Ahli: Penyadapan oleh KPK Langgar Due Process of Law
Berita

Ahli: Penyadapan oleh KPK Langgar Due Process of Law

Pemeriksaan di KPK yang berujung di pengadian tipikor berpotensi menimbulkan praktik diskriminasi.

Oleh:
Aru
Bacaan 2 Menit
Ahli: Penyadapan oleh KPK Langgar <i>Due Process of Law</i>
Hukumonline

 

UU 30/2002 tentang Komisi pemberantasan tindak Pidana Korupsi

Pasal 12

(1)          Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:

a.             melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;

Perppu 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Pasal 31

(1)          Berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4), penyidik berhak:

a.             membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana terorisme yang sedang diperiksa;

b.             menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana terorisme.

(2)          Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

(3)          Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik.

 

 

Soal batasan ini, pemerintah yang diwakili pejabat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara punya pendapat menarik. Disampaikan Achmad Ube, staf ahli Menhukham, penyadapan tidak melanggar hak konstitusi siapapun. Pasalnya, penyadapan diperlukan untuk mendapatkan bukti, dimana cara konvensional dianggap tidak bisa lagi.

 

Pendapat pemerintah tersebut kemudian mengundang pertanyaan dari hakim konstitusi Harjono. Penyadapan hanya boleh dilakukan jika ada bukti permulaan, atau justru karena sulitnya mengumpulkan bukti permulaan, atau bagaimana? tanya Harjono.

 

Sayang pertanyaan ini tidak bisa dijawab langsung oleh wakil pemerintah. Baik dari Dephukham maupun Kejaksaan yang saat itu diwakili Jamdatun, Alex Sato Bya meminta waktu untuk menjawab secara tertulis. Senada dengan Harjono, pertanyaan-pertanyaan dari hakim konstitusi yang lain maupun dari penasihat hukum pemohon juga harus disimpan dulu.

 

Pembentukan Pengadilan Tipikor  

Hal lain yang mendapatkan sorotan dalam sidang pleno yang dipimpin hakim konstitusi Laica Marzuki tersebut adalah seputar pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang diatur dalam Pasal 53 UU KPK. Soal ini hakim konstitusi HAS Natabaya, mengaitkan dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan tidak ada kaitannya antara pembentukan suatu lembaga dengan pembentukan pengadilan, utamanya pengadilan khusus.

 

Soal kekhususan pengadilan tipikor ini, Mudzakir, pengajar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang juga hadir sebagai ahli dalam persidangan mempunyai pendapat menarik dari sisi hukum acara. Menurutnya kekhususan pengadilan Tipikor ini membingungkan. Pasalnya, kekhususan pengadilan Tipikor tidak didasarkan pada kekhususan untuk memeriksa jenis perkara, dalam hal ini perkara korupsi. Namun lebih pada memeriksa yang terkesan melayani KPK sebagai lembaga yang melimpahkan perkara di pengadilan tersebut. Ini jelas ada konsekwensinya, papar Mudzakir.

 

Konsekwensi yang dimaksud Mudzakir berkait erat dengan pernyataan Rusadi Kantaprawira, anggota KPU yang telah divonis bersalah oleh pengadilan Tipikor. Menurut Rusadi, ada diskriminasi ketika seseorang diperiksa oleh KPK, Mereka yang diperiksa secara konvensional lebih beruntung, cetus Rusadi yang hadir setelah dipanggil MK.

 

Menurut Mudzakir pemeriksaan di KPK yang berujung ke pengadilan Tipikor ini mengandung potensi tindakan diskriminatif. Misalnya saja, seseorang yang dijadikan tersangka oleh KPK tidak mempunyai kesempatan untuk lolos di tengah proses pemeriksaan dengan mekanisme Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Pasalnya, KPK tidak boleh mengeluarkan SP3.

 

Akibatnya, urai Mudzakir, pengadilan menjadi bagian pemberantasan korupsi, Tanpa ada SP3 kewenangan itu pindah ke hakim. Selain itu, terdakwa yang diperiksa di Pengadilan Tipikor masih akan berhadapan dengan tiga hakim ad hoc Tipikor di tiap tingkatan pengadilan.

 

Berbeda misalnya dengan terdakwa kasus korupsi yang disidangkan di pengadilan konvensional. Hal-hal seperti ini, urai Mudzakir, menyebabkan perbedaan hak hukum yang diperoleh antara orang yang diperiksa di Pengadilan Tipikor dengan pengadilan umum.   

 

Sidang pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (11/10) terkait dengan permohonan uji materiil Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah sampai pada tahap mendengarkan keterangan pemerintah dan ahli dari pemohon.

 

Dalam sidang yang menggelar tiga perkara sekaligus itu, yakni perkara 012/PUU-IV/2006 yang diajukan Mulyana W. Kusumah, perkara 016/PUU-IV/2006 yang diajukan Nazarudin Sjamsuddin dan perkara 019/PUU-IV/2006 yang diajukan Capt.Tarcisius Walla, Chairul Huda, pengajar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta yang menjadi ahli secara implisit menyatakan penyadapan yang dilakukan KPK melanggar due process of law (proses hukum yang wajar, red).

 

Pelanggaran tersebut menurut Chairul disebabkan tiga hal, Pertama, proses penyadapan tidak dilakukan oleh pejabat yang berwenang. Dalam hal ini pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK hanya menyebutkan, KPK berwenang melakukan penyadapan. Padahal, menurut Chairul, bukan lembaganya yang berwenang tapi penyidik yang mempunyai kewenangan itu.

 

Kedua, proses penyadapan yang dilakukan seharusnya mendapatkan izin dari Pengadilan Negeri (PN). Ditambahkan Chairul, penyadapan pada dasarnya melanggar privasi dari seseorang. Mengibaratkan penyitaan yang harus mendapatkan izin PN, maka penyadapan menurut Chairul adalah tindakan mengambil hak seseorang. Agar tidak melanggar due process of law, urai Chairul, Undang-Undang harus mengatur batasan-batasannya. 

 

Ketiga, tidak ada jangka waktu dalam pelaksanaan penyadapan. Menariknya, jika dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, maka pengaturan penyadapan di Perpu soal Terorisme lebih rinci mengatur batasan-batasan penyadapan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: