Antara Pujian dan Kritik
Fokus

Antara Pujian dan Kritik

Perbedaan persepsi kewenangan masih dipandang sebagai batu sandungan relasi MA-KY. Akibatnya, pelaksanaan tugas KY dinilai kurang maksimal. Jalan keluar untuk menyiasatinya adalah dengan merevisi UU Komisi Yudisial.

Oleh:
Aru/Tif
Bacaan 2 Menit
Antara Pujian dan Kritik
Hukumonline

 

Tentu saja, banyak yang dilakukan oleh KY setahun belakangan. Ada yang memuji namun tak sedikit yang mengkritik. Firmansyah Arifin, Koordinator Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), mengatakan capaian KY selama tahun ini adalah tingginya ekspektasi publik terhadap upaya KY dalam reformasi pengadilan, terutama dalam mengawasi perilaku hakim yang menyimpang.

 

Setidaknya sampai sejauh ini, itu yang menurut saya cukup berhasil diraih oleh KY ujar Firmansyah. KY sudah berhasil menciptakan kondisi agar reformasi peradilan di tubuh MA jalan terus melalui pengawasan hakim agung.

 

Firmansyah megakui dampak yang terlihat, selain masyarakat bisa berempati ke KY namun juga bisa menimbulkan citra tidak simpati pada MA. Namun, menurut Firmansyah capaian KY lebih berarti dibanding ekses yang ditimbulkannya..

 

Namun, Rifqi Sjarief Assegaf, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) menyatakan sulit untuk menilai kinerja lembaga yang baru berdiri selama setahun.

 

Tabel Rekomendasi KY

Jumlah Hakim

Asal Pengadilan

4

PN Bogor

3

PT Banten

1

PN Stabat

3

PN Jakarta Selatan

2

PN Jakarta Pusat

5

PT Bandung

                   Sumber: Komisi Yudisial

 

Soal ekspektasi masyarakat, Rifqi memandangnya dari sisi lain. Kalau itu membawa implikasi buruk citra institusi yang sebagian bukan akibat dari kesalahannya (MA, red), maka itu bertentangan dengan tujuan didirikannya KY, tutur Rifqi. Maksudnya, jika citra buruk dunia peradilan terus ditonjolkan, meski tidak semuanya disebabkan kesalahan MA sendiri, akan kontra produktif.

 

Ia melihat sekarang ini citra pengadilan yang semakin hancur menjadikan semangat orang akan perubahan menjadi menciut. Orang yang tadinya ingin berubah kalau setiap hari dikasih berita yang buruk soal peradilan yang sebagian beritanya salah, akan menjadi antipati terhadap perubahan, sesal Rifqi. Padahal, cukup banyak orang yang bergerak di pengadilan yang ingin berubah.

 

Kaitan antara citra dan pemberitaan ini, menarik disimak pendapat Sebastiaan Pompe, pemerhati hukum Indonesia berkebangsaan Belanda. Menurut penulis buku The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse ini, KY lembaga yang sangat politis. Sikap KY yang menegaskan pendapatnya adalah, kecenderungan KY untuk berlari ke DPR atau media massa ketika menghadapi suatu masalah.

 

Kendala UU

Laiknya koor, semua sumber yang dihubungi hukumonline menyatakan kewenangan KY sebagai kendala setahun berdirinya Komisi. Gayus Lumbuun, Anggota Komisi III DPR misalnya, menyatakan KY dan MA belum menyatukan pemahaman kewenangan terutama pengawasan hakim.  Firmansyah juga berpendapat KY belum dapat memasksimalkan wewenang terbatas yang dia miliki secara strategis.

 

Peran yang terbatas yang dimaksud Firmansyah dapat dilihat pada Pasal 13 UU KY. Disebutkan KY hanya punya dua wewenang, pertama, mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR. Dan kedua, menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

 

Sedikit berbeda dengan yang lain, Busyro memandang problem pengawasan hakim terletak pada belum adanya pemahaman yang sama dari sebagian hakim. Dalam praktek selama ini, ada 74 hakim sudah kita panggil dan ada beberapa yang tidak hadir. Bagi yang tidak hadir, menurut saya belum ada persepsi yang sama tentang kewenangan KY, terang Busyro.

 

Rifqi malah menganggap problem yang muncul bukan ketidaktahuan tapi lebih pada ketidaksetujuan akan wewenang KY. Dan hal itu, menurutnya akan terus muncul karena masing-masing merasa paling benar menafsirkannya. Padahal banyak sekali problem soal penafsiran itu.

 

Akibat perbedaan penafsiran ini fatal menurut Rifqi. Menurutnya, dalam satu tahun ini kondisi menjadi lebih buruk dengan kehadiran KY. Saya tidak bermaksud  menyatakan KY adalah penyebabnya. Karena salah penafsiran kewenangan sehingga menimbulkan reaksi yang sama tidak baiknya oleh MA. Akibatnya tujuan terbentuknya KY tidak tercapai ujarnya.

 

Membicarakan beda persepsi antara MA-KY, kenyataan menunjukkan bagaimana hal itu menyebabkan friksi yang berbuntut pada perselisihan. Tidak main-main, perbedaan itu berujung ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hingga saat ini MK masih memeriksa permohonan judicial review (uji materi) Undang-Undang No.22 Tahun 2004 tentang KY yang diajukan 31 hakim agung.

 

Tentu saja, proses permohonan yang memasuki tahapan akhir itu menarik untuk ditunggu karena berdampak luas. Firmansyah sendiri melihat ada dua kemungkinan masa depan MA-KY pasca putusan. Putusan itu bisa memperburuk hubungan MA-KY atau sebaliknya, menjadi pintu masuk untuk melakukan upaya perbaikan antara MA-KY.

 

Mudah-mudahan yang kedua itu, sehingga bisa jadi jalan upaya pelaksanaan kewenangan, perbaikan untuk mereformasi sistem kekuasaan kehakiman kita. Saya kira tidak hanya MA tapi juga MK dan keberadaan KY, tuturnya sambil berharap agar putusan itu mendorong reformasi peradilan ke arah yang maju, bukannya mundur.

 

Soal Rekomendasi

Kalau dirunut kebelakang, dan diakui pula oleh Busyro, panasnya relasi MA-KY ini dimulai ketika kasus sengketa pemilihan kepala daerah Kota Depok menyeruak.

 

Saat itu, belum apa-apa Ketua MA mengatakan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat final and binding. Selanjutnya, ketika KY hendak memeriksa hakim PT Jabar, Ketua MA mengatakan silahkan periksa. Masalah apakah rekomendasi itu kami tanggapi, itu urusan lain, begitu cerita Busyro.

 

Fakta kemudian membuktikan. Dari 18 rekomendasi yang dikeluarkan KY, tidak satupun yang dilaksanakan oleh MA. Jangankan dilaksanakan, ditanggapi pun tidak. Tidak ditanggapinya rekomendasi KY ini menurut Firmansyah menunjukkan sikap MA yang tidak ingin melakukan perubahan.

 

Soal tidak digubrisnya rekomendasi KY oleh MA, Rifqi mempunyai pendapat yang berbeda. Menurutnya, hal pertama yang perlu dicermati adalah apakah pembuatan rekomendasi tersebut sesuai dengan kewenangan KY. Rifqi sendiri menilai sebagian rekomendasi KY dibuat di luar kewenangannya.

 

Walaupun demikian, Rifqi dan Gayus menyayangkan sikap MA yang tidak mengacuhkan rekomendasi KY. Seharusnya MA merespon atau paling tidak memberi penjelasan mengapa tidak melaksanakan rekomendasi tersebut.

 

Busyro juga menyesalkan sikap MA ini. Tapi dibalik penyesalan itu, kami merasa lebih terpanggil karena punya rasa turut memiliki terhadap masa depan MA. Dan kami selalu bertitik tolak bahwa hambatan yang kami hadapi lebih banyak pada kultur pengadilan yang tidak bisa disalahkan kepada yang sekarang ini. Karena sebagian dari mereka tidak bisa lepas dari budaya lama, ujarnya.

 

Dibalik itu semua, ada jiwa besar Busyro yang perlu diacungi jempol saat ditanya apakah sempat berpikir soal kemungkinan jeleknya kualitas rekomendasi KY. Ya sempat. Kami tidak hanya mengoreksi tapi juga menerima jika dikoreksi oleh kalangan lain. Soal hasil itulah realitas yang ada saat ini jawab Busyro. Ia menambahkan rekomendasi yang disampaikan sudah prosedural dan sesuai dengan UU KY.

 

Revisi UU

Bagaimanapun juga, waktu tidak dapat berulang. Untuk itu penting menemukan langkah yang tepat saat KY memasuki tahun keduanya. Soal ini, Busyro dengan mantap menyatakan revisi UU KY dan UU terkait seperti UU MA, UU MK dan UU Kekuasaan Kehakiman sebagai target KY di tahun kedua.

 

Gayus dan Rifqi menilai langkah Busyro ini tepat. Menurut Gayus DPR adalah lembaga yang tepat untuk menilai apakah muatan dari UU tersebut perlu diperbaiki atau ditambah.

 

Perubahan UU KY ini menurut penilaian Rifqi sebagai keniscayaan. Kalau tidak maka hubungan kedua lembaga masih akan seperti ini. Hal penting dalam perubahan itu misalnya; Pertama, kejelasan kewenangan KY, terutama di bidang pengawasan. Ini perlu diatur untuk menjawab apakah putusan boleh dijadikan dasar pemeriksaan atau tidak. Kedua, mengenai pengaturan code of conduct. Ketiga, tatacara pengawasan harus jelas.

Sesaat setelah reformasi 1998 bergulir, Daniel S. Lev, Indonesianis asal Amerika Serikat yang baru saja wafat, pernah menekankan pentingnya melakukan perubahan beberapa institusi. Salah satunya adalah institusi peradilan. Sebenarnya, hal ini sudah menjadi pengetahuan umum bagi banyak kalangan betapa bobroknya sistem dan mentalitas para hakim.

 

Mulailah dipikirkan sebuah lembaga khusus untuk mengawasi kinerja badan peradilan. Lembaga tersebut diamanatkan dalam amandemen ketiga  Undang-Undang Dasar 1945, dengan nama Komisi Yudisial (KY). Selanjutnya, pada 2 Agustus 2005 KY secara resmi berdiri dengan tujuh orang anggota pilihan Dewan Perwakilan Rakyat, di pimpin M. Busyro Muqoddas, praktisi dan akademisi asal Yogyakarta.

 

Busyro menuturkan kepada hukumonline, Selasa (1/8), KY ini lahir sebagai bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Saat ini, lanjut Busyro, KY berada dalam setting masyarakat atau bangsa transisional, beralih dari rezim otoriter menuju tatatan masyarakat.

 

Karenanya, menurut Buysro, prinsip-prinsip demokrasi menjadi penting, terutama check and balances. Sehingga KY tidak bisa lepas dari kepentingan untuk menegakkan proses checks and balances sesuai dengan domain reformasi peradilan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: