Catatan Seputar Gugatan Class Action yang Menghebohkan
Oleh Amrie Hakim*)

Catatan Seputar Gugatan Class Action yang Menghebohkan

Gugatan class action yang diajukan oleh lima peserta Ujian Profesi Advokat tanggal 4 Februari 2006 telah membikin geger. Lima orang yang gagal lulus ujian yang dimotori oleh M. Cholil Saleh ini mendaftarkan dua gugatan class action ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tergugatnya, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Panitia Ujian Profesi Advokat (PUPA).

Bacaan 2 Menit
Catatan Seputar Gugatan Class Action yang Menghebohkan
Hukumonline

Diolah dari berbagai sumber

 

Seperti disinggung sebelumnya, mekanisme gugatan perwakilan kelompok (class action) yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 Tahun 2002 belum banyak dipahami oleh masyarakat. Misalnya saja, banyak peserta UPA 4 Februari, baik yang lulus maupun tidak lulus, yang panik ketika mengetahui mereka ikut disangkut-pautkan dalam gugatan tersebut. Ini, menurut penulis, sedikit banyak disebabkan mereka belum memahami benar mekanisme class action, atau lebih khusus lagi, pengertian anggota kelompok.

 

Namun, permasalahan itu seharusnya dapat diminimalisir jika para anggota kelompok mendapatkan informasi yang terang mengenai kedua gugatan tersebut. Sampai di sini, kita melihat betapa vitalnya peran dari pengumuman atau notifikasi bagi para anggota kelompok. Karena itu, kurangnya pemahaman para anggota kelompok mengenai gugatan tersebut menjadi indikator utama tidak maksimalnya penggugat dalam melakukan pengumuman/notifikasi.

 

Sampai artikel ini ditulis, penggugat baru melakukan pengumuman untuk perkara No. 168. Pengumuman dilakukan dua kali yaitu di Media Demokrat (25 Juli) dan Suara Pembaruan (4 Agustus). Pemilihan media tempat pengumuman menjadi persoalan karena majelis hakim memberikan kebebasan penuh kepada penggugat untuk menentukannya. Penggugat kemudian menjatuhkan pilihan pada kedua media seperti disebut di atas tanpa ada barometer yang jelas (misalnya, jumlah tiras atau penyebarannya di 18 kota di seluruh Indonesia).

 

Kuasa hukum PERADI-PUPA sempat meminta kepada majelis hakim agar pengumuman oleh penggugat dilakukan di dua media yaitu Kompas dan hukumonline.com. Permintaan demikian diajukan karena sebelumnya PERADI-PUPA menjadikan kedua media tersebut untuk mengumumkan informasi tentang pelaksanaan UPA 4 Februari. Selain tolok ukur pemilihannya jelas, penyebaran (daya jangkau) kedua media tersebut lebih memenuhi asas publisitas bagi seluruh anggota kelompok di 18 kota di Indonesia.

 

Tanggal pengumuman gugatan class action di media massa juga penting karena berkaitan dengan batas waktu 30 hari bagi anggota kelompok untuk menyatakan keluar (opt out) dari gugatan tersebut. Majelis hakim menghitung batas waktu 30 hari mulai dari tanggal pengumuman dimuat di media massa. Pengumuman di dua media massa berbeda membuat para anggota kelompok bertanya-tanya pengumuman di media yang mana yang diperhitungkan oleh majelis.

 

Ketidakjelasan pengumuman serta batas waktu 30 hari pada akhirnya merugikan para anggota kelompok di 18 kota di Indonesia yang hendak mengajukan pernyataan opt out ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jangankan mengajukan opt out, sebagian besar dari mereka bahkan tidak mengetahui adanya gugatan tersebut. Bahkan, ketika mereka akhirnya mengetahui gugatan tersebut mereka tidak mengetahui apakah masih ada waktu untuk mengajukan opt out ke pengadilan.

 

Saat persidangan pada 6 September, Ketua Majelis Hakim yang memeriksa perkara No. 168, Andriani Nurdin, menyatakan batas waktu 30 hari berakhir terhitung hari itu. Puluhan hingga ratusan pernyataan opt out yang diantar langsung maupun lewat pos pun dinyatakan tidak dapat diterima oleh kepaniteraan. Hingga hari terakhir batas waktu notifikasi, jumlah pernyataan opt out yang diterima pengadilan memang tidak signifikan. Tapi, penulis hampir yakin, itu lebih disebabkan banyak anggota kelompok yang tidak tahu-menahu mengenai adanya gugatan tersebut.

 

Belum meratanya pemahaman publik akan mekanisme class action juga dapat dilihat dari perbedaan sikap kedua majelis dalam kedua kasus tersebut. Untuk perkara No. 100 misalnya, setelah class action dinyatakan sah, ketua majelis langsung memerintahkan kedua pihak untuk melakukan mediasi. Sedangkan, untuk perkara No. 168, setelah class action dinyatakan sah, ketua majelis memerintahkan penggugat untuk melakukan notifikasi terlebih dulu. Hal inilah yang menjelaskan mengapa notifikasi perkara No. 168 dilakukan lebih awal ketimbang No. 100 meski pemeriksaan perkara yang disebut pertama dilakukan lebih dulu.

 

Untuk perkara No. 100, sampai dengan 13 September pihak penggugat belum melakukan pengumuman di media massa. Padahal, perintah pengumuman itu telah ditetapkan oleh majelis hakim pada 9 Agustus atau lebih dari 30 hari sebelumnya. Dengan belum diumumkannya notifikasi di media massa, maka batas waktu 30 hari belum jelas. Namun, celakanya salah satu kuasa hukum penggugat melalui hukumonline.com mengumumkan bahwa waktu notifikasi perkara No. 100 telah habis sejak 6 September.

 

Pernyataan kuasa hukum penggugat seperti di atas merupakan indikasi lain bahwa mereka tidak sungguh-sungguh membela kepentingan anggota kelompok, bahkan cenderung menghalang-halangi para anggota kelompok untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai gugatan No. 100. Dilihat dari sudut pandang ini, perbuatan penggugat sebagai wakil kelompok bertentangan dengan apa yang diatur dalam Pasal 2 huruf c Perma No. 1/2002.

 

Perma No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok

Pasal 2

Gugatan dapat diajukan dengan mempergunakan tata cara Gugatan Perwakilan Kelompok apabila:

a.      Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efesien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan;

b.      Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial,  serta terdapat kesamaan jenis tuntutan diantara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya;

c.      Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya;

d.      Hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara,  jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya.

 

Jika benar kuasa hukum penggugat dan/atau penggugat sebagai wakil kelompok memanfaatkan ketidaktahuan atau minimnya informasi yang diserap anggota kelompok untuk kepentingan mereka sendiri, maka sudah jelas hal yang demikian bertentangan dengan semangat dan hakikat dari gugatan class action itu sendiri.

 

Lepas dari itu, ada kepentingan yang jauh lebih besar yang harus dipikirkan baik oleh kelima penggugat maupun PERADI yaitu nasib para calon advokat, khususnya yang tersangkut dalam kedua perkara tersebut. Para calon advokat, baik yang tidak lulus mapun yang lulus ujian, telah banyak berkorban materil maupun immateril demi menapaki satu-demi-satu jenjang untuk menjadi advokat. Mungkin pengorbanan yang tidak kalah mahalnya perlu juga dipikirkan oleh kedua belah pihak yang bersengketa demi kepentingan masa depan profesi advokat ke depan. Wallahu �alam.

 

*) Penulis bekerja di PERADI. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Perseteruan hukum antara kelima penggugat melawan PERADI dan PUPA menjadi heboh karena ikut menyeret seluruh peserta UPA 4 Februari yang jumlahnya 6.000 orang lebih di 18 kota se-Indonesia. Selain itu, masalah ini semakin kompleks karena upaya hukum yang dipilih penggugat yaitu class action belum banyak dipahami publik luas, khususnya para peserta UPA 4 Februari yang dipaksa menjadi anggota kelompok, dan hakim yang memeriksa perkara tersebut.

 

Sebelum masuk ke pembahasan lebih jauh, berikut penulis sampaikan tabel uraian ringkas kedua perkara class action antara kelima penggugat melawan PERADI dan PUPA. Untuk perkara dengan regsiter No. 100/Pdt.G/2006 didaftarkan pada 29 Agustus 2006, sedang perkara register No. 168/Pdt.G/2006 pada 5 Juli 2006.

 

 

Perkara

No. 100

No. 168

Ketua majelis

Aman Barus

Andriani Nurdin

Penggugat/wakil kelompok

1.      M. Cholil Saleh

2.      Mutarom Lardi

3.      M. Tigor Simatupang

4.      Tohap Jefry

5.      Gunawan Wibisono

Kuasa hukum: D.H. Lubis & MHM. Simatupang

 

Idem

Anggota kelompok

Para peserta UPA tanggal 4 Februari 2006 yang tidak lulus.

Para peserta UPA tanggal 4 Februari 2006 sebanyak 6.508 orang.

Petitum

a.      batalkan pengumuman hasil ujian;

b.      bentuk panitia baru;

c.      ujian ulang bagi seluruh peserta.

a.      PERADI telah melakukan PMH;

b.      Membatalkan produk2 dari PERADI;

c.      Kembalikan uang ujian.

Proses yg sedang berlangsung

a.      22 Juni penetapan gugatan perwakilan kelompok sah;

b.      25 Juli mediasi gagal.

c.      9 Agustus majelis menyetujui pengumuman dilaksanakan sampai dengan 30 hari untuk kesempatan opt out;

d.      13 Sept. 2006 penggugat tidak hadir dalam persidangan tanpa alasan. Penggugat belum melakukan pengumuman, sidang ditunda hingga 27 September.

a.      20 Juli penetapan gugatan perwakilan kelompok  sah, majelis hakim memerintahkan penggugat melakukan pemberitahuan di media massa;

b.      sudah ada pengumuman 25 Juli di Media Demokrat dan 4 Agustus di Suara Pembaruan.

c.      6 September mediasi, masa pengumuman dinyatakan habis oleh majelis hakim. 

Halaman Selanjutnya:
Tags: