUN (hak uji materiil) dimana objek SK yang digugat sudah dua kali berganti tetapi MA belum juga memutus. Misalnya SK Mendiknas Tahun 2003 tentang Ujian Akhir Nasional. Sudah dua kali Ujian Akhir Nasional, putusan atas SK 2003 belum juga turun. Bagaimana nasibnya, apakah otomatis gugur?

Tergantung dari putusan kita. Kalau putusan kita menyatakan batal, maka untuk pelaksanaannya tetap sah. Tapi kalau putusan kita batal sejak semula, itu konsekwensinya besar dan itu tidak mungkin diambil. Masak yang sudah lulus dianggap gugur semua itukan tidak bisa. Prinsipnya adalah untuk kedepan atau kebelakang. Dan tentu kita akan bertindak bijaksana. Untuk SK-nya sendiri saya akan cek lagi.  

Eksekusi putusan memang telah menjadi masalah yang terus melekat sejak PTUN lahir. Keengganan pejabat mematuhi putusan PTUN membuat masyarakat apatis. Badan peradilan ini semakin jarang dipakai. Hal itu tampak dari penurunan jumlah perkara yang masuk. Kalaupun selama ini PTUN masih terus berjalan, lebih banyak menangani perkara perburuhan.

 

Nah, sejak 14 Januari lalu, perkara perburuhan tidak lagi menjadi wewenang PTUN. Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004, diperkenalkan pengadilan hubungan industrial (PHI). Dapat diperkirakan bahwa perkara yang masuk ke PTUN akan melorot drastis seiring beroperasinya PHI. Entah sengaja atau tidak, peresmian PHI dilangsungkan bersamaan dengan hari ulang tahun PTUN se-Indonesia.

 

Di lain pihak, berdirinya sejumlah lembaga baru menimbulkan tanda tanya. Apakah lembaga seperti Komisi Yudisial merupakan objek TUN, yang keputusannya bisa digugat. Apakah rekomendasi KY bisa di-PTUN-kan?

 

Ketua Muda MA Bidang Tata Usaha Negara Prof. Paulus Effendi Lotulung mencoba menjawab pertanyaan itu. Ia juga menguraikan perkembangan PTUN dan prospeknya ke depan dalam perbincangan dengan hukumonline di Jakarta, Kamis (12/01) lalu. Berikut petikannya:

Tags: