Catatan Awal Tahun 2001
Modus-Modus Baru Bermunculan di Pengadilan Niaga
Fokus

Catatan Awal Tahun 2001
Modus-Modus Baru Bermunculan di Pengadilan Niaga

Sederhana saja sebenarnya. Buktikan ada utang yang telah jatuh waktu plus adanya kreditur lain, maka Anda seharusnya bisa mempailitkan debitur Anda. Namun, di Pengadilan Niaga ternyata prosesnya tidak sesederhana itu. Bahkan trik-trik di Pengadilan Niaga akhir-akhir ini semakin canggih untuk menghindar dari pailit, terutama pada proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Oleh:
Leo/APr
Bacaan 2 Menit
<font size='1' color='#FF0000'><b>Catatan Awal Tahun 2001</b></font><BR>Modus-Modus Baru Bermunculan di Pengadilan Niaga
Hukumonline

Kasus-kasus di Pengadilan Niaga awalnya sempat 'dihiasi' dengan perdebatan definisi utang. Definisi utang dibelokkan sedemikian rupa seakan-akan yang dimaksud utang hanyalah utang yang bersumber dari perjanjian pinjam-meminjam uang belaka. Untuk menghindar dari pailit, cara yang efektif bagi debitur adalah membantah adanya utang-utang tersebut. Atau setidaknya, menyatakan kewajiban debitur yang harus dipenuhi bukanlah utang yang dimaksud Undang-Undang Kepailitan (UUK).

Belakangan, definisi utang sudah mulai jelas dan kelihatan arahnya. Utang, baik oleh Pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung, didefinisikan sebagai kewajiban yang dapat dinilai dengan uang dan penafsirannya menjadi luas. Otomatis, ruang bagi debitur unuk menyangkal utang semakin sempit.

Dengan semakin jelasnya definisi utang, maka saat jatuh tempo, otomatis juga akan semakin jelas. Kalau utangnya bersumber pada perjanjian pinjam-meminjam uang, jatuh temponya ditentukan di dalam perjanjian tersebut. Kalau utang yang bersumber dari penerbitan promes misalnya, jatuh temponya bergantung kepada hari bayar promes tersebut.

Kreditur lain

Yang masih sedikit menjadi masalah adalah membuktikan adanya kreditur lain. Masih belum jelas apakah kreditur lain tersebut harus hadir, atau cukup memberi kuasa. Atau adanya kreditur lain, cukup dibuktikan dengan menunjuk laporan keuangan debitur.

Terlepas dari definisi utang yang telah jatuh tempo dan kreditur lain yang semakin jelas, ada beberapa persoalan yang masih belum jelas bagaimana sikap Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung. Persoalan yang pertama adalah penerbitan surat sanggup (promes).

Pada Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), penerbitan promes diatur pada pasal 174. pada pasal ini ditentukan syarat-syarat fisik sahnya surat sanggup. Apabila promes diterbitkan sesuai dengan ketentuan pasal 174 KUHD tersebut, sudah sahlah penerbitan promes. Penerbit memiliki kewajiban-kewajiban yang timbul sehubungan dengan penerbitan promes tersebut.

Namun, di Pengadilan Niaga pembuktiannya menjadi lebih rumit. Pada kasus antara PT Indosurya Mega Finance versus PT Great Star Perdana Indonesia dipermasalahkan bahwa untuk perbuatan pinjam-meminjam uang, termasuk di dalamnya penerbitan surat sanggup, harus diperoleh persetujuan komisaris sebagaimana disebutkan dalan Anggaran Dasar Perseroan.

Tags: