Gagalnya KPK Buktikan Kerugian Keuangan Negara
Fokus

Gagalnya KPK Buktikan Kerugian Keuangan Negara

Meski sudah ada preseden ditolaknya metode ahli dalam menghitung kerugian negara dalam perkara RRI, penuntut umum KPK tetap menggunakan metode yang pernah ditolak dalam perkara Daan dan Untung Sastrawijaya. Benarkah putusan tingkat banding adalah alasannya.

Oleh:
Aru
Bacaan 2 Menit
Gagalnya KPK Buktikan Kerugian Keuangan Negara
Hukumonline

 

UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pasal 2

(1)          Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 18

(1)          Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:

a.             perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;

b.             pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

c.              penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;

d.             pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

 

         

 

Jika dibandingkan dengan beberapa perkara lain, khususnya perkara pengadaan barang/jasa, perkara Daan ini memang unik. Unik dari sisi perhitungan kerugian negara. Lazimnya perkara pengadaan barang/jasa, ahli selalu menghitung kerugian negara dengan cara menghitung selisih harga rekanan satu dengan yang lain. Dalam hal ini, rekanan pemenang tender dengan rekanan yang menawarkan harga terendah dalam tender namun kalah. Metode ini diterima oleh majelis dan faktanya sukses.

 

Lembaga Penaksir

Sedangkan untuk perkara Daan, rekanan KPU yang memenangkan pengadaan segel surat suara, yakni PT Royal Standard, dalam persidangan adalah satu-satunya rekanan yang memasukkan penawaran. Tidak ada rekanan yang lain. Pertanyaannya lalu, bagaimana metode menghitung kerugian negara sehingga lebih fair dan obyektif untuk perkara sejenis.

 

Dari penelusuran hukumonline, ternyata tidak hanya dalam perkara Daan saja penuntut KPK gagal membuktikan keuangan negara. Tercatat dalam perkara korupsi Radio Republik Indonesia (RRI) dengan terdakwa Suratno (Mantan Direktur Administrasi RRI) penuntut gagal membuktikan unsur kerugian negara.

 

Uniknya, konstruksi perkara RRI dengan Daan ini hampir sama. Yakni cuma ada satu rekanan. Metode penghitungan kerugian negara pun sama. Dengan menggunakan perhitungan ahli yang dinilai punya konflik kepentingan.

 

Dari kasus RRI dan Daan muncul beberapa soal. Apakah terdakwa dalam perkara korupsi pengadaan barang/jasa selalu lolos dari jerat membayar kerugian negara ketika dirinya menjadi satu-satunya rekanan yang mengajukan penawaran dalam tender? Apakah penuntut KPK tidak punya metode lain dalam menghitung kerugian negara? Jawabnya tidak.

 

Simak saja perkara korupsi PT Industri Sandang Nusantara (ISN) terkait penjualan tanah aset ISN. Pembuktian kerugian negara dalam perkara tersebut menggunakan metode penghitungan dari lembaga penaksir (Appraisal), untuk menghitung aset tanah. Dalam perkara ISN, menurut I Made Hendra Kusuma, salah satu hakim ad hoc tipikor dalam perkara tersebut, ada tiga appraisal yang menaksir. Hasilnya sukses, majelis pengadilan tipikor menerima metode penghitungan demikian.

 

Pertanyaannya, bisakah penghitungan yang dilakukan oleh appraisal diterima dalam perkara RRI dan Daan. Menjawab pertanyaan ini, Made Hendra -yang ikut memutus perkara RRI, ISN dan Daan Dimara- saat dihubungi hukumonline mengisyaratkan hal tersebut bisa dilakukan. Menurut Hendra, dasar pertimbangannya menolak dan menerima metode penghitungan kerugian negara adalah faktor independensi dan profesionalisme. Appraisal kan legal dan mereka juga relatif independen, urai Hendra.

 

Walaupun menerima penghitungan appraisal, Hendra mensyaratkan satu hal. Yakni adanya penghitungan dari appraisal pembanding. Artinya harus ada lebih dari satu appraisal. Paling tidak tiga, sehingga kita bisa mencari mana penghitungan yang layak dipakai, ujarnya menjelaskan.

 

Jika demikian faktanya, mengapa penuntut ngotot dengan metode penghitungannya (dalam perkara Daan). Menjawab itu, ternyata ada fakta yang menarik untuk disimak. Dalam perkara korupsi RRI, majelis pengadilan tipikor tingkat banding untuk perkara RRI berbeda pendapat dengan majelis tingkat pertama. Majelis pengadilan tipikor tingkat banding dalam perkara RRI menerima metode penghitungan kerugian negara dan menyatakan unsur kerugian negara secara riil terpenuhi.

 

Apakah putusan pengadilan tingkat banding ini yang dijadikan patokan penuntut  sehingga tetap menggunakan metode yang ditolak Pengadilan Tipikor tingkat pertama? Tumpak Simanjuntak, salah satu penuntut umum dalam perkara Daan menyatakan tetap berpegang pada keterangan ahli karena merasa perhitungan Herman paling obyektif. Kalau bukan dari situ (Aspersindo, red), lalu siapa?

 

Kasus tindak pidana korupsi dibidang pengadaan barang/jasa instansi pemerintah merupakan perkara yang paling banyak ditangani Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Dari kasus-kasus tersebut, KPK tercatat selalu berhasil membuktikan dakwaannya. Terbukti, tidak ada satupun terdakwa yang mampu lolos dari jerat dakwaan penuntut umum KPK.

 

Selain itu, penuntut umum KPK hampir selalu berhasil membuktikan adanya unsur kerugian keuangan atau perekonomian negara dalam suatu perkara yang nilainya milyaran rupiah. Namun demikian, ternyata penuntut tidak selalu berhasil membuktikan unsur kerugian negara. Paling tidak dalam kasus Daan Dimara. Dalam putusannya di perkara Daan Dimara, majelis pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) menyatakan penuntut umum tidak berhasil membuktikan adanya kerugian negara yang riil dalam perkara tersebut.

 

Pertimbangan majelis, metode perhitungan kerugian negara dalam perkara tersebut tidak benar. Karena ahli Agung Krishartanto dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menghitung kerugian negara berdasarkan keterangan ahli Herman Yakub, Sekretaris Asosiasi Percetakan Sekuriti Indonesia (Aspersindo). Menurut majelis, perhitungan Herman mengandung kelemahan.

 

Misalnya, Herman mempunyai perusahaan yang sejenis dengan terdakwa, sehingga ada nuansa kompetisi dalam perhitungan Herman. Selain itu, waktu penghitungan juga menjadi pertimbangan majelis. Pasalnya, Herman diminta untuk menghitung setelah terjadinya perkara.

Tags: