Ketika Pertama Kali Ketua MK Mengajukan Dissenting Opinion
Fokus

Ketika Pertama Kali Ketua MK Mengajukan Dissenting Opinion

Bisakah seorang ketua majelis mengajukan pendapat berbeda dari mayoritas hakim?

Oleh:
M-1/M-4
Bacaan 2 Menit
Ketika Pertama Kali Ketua MK Mengajukan <i>Dissenting Opinion</i>
Hukumonline

 

Jimly dan Maruarar menilai bahwa usulan recall oleh partai politik terhadap anggotanya yang ada di MPR  tidak dapat dibenarkan jika dilakukan serta merta tanpa melalui satu due process of law dalam mekanisme hukum.

 

Mekanisme dalam hukum publik demikian, menurut keduanya merupakan jaminan yang harus ditegakkan untuk menumbuhkan proses demokrasi yang sehat, yang tidak dihambat oleh kekuasaan mutlak partai yang boleh jadi memiliki kepentingan sesaat yang tidak sama dengan kepentingan publik yang sedang diperjuangkan anggota DPR melalui fungsi-fungsi DPR dalam rangka menjalankan kewenangan konstitusionalnya secara sehat dan bertanggung jawab.

 

Sementara itu, Prof. Abdul Mukthie Fadjar berpendapat bahwa pemberhentian anggota DPR yang dimaksud oleh Pasal 22B UUD 1945 pengaturannya dalam undang-undang harus semata-mata karena anggota DPR yang bersangkutan telah melanggar undang-undang atau kode etik dan kode perilaku sebagai wakil rakyat, tidak perlu dengan recalling oleh partai politik induknya. Hal itu disebabkan dianutnya kedaulatan rakyat dan bukan kedaulatan partai.

 

Mukhtie juga menilai bahwa recalling oleh partai politik atas anggotanya yang duduk di lembaga perwakilan dengan alasan pelanggaran AD/ART (Pasal 12 huruf b UU Parpol) tidak menjamin prinsip due process of law yang merupakan salah satu prinsip negara hukum, karena bisa bersifat subjektif pimpinan partai politik yang sulit dikontrol oleh publik.

 

Hakim konstitusi lainnya, Prof. Laica Marzuki, menyatakan bahwa hak recall sama sekali tidak digagaskan oleh the founding fathers dalam rapat-rapat BPUPKI/PPKI di kala pembahasan konstitusi. Juga tidak digagaskan dalam sidang-sidang MPR di kala diadakan perubahan-perubahan UUD 1945. Hak recall menurut Laica tidak termasuk constitutional given untuk partai-partai politik

 

Menurut Laica, tidak lazim recall legislation diberlakukan di parlemen negara-negara yang menganut pemerintahan presidensiil, yang anggota-anggotanya dipilih menurut sistem distrik atau single member constituency. Para anggota DPR hasil Pemilihan Umum tahun 2004, menurut Laica seyogianya tidak dapat di-recall oleh partai politik yang mencalonkannya, mengingat para anggota dewan dipilih berdasarkan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka

 

Penggunaan hak recall (recall recht) oleh partai politik terhadap anggota-anggotanya di parlemen, dalam pandangan Laica cenderung menjadikan partai politik yang bersangkutan dominan terhadap anggota-anggota partainya sehingga anggota-anggota dewan lebih mementingkan kepentingan partainya dari pada membawakan aspirasi rakyat. Anggota dewan yang bersangkutan akan takut pada tindakan recall yang sewaktu-waktu dapat dikenakan terhadap dirinya. Dengan demikian, menurut Laica parlemen menjadi tidak solid serta tidak stabil, dikendalikan oleh elit partai-partai politik dari luar

 

Jika dirunut sejarahnya, hak recall dikenal pada masa pemilu Orde Baru (1971-1997) yang menganut sistem pemilu proporsional murni, sedangkan dalam pemilu 1999 yang juga menganut sistem proporsional murni tidak dikenal hak recall, dan hak recall ternyata dihidupkan kembali dalam Pemilu 2004 yang menganut sistem Pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka (bernuansa/semi distrik).

 

Wajar Ketua MK Berbeda Pendapat

Menurut asisten hakim Konstitusi Fritz Edward Siregar, ketua MK berbeda pendapat dalam suatu putusan adalah hal yang wajar. Praktik semacam itu juga terjadi di negara lain, namun baru pertama kali terjadi di MK Indonesia.

 

Namun demikian, menurut Fritz sebenarnya sebelumnya Jimly selaku ketua MK sempat berbeda pendapat dalam beberapa putusan tetapi sengaja tidak mengajukan dissenting opinion karena menurut beliau, Kaetua MK harus berdiri di setiap putusannya. Kalau tidak, seakan-akan akan ada anggapan bahwa ketua tidak mendukung putusan. Tapi dalam putusan kemarin berubah karena beliau sangat tidak setuju dengan cara pandang yang digunakan, ungkap Fritz.

 

Formasi 5:4 riskan

Terkait komposisi 5:4 sebagaimana tercermin dalam putusan tersebut, menurut Fritz tidak masalah hal tersebut terjadi. Menurutnya, tidak perlu ada komposisi ideal seperti 5:4, 6:3, 7:2 atau 8:1 karena UU MK memang memperbolehkan suara terbanyak. Pertama memang memakai musyawarah mufakat, kedua dengan cara mayoritas. Bila tidak terpenuhi juga maka suara ketua menentukan, jelas Fritz.

 

Ditambahkan oleh Fritz bahwa cakrawala setiap hakim dalam berpikir berbeda sehingga tidak perlu ada komposisi minimal perbandingan suara dalam setiap putusan. Dinungkapkan oleh Fritz bahwa setiap hakim pada dasarnya menginginkan musyawarah mufakat sehingga komposisi seperti itu sebenarnya tidak mereka suka. Kalau ada syarat minimal misalnya 7:2, apakah kita bisa memaksa hakim agar berpindah suaranya untuk memenuhi komposisi minimal tersebut?  cetus Fritz.

 

Senada dengan Fritz, Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin menilai bahwa secara normatif tidak ada larangan ketua MK berbeda pendapat. Sedangkan terkait komposisi hakim 5:4 dalam penentuan putusan maka Firman menilai hal tersebut sangat riskan dari sisi legitimasi.

 

Ketika KRHN menggelar sebuah diskusi terbatas mengenai putusan-putusan MK di Denpasar beberapa waktu lalu, sejumlah kalangan juga mempersoalkan formasi putusan hakim tersebut.

 

Dalam putusan atas permohonan judicial review Djoko Edhi Sutjipto Abdurrahman terhadap UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD Dan DPRD (UU Susduk) dan UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (UU Parpol), Jimly bersama dengan Maruarar Siahaan, Prof. Abdul Mukthie Fadjar, dan Prof. Laica Marzuki mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda) karena tidak sependapat dengan mayoritas hakim konstitusi.

 

Dissenting opinion yang diajukan Jimly patut dicermati. Berdasarkan catatan hukumonline, inilah pertama kalinya ketua majelis sidang MK mengajukan pendapat berbeda secara terbuka danj dimuat dalam putusan.

 

Dengan perbandingan 5:4, akhirnya MK memutuskan menolak permohonan judicial review Djoko dan menyatakan bahwa hak recall tidak bertentangan dengan demokrasi. Inilah untuk kedua kalinya, hakim konstitusi memutus perkara dengan komposisi 5:4. Sebelumnya, komposisi demikian juga terjadi pada putusan mengenai tidak berlakunya asas retro aktif pada perpu terorisme.

 

Dalam dissenting opinion nya, Jimly bersama dengan Maruarar sepakat bahwa jika recalling anggota DPR semata-mata atas dasar pelanggaran AD/ART partai yang bersifat hukum privat, maka hal itu merupakan pengingkaran atas sifat hubungan hukum anggota DPR dengan konstituen dan lembaga negara, yang seyogianya tunduk pada hukum publik (konstitusi).

 

Menurut kedua hakim konstitusi tersebut, recalling yang dilakukan partai politik terhadap anggotanya yang duduk di DPR, baik karena alasan-alasan disiplin partai dan alasan pelanggaran anggaran dasar dan rumah tangga, di samping diatur oleh hukum privat AD/ART partai juga harus tunduk pada hukum publik.

Halaman Selanjutnya:
Tags: