Mengkaji Somasi ASIRI Terhadap Yayasan KCI
Oleh: Dedy Kurniadi *)

Mengkaji Somasi ASIRI Terhadap Yayasan KCI

KCI mendapatkan somasi terbuka melalui harian Kompas (10 Juli 2006). Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) telah menolak pemungutan royalti yang dilakukan KCI dan meminta agar KCI menghentikan pemungutan royalti dimaksud.

Bacaan 2 Menit
Mengkaji Somasi ASIRI Terhadap Yayasan KCI
Hukumonline

 

Menikmati lagu dari kaset yang kita beli tentu telah menjadi hak dari si pembeli. Namun ternyata hak si pembeli tersebut tidak meliputi hak mengumumkannya kepada khalayak terutama untuk kepentingan komersial. Kegiatan mengumumkan ciptaan musik tersebut ternyata telah memasuki wilayah hak eksklusif lainnya yaitu hak mengumumkan.  Pencipta (atau pemegang hak) telah menerima hasil dari mechanical rights namun ternyata masih berhak atas hak mengumumkan (performing rights).

 

Collection Societies

Tentu lebih mudah bagi pencipta untuk menghitung  pemasukannya dari penggandaan ciptaan. Sebaliknya tentunya tidak mudah untuk menagih performing right mengingat pengumuman bisa terjadi dimana saja dan kapan saja diluar sepengetahuan si pencipta. Di titik inilah sejarah lembaga sejenis KCI dimulai. Diperlukan lembaga bersama untuk mewakili pencipta dalam menagih royalti performing right atau yang disebut sebagai collection societies.      

 

Lembaga pemungut royalty performing rights telah dikenal sejak hampir seabad lalu. American Society of Composers, Authors and Publishers (ASCAP) berdiri pada tahun 1913 untuk mengutip royalti dari kafe dan restoran di New York (Paul Goldstein, 1997). Organisasi sejenis  tumbuh hampir diseluruh dunia yang kemudian menggabungkan diri dibawah Cisac (the Confederation of Societies of Authors and Composers) sebagai konfederasi internasional organisasi sejenis. Dengan menggabungkan diri dibawah suatu konfederasi internasional, maka pemungutan royalti dapat dilakukan diseluruh dunia. KCI sendiri tergabung dibawah Cisac sebagai anggota biasa (ordinary member) dengan nomor kode 109 (list member of Cisac termuat pada www.cisac.org).

 

Collection Societies menempatkan diri sebagai lembaga yang mewakili pencipta memungut royalty performing rights. Sebagai lembaga yang berbasis anggota collection societies bertindak sebagai kuasa bertindak untuk dan atas nama pencipta. Pola pemungutan yang berlaku umum pada lembaga ini adalah blanket licences atas seluruh ciptaan yang dikelola. Dengan blanket licences collection societies melisensikan penggunaan keseluruhan ciptaan yang terdapat dalam catalog dalam waktu yang diperjanjikan dan dalam jumlah yang ditentukan berdasarkan standar tertentu. Dengan cara ini pengguna ciptaan (contohnya restoran) membayar lisensi dalam jumlah tertentu dalam suatu periode berdasarkan standar tertentu. Secara umum tugas collection societies adalah mengadministrasikan hak cipta,memastikan diberikannya lisensi dan pembayarannya, serta mendistribusikan royalti kepada pencipta (Ann Harrison, 2003).

 

Perlawanan para pengguna ciptaan terhadap collection societies ternyata telah berlangsung sejak lama. ASCAP mendapatkan perlawanan pertama pada tahun 1914 dari New York Hotel and Restaurant Association  yang berpendapat bahwa lagu yang mereka tampilkan bukanlah untuk kepentingan komersial.  Buffalo Broadcasting Co (yang kemudian diikuti oleh 450 pemilik tv lokal) menggugat ASCAP pada tahun 1984 karena adanya perbedaan pendapat dalam standardisasi  penghitungan. Fox Broadcasting juga pernah bersengketa dengan ASCAP karena adanya tagihan lanjutan yang ditujukan kepada televisi lokal jaringannya (Donald E Biederman, 2001).

 

Menguji KCI

Dapat dilihat bahwa perlawanan atau ujian yang dihadapi collection societies merupakan hal yang dapat terjadi dimana-mana. Pengguna ciptaan tentunya akan selalu mempertanyakan setiap royalti yang dibayarnya. Apa yang dihadapi KCI saat ini adalah sesuatu yang bisa menjadi modal KCI untuk memperbaiki landasan yuridis operasi nya dikemudian hari. Bukan tidak mungkin persoalan-persoalan ini di kemudian hari akan diuji di Pengadilan.

 

Adapun beberapa persoalan yang potensial menjadi ujian bagi KCI telah diajukan oleh para pelaku usaha seperti yang dapat diuraikan dibawah ini. Pertama, masalah Penjualan Kaset/CD versus Performing Rights. Perbedaan pendapat antara kedua lembaga  ini adalah mengenai pemutaran lagu,pameran dan penjualan di toko kaset yang dianggap sebagai bentuk pengumuman. Dapat diduga KCI mengacu kepada Pasal 1 butir 5 UU Hak Cipta yang mencantumkan kegiatan pameran dan penjualan sebagai salah satu bentuk pengumuman. Hal ini memang dapat mengundang perlawanan mengingat proses pameran dan penjualan kaset/cd tidak lain adalah kelanjutan dari hak menggandakan (mechanical rights). Bukankah mechanical rights tidak akan berjalan tanpa adanya penjualan? Dapatkah dibayangkan bagaimana nasib penjualan kaset/cd sebagai media penggandaan apabila tidak dilakukan penjualan di toko kaset?. Dalam hal ini perlu tampaknya perlu dilakukan pengkajian yang mendalam mengenai penerapan UU Hak Cipta terutama dari sisi kepentingan ekonomi si pencipta sendiri.

 

Kedua, perbenturan antara Hak Siar (Broadcasting Right) Lembaga Penyiaran dengan Performing Rights. Patut dipertanyakan  penagihan yang dilakukan KCI terhadap Lembaga Penyiaran terutama apabila lagu yang disiarkan telah dibayar broadcasting right nya. Pertanyaan ini mungkin saja timbul atas lagu-lagu rekaman yang telah dibayar lisensi hak siarnya. Broadcasting right itu sendiri pada pokoknya berarti hak untuk menyiarkan yang juga  berarti hak untuk mengumumkan. Dengan demikian terdapat kemungkinan KCI mendapat ujian dari lembaga penyiaran terutama untuk mendapatkan penghitungan lisensi sebatas bagi lagu yang belum diperoleh Broadcasting rightnya. Belum lagi ternyata KCI juga coba menagih hotel-hotel berdasarkan keberadaan pesawat televisi di kamar hotel. Perlu pula dikaji secara mendalam apakah performing rights yang telah ditagih ke lembaga penyiaran dapat pula ditagih kembali ke hotel, apalagi apabila melalui televisi berbayar (pay tv).

 

Ketiga, perbenturan antara Ringtone dengan Performing Rights. KCI sendiri mengakui bahwa mereka memungut performing rights bagi pelaku usaha ring tone. Patut dipertanyakan dimanakah aspek pengumuman dalam perdagangan ring tone ?. Pengalaman kantor penulis sendiri menemukan bahwa KCI masih ragu dalam men standar kan dasar pemungutannya. Bahkan pencantuman judul lagu di media cetak pun diajukan sebagai bentuk pengumuman. Bukankah pencantuman judul lagu sangat berbeda dengan pengumuman lagu itu sendiri ?  Dalam hal ini proses perdaganan ring tone atau ring back tone hampir persis dengan proses mechanical rights. Dapat dikatakan bahwa proses transaksi yang terjadi adalah proses penggandaan. Apa yang dipersoalkan ASIRI diatas dapat saja terjadi dalam proses perdagangan ring tone. Kegagalan dalam menentukan standar seperti ini tentu sangat potensial untuk mendapat kan perlawanan dari pelaku usaha.

 

Keempat, perbenturan antara Synchronisation Rights dengan Performing Rights. Synchronisation Rights adalah bentuk hak untuk menjadikan suatu ciptaan musik menjadi bahagian yang melekat pada ciptaan film. Musik atau lagu yang dijadikan ilustrasi sebuah film di akuisisi melalui Synchronisation Rights  dengan harga tertentu. Bahkan untuk suatu ciptaan film yang terkenal dapat disebut harga sejumlah 100.000 pounds (ann morison 2003). Setelah dibayar Synchronisation Rightsnya maka sebuah lagu akan menjadi bahagian dari sebuah film yang ditayangkan atau diputar di bioskop.

 

Dalam hal ini perbenturannya dengan Performing Right adalah, apakah lagu dalam film tersebut masih dianggap sebagai lagu yang diumumkan atau sebagai bahagian dari sebuah film ? Bukankah film tersebut sudah dibayar lisensi nya lengkap dengan lagu yang telah dibayar pula dengan cukup mahal?

 

Penutup

Cukup banyak potensi ujian bagi KCI ke depan. Tentunya ujian-ujian dimaksud akan semakin memperkuat niat KCI untuk meningkatkan kemampuannya dalam mewakili pencipta dan juga dalam memperlakukan pelaku usaha secara lebih adil dan terbuka.

 

*) Penulisadalah seorang advokat.

Somasi ASIRI bukanlah perlawanan pertama yang dialami KCI.  Sebelumnya beberapa restoran dan hotel menolak untuk membayar royalti kepada KCI yang kemudian berujung kepada gugatan KCI terhadap sebuah hotel di Jakarta. Kontroversi hubungan KCI dengan pengguna ciptaan musik agaknya akan terus berlanjut.   Beberapa restoran dan hotel keberatan dengan  metode penghitungan yang dilakukan KCI sebagai alasan penolakan mereka.

 

Lebih jauh lagi ASIRI justru mempertanyakan kewenangan KCI melakukan semua pungutan itu. Bentuk perlawanan hotel dan restoran dimaksud dapat diartikan sebagai ujian bagi KCI atas tata cara pemungutan yang dilakukannya. Sementara perlawanan ASIRI lebih ekstrim lagi menggugat eksistensi KCI sebagai lembaga pemungut royalti hak mengumumkan (performing right).

 

Berbagai ujian yang dialami KCI diatas menggambarkan beratnya beban KCI kedepan. KCI terbebani untuk memperjelas eksistensi performing right dalam penggunaan ciptaan dan juga mempertegas eksistensinya sebagai lembaga pemungut royalti. Mungkin saja KCI dikemudian hari akan berterimakasih kepada pihak-pihak yang melakukan perlawanan  ini. Dengan semakin banyaknya ujian atau perlawanan maka KCI akan semakin kuat dalam mempersiapkan landasan-landasan operasional aktifitasnya.

 

Performing Right

Tidak sedikit  pelaku usaha yang belum mengetahui apa sebenarnya substansi dari hak mengumumkan itu.  Mengacu kepada Pasal 1 butir 1 UU 19 tahun 2002 maka terdapat 2 hak eksklusif yang dilindungi dibawah hak cipta yaitu hak mengumumkan dan hak memperbanyak. Secara umum masyarakat sangat mengenal hak memperbanyak yaitu hak menggandakan ciptaan. Dalam ciptaan musik atau lagu kita mengenal kaset, compact disc (cd) sebagai media penggandaan. Dengan membeli kaset maka kita membeli hak memperbanyak (mechanical right). Dengan beredarnya kaset bajakan maka terjadilah pelanggaran hak memperbanyak atas suatu ciptaan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: