UU Korupsi Menganut Kerugian Negara Dalam Arti Formil
Utama

UU Korupsi Menganut Kerugian Negara Dalam Arti Formil

Tindak pidana korupsi cukup dibuktikan dengan adanya potensi kerugian negara, tidak perlu kerugian nyata.

Oleh:
Rzk
Bacaan 2 Menit
UU Korupsi Menganut Kerugian Negara Dalam Arti Formil
Hukumonline

 

Menurut Prof. Komariah, UU No. 31/1999 menganut konsep kerugian negara dalam arti delik formil. Unsur ‘dapat merugikan keuangan negara' seharusnya diartikan merugikan negara dalam arti langsung maupun tidak langsung. Artinya, suatu tindakan otomatis dapat dianggap merugikan keuangan negara apabila tindakan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara.

   

Jadi, ada atau tidaknya kerugian negara secara riil menjadi tidak penting, tukasnya.

 

Masih menurut Prof Komariah, konsep kerugian negara dalam arti delik formil sebenarnya sudah dikenal dalam UU Korupsi yang lama, yaitu UU No. 3/1971.

 

Sementara dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31/1999, konsep delik formil dapat disimpulkan dari kata ‘dapat' dalam rumusan ‘…..dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara'. Hal tersebut kemudian dipertegas oleh penjelasan pasal tersebut yang menyatakan kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan atau perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

 

Senada dengan Prof. Komariah, ahli hukum pidana, Prof. Romli Atmasasmita berpendapat majelis seharusnya mengartikan unsur ‘dapat merugikan keuangan negara' dalam konteks delik formil. Oleh karena itu, kerugian negara secara nyata tidak diperlukan selama didukung oleh bukti-bukti yang mengarah adanya potensi kerugian negara.

 

Dia menambahkan, dengan digunakannya UU No. 1/2004, berarti majelis telah menghilangkan makna kata ‘dapat' dalam unsur ‘dapat merugikan keuangan negara'. Pasalnya, UU No. 1/2004 menganut konsep kerugian negara dalam arti delik materiil, sedangkan UU No. 31/1999 menganut konsep kerugian negara dalam arti delik formil.

 

Namun demikian, Prof. Romli sepakat dengan pendapat majelis bahwa sudah saatnya kata ‘dapat' dihilangkan dalam rumusan UU No. 31/1999 karena mengandung multi-penafsiran. Prof. Romli mengatakan kata ‘dapat' tidak lagi tercantum dalam draf RUU revisi atas UU No. 31/1999 dan UU No. 20/2001, dimana dirinya menjadi salah satu perumus.

 

UU Perbankan

Baik Prof. Komariah dan Prof. Romli berpendapat, bebasnya tiga mantan direksi juga disebabkan lemahnya jerat dakwaan JPU. Mereka berpendapat selain UU No. 31/1999, JPU seharusnya juga menggunakan UU No. 10/1998 tentang Perubahan atas UU No. 7/1992 tentang Perbankan.   

 

Kalau memang JPU jeli harusnya UU Perbankan juga digunakan, ujar Prof. Komariah.

 

Sementara Prof. Romli mengatakan JPU seharusnya juga menerapkan ketentuan perbankan karena kasus korupsi ini sebenarnya letak permasalahannya ada pada prosedur penyaluran kredit, bukan kredit macet. 

Putusan majelis hakim PN Jakarta Selatan yang membebaskan tiga mantan direksi Bank Mandiri menyisakan permasalahan penafsiran hukum. Terutama soal pertimbangan majelis yang menyatakan unsur ‘dapat merugikan keuangan negara' tidak terbukti. Kredit yang disalurkan Bank Mandiri kepada PT Cipta Graha Nusantara (CGN) belum dapat dikatakan merugikan negara karena perjanjian kredit masih berlangsung hingga September 2007 dan CGN selalu membayar cicilan hutang.

 

Karenanya, majelis berpendapat secara substansi Bank Mandiri tidak mengalami kerugian sehingga negara juga tidak dirugikan. Pendapat majelis ini mengacu pada definisi kerugian negara dalam Pasal 1 butir 22 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang mensyaratkan adanya kerugian negara yang benar-benar nyata.

 

Menanggapi putusan itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Prof. Komariah Emong Sapardjaja berpendapat pertimbangan majelis tidak tepat dan tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: