Putusan Hakim Tipikor Melanggar UU Korupsi?
Fokus

Putusan Hakim Tipikor Melanggar UU Korupsi?

Meski tidak memenuhi persyaratan formil suatu putusan dan tidak sesuai dengan undang-undang, putusan pengadilan tipikor tidak cacat hukum

Oleh:
Aru
Bacaan 2 Menit
Putusan Hakim Tipikor Melanggar UU Korupsi?
Hukumonline

 

Itu tidak ada batasan waktu sampai kapan ia harus mengembalikan. Artinya, kalaupun putusan itu inkracht, berkekuatan hukum tetap, dia kan satu bulan setelah putusan itu inkrach mengembalikan uang pengganti. Jika tidak hartanya akan disita. Apabila tidak memenuhi uang pengganti, tidak berarti kewajibannya selesai. Tahun depannya atau dua tahun umpamanya ia punya harta maka akan disita. Terus seperti itu, tutur Made Hendra.

 

Pidana Subsider Ringan?

Alasan lainnya adalah untuk mengantisipasi niat buruk terpidana yang menghindari membayar uang pengganti dan lebih memilih hukuman badannya. Apalagi hukuman badannya itu menurut Made Hendra terhitung tidak seberapa.

 

Berbeda dengan Made Hendra, Yoseph Suardi Sabda, Direktur Perdata Kejaksaan Agung dalam makalahnya berjudul 'Pengembalian Kerugian Negara melalui Mekanisme Hukum Acara Perdata Dalam Tindak Pidana Korupsi' menyatakan, pidana subsider uang pengganti yang diatur UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi) telah jauh berubah jika dibandingkan UU korupsi lama (UU 3/1971, red).

 

UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pasal 18

(3)  Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

 

 

UU 3/1971 menentukan jika uang pengganti tidak dibayar, besarnya pidana subsider sesuai dengan ketentuan KUHP. Pasal 30 KUHP hanya mengancamkan pidana subsider maksimum 6 bulan atau 8 bulan dalam hal terdapat pemberatan. Sementara, pasal 18 ayat (3) UU Korupsi yang baru mengancamkan pidana subsider yang jauh lebih berat. Dari bunyinya, secara teori, hakim dapat menjatuhkan pidana subsider berupa pidana 20 tahun.

 

Gugatan Perdata

Mengomentari pendapat Made Hendra tentang kekhawatiran terpidana yang lebih memilih hukuman badan ketimbang membayar uang pengganti, Khaidir Ramly, salah satu penuntut umum KPK menyatakan tidak ada pilihan dalam sebuah amar putusan. Artinya, terpidana tidak bisa memilih hukuman badan ketimbang membayar uang pengganti.

 

Soal tidak mencukupinya harta milik terpidana setelah disita, maka jaksa sebagai pengacara negara dapat mengajukan gugatan perdata kepada ahli waris terpidana di luar konteks harta yang didapat dari hasil korupsi. Gugatan kepada ahli waris itu bisa sampai derajat ketiga, jadi istri dan anak terpidana bisa digugat. Jadi itu tergantung eksekutor sambung Khaidir seraya menjelaskan hal tersebut diatur dalam UU Korupsi.

 

Sama dengan Yessi, berlandaskan pasal 18 UU UU Korupsi, Khaidir juga mempertanyakan mengapa hukuman subsider tidak dicantumkan dalam putusan Pengadilan Tipikor. Kendati demikian, Khaidir tidak bersedia menjawab saat ditanya akankah mengajukan banding dengan putusan pengadilan tipikor yang seperti itu. Majelis pasti punya pertimbangan, kilahnya.

 

Salah Tapi Tidak Cacat Hukum

Sementara itu, Komariah Emong Sapardjaja, guru besar hukum pidana Universitas Padjadjaran menilai putusan pengadilan korupsi yang menghilangkan hukuman subsider untuk uang pengganti setidaknya mengandung dua unsur kesalahan.

 

Pertama, putusan tersebut tidak memenuhi persyaratan formil suatu putusan. Kedua, putusan tersebut melanggar undang-undang yang dengan jelas mengatur soal itu. Menjawab dalih Made Hendra bahwa hukuman tambahan sifatnya tidak mengikat, Komariah menyatakan Nggak boleh itu, apalagi itu sifatnya pemidanaan. Harus dicantumkan sekalipun itu hukuman tambahan, tukas Komariah Emong.

 

Meski menyatakan putusan tersebut salah, Komariah menyatakan putusan yang dijatuhkan majelis pengadilan tipikor tidak bisa dikatakan cacat hukum. Kalaupun ada yang tidak puas dengan putusan tersebut, jalan keluarnya adalah upaya banding terhadap putusan.

Permasalahan korupsi seolah tak ada habisnya untuk dikaji. Kali ini, bentuk putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang menjadi sorotan. Biasanya, konstruksi putusan Pengadilan Tipikor terdiri dari hukuman pidana pokok dan tambahan. Menurut I Made Hendra Kusuma, salah satu hakim ad hoc Pengadilan Tipikor, hukuman pokok sifatnya wajib sedangkan hukuman tambahan boleh ada boleh tidak. 

 

Dalam putusan perkara korupsi, hukuman tambahan biasanya menyebutkan jumlah uang pengganti kerugian negara yang wajib dibayar terpidana. Dari pengamatan hukumonline dalam sidang Pengadilan Tipikor, biasanya bunyi hukuman untuk uang pengganti Menghukum terdakwa si X untuk membayar uang pengganti sebesar Rp sekian selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah putusan ini memperoleh kekuatan hukum tetap, subsider sekian tahun pidana penjara.

 

Namun kebiasaan tersebut berubah saat putusan dengan terdakwa Rusadi Kantaprawira, anggota KPU. Dalam putusannya majelis menghukum Rusadi empat tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan serta uang pengganti Rp1,38 miliar tanpa subsider.

 

Tidak adanya hukuman subsider untuk uang pengganti saat itu mengundang keheranan penuntut umum perkara Rusadi, Yessi Esmeralda. Mengapa hakim tidak memuat, padahal pasal 18 (UU 31/1999, red) mengatur, tukas Yessi. Kejadian tersebut terus berulang, sampai setidaknya pada perkara Tjetjep Harefa.

 

Menjawab hal itu, Made Hendra kepada hukumonline, Senin (5/6) menjelaskan alasan tidak diaturnya pidana subsider untuk uang pengganti dilandasi prinsip awal untuk mengembalikan kerugian negara.

Halaman Selanjutnya:
Tags: