Dimensi Partisipasi dalam RUU Perlindungan Saksi
Oleh: Muslimin B. Putra*)

Dimensi Partisipasi dalam RUU Perlindungan Saksi

RUU Perlindungan Saksi dan Korban (RUU PSK) sedang dalam masa-masa yang penting karena sedang intens dibahas di DPR. Diperkirakan tahun 2006 akan disahkan.

Bacaan 2 Menit
Dimensi Partisipasi dalam RUU Perlindungan Saksi
Hukumonline

 

Dalam hukum pidana dikenal delik formal dan delik materil. Namun orientasi RUU PSK berorientasi pidana, bukan perdata sehingga terkesan parsial dan tidak menyeluruh. Malah draft yang diajukan Koalisi memungkinkan gugatan perdata dalam konteks class action, namun aturan tentang gugatan perdata tidak mendapat pembahasan lebih lanjut. Malah aturan ketentuan pidana lebih banyak mewarnai RUU versi Koalisi Perlindungan Saksi. 

 

Persoalan keamanan dan kenyamanan saksi selama ini terabaikan. Malah alih-alih diamankan, malah justru dijadikan korban yang harus dijerat hukuman seperti yang terjadi pada kasus saksi Endin Wahyudi. Persoalan kenyamanan terhadap saksi juga perlu dilakukan karena banyak terjadi pengalaman dipersidangan yang kurang menyenangkan. Misalnya tentang waktu persidangan, dimana undangan sidang rencananya dilangsungkan pada jam 9 pagi, namun justru persidangan baru bisa berlangsung pada pukul 15. Tentunya hal-hal sepele tersebut mengurangi kenyamanan bagi saksi, demikian pula  bagi pengunjung sidang  lainnya.

 

Faktor keseimbangan juga perlu diperhatikan dalam RUU Perlindungan Saksi. Keseimbangan disini dimaksudkan antara saksi pihak terlapor dengan saksi pihak pelapor. Hal ini demikian keadilan bagi kedua belah pihak yang bertikai.

 

Korupsi Politik

Era reformasi juga membawa praktek-praktek korupsi politik yang kian menggurita dibanding era Orde Baru. Merebaknya praktek korupsi politik lebih disebabkan terjadinya polarisasi besar-besaran ke dalam berbagai partai politik. Hal ini berbeda pada era Orde Baru yang berfokus pada tiga partai saja yakni PPP, Golkar dan PDI-P. Perlombaan setiap partai dalam memperebutkan suara rakyat disertai pula perlombaan dalam penguasaan sumber-sumber daya politik sehingga tak dapat disangkal terjadinya praktek korupsi politik.

 

Sementara bukti hasil korupsi politik sangat susah dicari. Transaksi politik seringkali menggunakan uang tunai (fresh money) jadi susah melacaknya. Berbeda bila menggunakan bukti-bukti tertulis semacam kuitansi, cek dan semacamnya, akan dengan mudah dilacak. Konkritnya, korupsi politik lebih membutuhkan keberadaan saksi ketimbang bukti.

 

Praktek korupsi politik  seperti  suap menyuap semestinya diberantas karena akan menghasilkan bad government. Kedua pihak yang menjalankan transaksi yang bertendensi pada korupsi politik harus dijerat hukuman. Jadi antara pihak  penyuap dan pihak disuap kedua-duanya harus dijerat hukuman tanpa melihat asal partai politiknya. Memang akan susah memberantasnya karena sebagai negara demokrasi, korupsi politik akan mendapat pembelaan dan perlindungan dari pihak yang berkuasa karena  berkat jaringan politiknya. Maka salah satu strateginya adalah membuat peraturan perundang-undangan yang bisa menjerat semua pihak termasuk pihak elit yang berkuasa.

 

Hampir sebagian besar kasus-kasus korupsi melibatkan para elit politik. Sebut saja diantaranya yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah kasus Abdullah Puteh dan kasus Probosutedjo. Meski tak dapat dipungkiri berkat kepopuleran KPK, ribuan kasus yang masuk tidak seluruhnya berindikasi korupsi malah kebanyakan bernuansa politik. Hal ini terjadi disebabkan diselenggarakannya pilkada di berbagai daerah mendorong para pihak yang bersaing saling menyerang dengan tuduhan korupsi demi menjegal saingannya menjadi pemenang pilkada.

 

Sebagai negara yang termasuk terkorup di dunia versi PERC dan Transparency International, upaya pemberantasan korupsi mutlak membutuhkan partisipasi masyarakat.  Meski untuk konteks pemberantasan korupsi telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur Peran Serta Masyarakat yakni PP No. 71 Tahun 2000.  Tetapi sepertinya hal ini tidak cukup karena kasus-kasus lain diluar kasus korupsi juga membutuhkan perlindungan terhadap saksi. Misalnya pada kasus-kasus pelanggaran HAM dan kasus-kasus bernuansa politik yang memiliki delik hukum. Untuk itulah dibutuhkan peraturan undang-undang yang dapat mencakup perlindungan saksi terhadap semua kasus-kasus hukum.

 

Seiring dengan makin besarnya dukungan publik terhadap upaya pemberantasan korupsi, hal ini merupakan modal dasar dalam membentuk peraturan perundangan. Bahkan bila dikaji lebih mendalam, gerakan pemberantasan korupsi dapat dikatakan telah menjadi gerakan sosial yang sangat besar di Indonesia akhir-akhir ini. Hampir di setiap kota di Indonesia terbentuk organisasi masyarakat sipil yang mengawasi praktek korupsi, seperti diantaranya : Malang Corruption Watch, Bali Corruption Watch, Komite Anti Korupsi Lampung, dan Anti Corruption Committee Sulawesi. Sedang ditingkat nasional dikenal organisasi seperti : Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI).

 

Lembaga Perlindungan Saksi

Polemik lainnya yang mencuat adalah tentang Lembaga Perlindungan Saksi. Pihak DPR lebih cenderung memposisikan lembaga tersebut bersifat mandiri semacam extra-auxiliary state body, sebagaimana dikatakan anggota Panja DPR, Lukman Hakim Saifuddin pada sebuah diskusi di Jakarta (02/03/06). Namun versi Koalisi Perlindungan Saksi, memandang lembaga tersebut hanya bersifat ad hoc sehingga perlu masa transisi dari lembaga mandiri kemudian diserahkan kepada  pihak kepolisian.

 

DPR memandang dari segi keuangan, negara memiliki kemampuan untuk membentuk lembaga perlindungan saksi. Meski banyak keluhan dari pihak pemerintah dengan menjamurnya lembaga-lembaga negara yang bersifat independen dari struktur pemerintahan yang mempengaruhi kemampuan keuangan negara. Memang bila dikalkulasi sejumlah lembaga-lembaga negara baru telah lahir pasca reformasi seperti: KPPU, KPK, Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak, Komisi Yudisial, Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (akan terbentuk) dan seterusnya. Hal ini disebabkan karena berkurangnya kepercayaan (truth) kepada lembaga-lembaga yang sudah ada. Konsekwensi negara dalam perlindungan saksi adalah menyediakan dana untuk restitusi dan rehabilitasi.

 

Pada sisi yang berbeda, masyarakat sipil dalam Koalisi Perlindungan Saksi memandang bahwa fungsi perlindungan saksi adalah fungsi dari kepolisian. Tetapi karena luasnya skop kerja dan rumitnya persoalan dalam kepolisian saat ini sehingga dikhawatirkan bekerja tidak maksimal bila diserahi tugas perlindungan saksi sehingga perlu masa transisi selama 10 tahun. Setelah masa transisi sepuluh tahun maka secara otomatis fungsi perlindungan saksi diserahkan kepada pihak kepolisian sebagai pemegang utama fungsi tersebut. Konsekwensi pemberian fungsi perlindungan saksi bagi kepolisian adalah perlunya pembentukan sub bagian  khusus dalam lembaga kepolisian.

 

Sementara wacana yang berkembang di media berbeda dengan DPR dan Koalisi Perlindungan Saksi, dimana keberadaan lembaga perlindungan saksi dibawah kejaksaan. Hal ini didorong oleh pengalaman bahwa keberadaan saksi-saksi selama ini sejak awal ditangani oleh pihak kejaksaan. Jadi lembaga ini dianggap lebih kapabel untuk menjalankan peran sebagai lembaga perlindungan saksi.

 

Partisipasi Publik

Sepertinya faktor partisipasi publik dalam perlindungan saksi masih dikesampingkan DPR bila melihat draft usul inisiatif DPR. Sementara secara esensial, faktor partisipasi masyarakat miliki peran signifikan dalam perkara perlindungan saksi.  Seperti pada perkara korupsi, peran masyarakat sangat penting dalam melaporkan kasus-kasus yang terjadi disekitarnya, baik yang dilihat, didengar maupun dirasakannya.

 

Disamping masalah pelaporan dari masyarakat, masyarakat juga  semestinya diberi hak untuk memberikan saran dan pendapat kepada pihak yang berwenang yang terkait dengan perlindungan saksi. Selain itu masyarakat juga berhak untuk mencari dan memberikan informasi serta hak untuk memperoleh informasi atas indikasi pelanggaran hak-hak saksi, disamping hak atas pelayanan dalam kaitan pencarian informasi tersebut dari pihak pihak-pihak yang berwenang. Sebagai pengimbang dari hak atas pelayanan dari pihak berwenang, tentunya masyarakat juga berhak memperoleh jawaban atas setiap pertanyaan tentang laporan yang diberikan dari pihak berwenang sepanjang sesuai ketentuan tentang kerahasiaan. Akumulasi hak masyarakat tersebut tentunya dibutuhkan hak untuk perlindungan hukum dalam menjalankan haknya sebagaimana disebut diatas.

 

Oleh karena itu, draft yang diusulkan Koalisi Perlindungan Saksi tentang bagian partisipasi masyarakat dapat diakomodir karena lebih memberi hak partisipasi yang luas bagi masyarakat. Bila draft Koalisi diakomodir semuanya, LSM dapat diberi hak gugat/legal standing (Pasal 55) seperti pada kasus-kasus lingkungan dan konsumen sehingga pihak Lembaga Perlindungan Saksi betul-betul menjalankan fungsinya bila tidak ingin digugat oleh LSM.

 

*) Penulis adalah Manajer Program Riset dan Pendidikan Publik, Seknas Koalisi Kebijakan Partisipatif (KKP).

Namun dalam pembahasannya masih terjadi perdebatan, khususnya masalah partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam RUU usul inisiatif DPR dianggap sepi, tetapi versi Koalisi Perlindungan Saksi dalam draft tandingannya diatur secara mendalam dan luas.

 

Perjalanan panjang RUU tersebut sebagai inisitatif DPR telah berlangsung sejak tahun 2000 ketika draft awal RUU tersebut digagas oleh YLBHI dan Sentra HAM UI. Dalam perjalanannya, draft RUU kemudian banyak diwarnai oleh OMS/LSM yang bernaung dibawah Koalisi Perlindungan Saksi yang aktif mengadvokasi RUU tersebut di DPR. Malah seiring diamandemennya KUHP, terbersit pula usulan persoalan perlindungan saksi agar dimasukkan saja ke dalam draft RUU KUHP karena memiliki kaitan yang erat.

 

Sebagai  usul inisiatif DPR, RUU Perlindungan Saksi dan Korban berasal dari usulan masyarakat melalui LSM. Usulan tersebut kemudian digodok oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR sebagai alat kelengkapan DPR yang khusus menangani masalah drafting undang-undang usul inisiatif DPR.

 

Draft ini lahir karena tiadanya jaminan baik jaminan fisik maupun psikis terhadap saksi dalam peradilan. Maka tak salah bila RUU Perlindungan Saksi dapat dikatakan lahir dari para pihak yang telah dikorbankan atas posisinya sebagai saksi. Sementara sejak era reformasi praktek pemberantasan korupsi sebagai salah satu kasus  besar membutuhkan perlindungan terhadap saksi agar praktek korupsi dapat diberantas, minimal dapat ditekan seminimal mungkin.

Halaman Selanjutnya:
Tags: