Andi Samsan Nganro: Hakim Disorot Karena Dicintai
Profil

Andi Samsan Nganro: Hakim Disorot Karena Dicintai

Secara fair, media seharusnya juga berkenan memberitakan apabila ada prestasi yang diraih oleh dunia peradilan.

Oleh:
RZK
Bacaan 2 Menit
Andi Samsan Nganro: Hakim Disorot Karena Dicintai
Hukumonline

Berangkat dari pengalaman membantu rakyat kecil mencari keadilan selama di LBH, Andi akhirnya tertarik untuk mencoba mendaftar menjadi hakim. “Saya tertarik menjadi hakim karena selama di LBH peran saya seperti menjembatani perjuangan orang-orang kecil untuk mencari keadilan. Jadi saya terbiasa berpihak pada kepentingan rakyat kecil yang hak-haknya teraniaya,″ucap Andi menjelaskan alasan yang mendorongnya memilih profesi hakim.

Dia mengakui profesi hakim bukanlah profesi yang populer bagi sarjana hukum. Andi memandang ketidakpopuleran tersebut lebih disebabkan karena kehidupan seorang hakim diatur lebih ketat dan menjadi sorotan masyarakat dibandingkan profesi hukum lainnya. “Sebagai contoh, hakim yang kaya tentunya lebih dicurigai dibandingkan advokat yang kaya. Terlalu ketat aturan-aturan yang berlaku bagi hakim,″ tukasnya.

Perjalanan Karier Hakim Andi Samsan Nganro

1979       

Calon hakim PN Ujung Pandang/Makassar, Sulawesi Selatan

1983                       

Hakim PN Sia-Sio, Maluku Utara

1986                       

Hakim PN Tanahgrogot, Kalimantan Timur

1989-1994                       

Hakim PN Balikpapan, Kalimantan Timur

1994-1997                       

Hakim PN Samarinda, Kalimantan Timur

1997                       

Ketua PN Tenggarong, Kalimantan Timur

2000                       

Hakim PN Jakarta Pusat

Akhir 2003

Ketua PN Cibinong

Awal 2006              

Ketua PN Jakarta Selatan

Perjalanan karier Andi sebagai hakim diawali di PN Ujung Pandang (atau sekarang yang lebih dikenal sebagai Makassar) Sulawesi Selatan pada tahun 1979. Setelah hampir empat tahun berkantor di PN Makassar, Andi akhirnya diangkat sebagai hakim dan dipindahkan ke PN Sia-Sio, Maluku Utara. Empat tahun kemudian, Andi kembali menyeberangi pulau karena dipindahkan ke PN Tanahgrorot, Kalimantan Timur. Selama di sana, pengabdian Andi sebagai hakim diuji karena sangat sedikit perkara yang masuk ke PN Tanahgrogot mengingat lokasinya yang terletak di pedalaman.

Namun, kelangkaan perkara ternyata membawa hikmah. Dengan modal kreativitas, Andi mulai mengasah kemampuan menulis dengan mengangkat tema-tema seputar penegakan hukum. Tulisan Andi pun mulai diakui oleh harian-harian nasional seperti Kompas atau Suara Pembaruan. Bahkan, menjelang akhir masa tugasnya di PN Tanahgrogot, tulisan Andi berjudul Mengintip Berbagai Tantangan di Celah-Celah Tugas Peradilan Sang Hakim berhasil menyabet juara II Lomba Penulisan Ilmiah di bidang hukum yang diselenggarakan oleh Majalah Kartini dan Majalah Forum Keadilan.

Selepas di PN Tanahgrogot, karier Andi sebagai hakim berlanjut ke PN Balikpapan, Kalimantan Timur. Di PN Balikpapan, Andi mulai melakoni peran sebagai humas pengadilan. Peran ini bahkan terus berlanjut ketika dia dipindahkan ke dua PN berikutnya di Kalimantan Timur, yakni PN Samarinda. “Di sinilah saya mulai dekat wartawan karena peran saya sebagai humas,″ tutur Andi, menjelaskan alasan yang membuat dia cenderung dekat dengan kalangan wartawan.

Perjalanan melanglang buana dari satu pulau ke pulau yang lain akhirnya berhenti di Ibukota Jakarta. Pada tahun 2000, Andi mulai bertugas di PN Jakarta Pusat. Selain kembali ditunjuk menjadi humas pengadilan, Andi selama di sana juga mendapat tantangan berupa kasus-kasus yang menarik perhatian masyarakat mulai dari kasus pengibaran bendera Papua Merdeka dan pelanggaran HAM sampai kasus-kasus yang melibatkan orang-orang ternama seperti Tommy Soeharto, Probosutedjo, dan Akbar Tandjung.

Selain itu, Andi juga beberapa kali menangani perkara yang terbilang kompleks sehingga  memerlukan terobosan-terobosan. Dalam kasus Nunukan, misalnya, Andi harus menghadapi jenis gugatan citizen lawsuit (gugatan warga negara, red.) yang baru dikenal di Indonesia. Andi akhirnya memenangkan gugatan tersebut dan menyatakan pemerintah bersalah karena dinilai belum maksimal dalam melindungi tenaga kerja migran.

Kasus kompleks lainnya adalah kasus kehilangan kendaraan di lahan parkir yang dikelola oleh Secure Parking. Dalam kasus ini, Andi mencoba menerobos klausula baku “pengelola parkir tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan atau kerusakan” yang tertera di karcis parkir. “Dengan keberanian menerobos klausula baku, tujuannya agar para pengelola parkir tahu diri juga, bahwa mereka tidak boleh berlindung semata-mata pada aturan formal dalam karcis itu,” papar Andi yang akhirnya memenangkan pihak penggugat.

Selang tiga tahun kemudian, Andi ’digeser' ke daerah pinggiran Ibukota, yakni PN Cibinong. Di sini ia menjabat sebagai Ketua Pengadilan. Selama di PN Cibinong, tidak banyak perkara yang ditangani Andi karena sebagai pimpinan pengadilan, dia disibukkan dengan urusan-urusan yang bersifat manajerial. Praktis hanya kasus pembunuhan mahasiswi Universitas Trisakti dan kasus korupsi DPRD Depok, kasus besar yang ditanganinya. 

Pada awal tahun 2006, Andi kembali ditugaskan ke tengah Jakarta yakni PN Jakarta Selatan dengan jabatan Ketua Pengadilan. Begitu menginjakkan kaki di PN Jakarta Selatan, Andi langsung dijejali dengan perkara-perkara yang menarik perhatian publik seperti perkara praperadilan SKP3 Soeharto dan kasus suap yang melibatkan dua warga PN Jakarta Selatan yakni hakim Herman Allositandi dan panitera Andry Djemi Lumanauw. Ditambah lagi dengan label yang sudah lama disematkan pada PN Jakarta Selatan sebagai ’kuburan pemberantasan korupsi'.

“Saya menanggapi image buruk PN Jaksel terutama soal cap PN Jakarta Selatan sebagai ’kuburan pemberantasan korupsi' biasa saja karena sinyalemen itu adalah masa lalu. Modal saya disini adalah pertama komitmen, kedua menunjukkan contoh yang baik, ketiga memberikan pelayanan yang baik kepada pencari keadilan,” kata Andi.

Dari kedua perkara tersebut, perkara Herman dan Djemi sepertinya menjadi perkara paling berat bagi Andi. Pasalnya, kasus ini seolah-olah sedikit menguak mafia peradilan yang selama ini ramai didengung-dengungkan masyarakat. Menurut pengakuan Andi, kasus Herman bukanlah kasus hakim menjadi terdakwa pertama yang ia pernah tangani. Sebelumnya, sewaktu bertugas di PN Jakarta Pusat, Andi juga pernah menangani kasus sejenis yakni kasus suap dengan terdakwa dua hakim agung, Marnis Kahar dan Supraptini Sutarto.

Menyikapi nasib kolega-koleganya sesama hakim yang menjadi terdakwa, Andi berpendapat hal tersebut dapat dipandang sebagai penegasan bahwa pada dasarnya tidak ada seorangpun yang kebal hukum. Dia, bahkan, berpendapat kalau penegak hukum seperti hakim melakukan pelanggaran maka haruslah lebih berat karena asumsinya penegak hukum lebih mengetahui hukum dibandingkan orang biasa.

Andi menambahkan kasus-kasus yang selama ini terjadi tidak serta-merta dapat dikatakan mafia peradilan karena kata ’mafia' mengandung makna suatu kejahatan yang terorganisir. “Namun, kita tidak bisa menutup mata bahwa memang terjadi penyalahgunaan jabatan/wewenang oleh penegak hukum,” sambungnya.

Secara khusus, Andi menyatakan keprihatinannya terhadap kecenderungan media yang lebih suka mengekspos hal-hal buruk dari pengadilan. Media, menurut Andi, seharusnya berimbang dalam melakukan pemberitaan. Artinya, secara fair, media seharusnya juga berkenan memberitakan apabila ada prestasi yang diraih oleh dunia peradilan. "Namun, menurut hemat saya, kalau dunia peradilan disorot bukan berarti mereka tidak suka tetapi justru mencintai. Profesi hakim adalah pekerjaan yang strategis karena banyak disorot dan banyak dibicarakan orang,” kata Andi.

"Gimana bang, yakin menang gak?"

"Kalau hakimnya Pak Andi sih jaminan mutu. Kita percaya sama dia"

Dua baris kalimat di atas adalah sepenggal wawancara informal dan singkat antara hukumonline dengan seorang aktivis Asosiasi Penasehat Hukum dan HAM Indonesia (APHI) di sela-sela persidangan praperadilan SKP3 perkara mantan Presiden Soeharto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Apa yang tersirat dari perbincangan tersebut adalah ekspresi keyakinan yang begitu tinggi dari si aktivis selaku pemohon praperadilan bahwa perkaranya akan dimenangkan oleh sang hakim. Terbukti, permohonan praperadilan APHI cs dikabulkan dan SKP3 kontroversial tersebut pun dinyatakan tidak sah.

Sebenarnya apa yang membuat aktivis tersebut begitu yakin kalau dia akan menang? Orang yang berpikiran negatif mungkin akan curiga ada ‘permainan' di balik kemenangan APHI cs. Namun, kecurigaan tersebut sepertinya kecil kemungkinan terjadi mengingat perkara ini adalah perkara publik bukan perkara bisnis. Ditambah lagi para pemohon praperadilan adalah organisasi nirlaba yang dengan labelnya sebagai ‘pengacara (kepentingan) rakyat' agak mustahil memiliki dana lebih untuk melakukan ‘permainan'.

Sebagaimana terungkap dalam petikan dialog di atas, mereka yakin akan menang karena yang menangani perkara ini adalah Andi Samsan Nganro, hakim yang menurut sepengetahuan mereka mempunyai reputasi cukup baik. Keyakinan APHI cs memang beralasan karena sejauh ini kiprah hakim kelahiran Sengkang, Sulawesi Selatan, 2 Januari 1953 ini dapat dikatakan relatif tanpa cacat.

Pada awalnya, Andi yang lahir sebagai anak sulung dari tiga bersaudara sebenarnya tidak memiliki cita-cita untuk menjadi hakim. Dia justru berkeinginan menjadi aparat pemerintah yang diilhami dari sepak terjang ayahnya yang menjabat Kepala Desa. Alasan Andi tertarik untuk menjadi aparat pemerintah sangat sederhana yakni agar dapat terus berdekatan dengan rakyat.

Hasrat untuk menjadi aparat pemerintah akhirnya pudar sedikit demi sedikit begitu Andi mulai mengenal ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Masuk pada tahun 1973, Andi berhasil menyelesaikan studinya dalam kurun waktu lima tahun. “Setelah mempelajari ilmu hukum, saya mulai tertarik karena ilmu hukum terkait dengan masyarakat dan kenyataan-kenyataan sosial yang terkadang kita hadapi sehari-hari,″ tuturnya.

Ketertarikan Andi terhadap dunia hukum semakin menjadi-jadi ketika berpraktik di LBH Makassar yang memungkinkan dia bersentuhan langsung dengan dunia peradilan. Selama hampir dua tahun, Andi bergelut dengan berbagai jenis perkara, mulai dari perkara rakyat kecil hingga perkara kontroversial sekalipun seperti kasus penghinaan Presiden Soeharto yang dilakukan oleh Ketua Dewan Mahasiswa IKIP Makassar.

Tags: